The Queen of Lip Service
Arah politik bangsa ke depan membutuhkan figur yang memiliki sikap politik jujur, berani, adil dan obyektif. Jokowi adalah akar dari problema bangsa yang harus segera dieliminasi. Tukang sandera yang tidak layak untuk terus berkuasa. Mesti dibuat rungkad.
Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
BEBERAPA waktu yang lalu BEM UI memberi gelar kepada Presiden Joko Widodo sebagai The King of Lip Service karena Jokowi berkarakter banyak janji atau program tetapi minim pelaksanaan. Bahasa gaulnya "omdo", omong doang atau omong dodol. Basa-basi alias bohong melulu.
Sayangnya sang Raja tidak memiliki rasa bersalah, mungkin meyakini bahwa bohong adalah bagian dari "service".
Baru dalam sejarah ketatanegaraan kita ada Presiden bergelar sedahsyat ini. Apalagi di mata mahasiswa, generasi penerus masa depan bangsa. Meski kadang berlebihan dalam semangat tetapi di kampus mereka dