Politik Pilpres Partai Demokrat
Kegamangan PDIP adalah kenyataan objektif, SBY sekalipun harus menyadarinya. PDIP sebagai partai politik paling tua sangat mengerti arti kaderisasi. Jangan pula dilupakan, PDIP adalah satu-satunya partai yang memiliki sekolah kader yang rutin beroperasi.
Oleh: Radhar Tribaskoro, Aktivis KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia
KEINGINAN SBY baik, ia ingin anaknya mendapat pengalaman berlaga dalam kontes politik terbesar: pilpres. Ia pun ingin partainya besar dengan memberikan coattail effect atau limpahan suara yang besar karena ketumnya menjadi cawapres.
Sayangnya, Partai Demokrat tidak sendirian, koalisi juga beranggotakan Nasdem dan PKS. Bagi keduanya, pilpres bukan fasilitas pelatihan buat putra tersayang, juga bukan sekadar membesarkan partai sendiri.
Pilpres adalah tentang mewujudkan cita-cita memakmurkan dan menegakkan keadilan di Indonesia. Bagi kedua partai itu prioritasnya adalah kemenangan.
Di tingkat ini kepentingan 3 partai pendukung Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) tidak bisa bertemu. Demokrat jelas telah melihat kedudukan wapres sebagai hak. Maka ketika muncul pilihan lain, ia meledak.
Padahal apa yang diharapkan oleh anggota koalisi lain, sama sekali tidak bersifat subjektif. Surya Paloh tidak menolak AHY, tetapi ia berkeras AHY sebagai pilihan terakhir bila tidak ada yang lebih baik. Paloh menginginkan agar cawapres yang diusung meningkatkan potensi kemenangan koalisi.
Menurut Gatot Nurmantyo, peluang menang itu adalah norma koalisi yang pantas dikedepankan, norma itu memperkuat gairah juang koalisi dan relawan. Menurut sudut pandangan Surya Paloh koalisi memiliki masalah kongkrit di mana cawapres diharapkan bisa berkontribusi memberikan solusinya. Apakah masalah itu?
Problema Koalisi Perubahan Pilpres 2024
Problema pertama, adalah Jatim dan Jateng. Di sini terdapat ceruk suara yang sangat besar, milik PDIP dan PKB. Betapa strategis kedua provinsi ini ditunjukkan oleh Pilpres 2019. Pada ketika itu Joko Widodo mengungguli Prabowo Subianto dengan selisih suara 17 juta di seluruh Indonesia, dan 15 juta diantaranya diperoleh hanya dari Jatim dan Jateng saja.
Kenyataan ini mendorong SP untukmencalonkan Gubernur Jatim Khofifah sebagai pasangan Anies. Sayangnya, Khofifah tiba-tiba bungkam setelah KPK menggeledah ruang kerjanya.
Terakhir, Khofifah mengatakan bahwa ia tidak akan copras-capres karena ia takut. Mengapa ia (Khofifah) takut, orang sudah mengerti sendiri.
Kendala kedua menurut SP adalah politik identitas. Isu tersebut telah memecah-belah bangsa. Dari sana muncul dikotomi cebong vs kadrun. Kenegarawanan SP tidak dapat melihat perpecahan itu. SP ingin dikotomi itu diakhiri, isu politik identitas pun harus diatasi. Adapun masalah ketiga adalah masalah klasik yang dihadapi semua capres: logistik. Cawapres hendaknya bisa berkontribusi kepada kebutuhan logistik kampanye.
Atas ketiga masalah di atas, AHY dan partai Demokrat tidak memberi solusi yang serius. Namun, sebaliknya, Partai Demokrat terus mendesakkan percepatan deklarasi AHY sebagai cawapres Anies Baswedan.
Bila saja desakan itu diikuti oleh sebuah proposal solutif atas 3 masalah yang diterangkan di atas, saya Koalisi Koyakin Surya Paloh akan mempertimbangkan dengan serius.
Pada akhirnya dua pandangan yang bertentangan itu, Surya Paloh vs Partai Demokrat, tidak bisa dijembatani. Pada hari Selasa 29 Agustus 2023 ketiga partai sepakat untuk tidak sepakat. Masing-masing anggota koalisi mundur ke posisi setahun sebelumnya, bebas menentukan koalisi sendiri. Artinya, secara de facto, koalisi perubahan telah bubar.
Koalisi Perubahan Jilid Kedua
Kejadian selanjutnya telah diketahui oleh publik. PKB tiba-tiba menyeruak kebuntuan. Muhaimin memberikan kesaksian bahwa pada hari Senin 28 Agustus 2023, statusnya sebagai cawapres Prabowo dibatalkan. Prabowo mengincar cawapres baru yaitu Gibran Rakabuming Raka atau Erick Thohir.
Pada saat yang sama PKB sedang menyelenggarakan Rakornas. Mereka bereaksi atas pembatalan pencawapresan Muhaimin. Reaksinya tegas: Muhaimin ditugaskan mencari dan membangun aliran (koalisi) baru.
Dua partai itu, Nasdem dan PKB, telah kehilangan koalisinya. Keduanya bertemu. Bagi Surya Paloh, ketiga masalah yang mengharu-biru dirinya menemukan jawaban pada diri Muhaimin Iskandar. PKB bisa mengimbangi dominasi PDIP di Jatimteng, PKB memiliki kredibilitas ideologi, sosial dan kultural untuk mengatasi masalah politik identitas, dan walau tidak kaya-raya, PKB memiliki sumberdaya untuk kampanye.
Bagi Muhaimin, sementara itu, koalisinya dengan NasDem memberinya solusi atas tuntutan Rakornas agar bisa mengalirkan ideologi dan nilai-nilai PKB ke kancah nasional. Akhirnya, Koalisi Perubahan untuk Persatuan lahir kembali dengan munculnya pasangan Anies – Muhaimin (Amin).
Menuju Kemenangan
Pada taraf sekarang ini resep kemenangan Koalisi Perubahan tergantung kepada bergabungnya PKS dan Demokrat. Kedua partai yang disebutkan terakhir adalah representasi partai oposisi (walau mereka tidak pernah menyebut dirinya oposisi). Sebagai oposisi takdir kedua partai itu adalah berada di dalam KPP. Akan sangat aneh bila keduanya berada di dalam Koalisi Prabowo atau Ganjar, yang mewacanakan keberlanjutan.
Pada saat ini pasti PKS dan Demokrat telah membangun sistem narasi politiknya sendiri. Bila kedua partai itu bergabung ke dalam Koalisi Prabowo atau Ganjar, sistem narasi mereka pasti akan hancur berantakan.
Karena narasi adalah bentuk populer dari ideologi, sementara ideologi adalah jiwa dari organisasi politik, maka meletakkan partai oposisi dalam koalisi "keberlanjutan" sama saja dengan tindakan bunuh diri. Akar rumput partai akan kebingungan, disorientasi dan kacau balau. Partai akan kehilangan suara banyak.
Atas pertimbangan ini PKS, saya yakin, akan tetap berada di dalam KPP. Tapi keluhan mereka karena tidak dilibatkan dalam penentuan cawapres patut didengar. Terlepas dari itu saya yakin, kebesaran jiwa pimpinan PKS, akan dapat memaklumi betapa darurat situasi terkait.
PKS akan memaklumi mengapa NasDem dan PKB harus cepat menandatangani koalisi mereka. Karena, jika tidak, banyak kekuatan besar yang akan menghancurkan kesepakatan itu, berapapun ongkosnya.
Di sisi lain, kemarahan Demokrat tidak dapat disepelekan. Anies dan AHY sudah hampir setahun membangun chemistry. Di antara keduanya telah tumbuh kesamaan, kesaling-pengertian, dan juga harapan. Maka wajar bila “perpindahan hati” Anies membuat AHY sangat terluka.
Sekarang, Demokrat sedang menjajaki koalisi baru dengan PDIP. Saya percaya kalau PDIP akan menyambut dengan tangan terbuka. Persekutuan dua mantan presiden mestinya akan membawa wibawa tersendiri.
Namun persoalannya akan sama, PDIP akan merasa canggung bila menempatkan AHY sebagai wapres Ganjar. AHY masih terlalu muda. Pengalaman politiknya, diukur dengan cara apapun, masih sangat terbatas. Sementara kedudukan yang diincar adalah kedudukan terkuat kedua setelah presiden.
Kegamangan PDIP adalah kenyataan objektif, SBY sekalipun harus menyadarinya. PDIP sebagai partai politik paling tua sangat mengerti arti kaderisasi. Jangan pula dilupakan, PDIP adalah satu-satunya partai yang memiliki sekolah kader yang rutin beroperasi.
Partai tersebut bekerja dengan panduan ideologi yang sangat jelas. Partai itu mengajar kader-kadernya pelatihan politik berjenjang karena sukses politik hanya bisa diraih dengan keringat dan pengorbanan.
Tetapi Ibu Megawati terkenal sebagai politikus yang tidak takut membuat kejutan. Peluang AHY ada, tapi kalau hal itu tidak terjadi ke mana Demokrat akan berlabuh? Menurut saya, Demokrat sebaiknya kembali ke takdirnya, merintis jalan perubahan. Hal itu hanya perlu penyesuaian diri dari tindakan berdasar kepentingan subjektif beralih kepada basis objektif. (*)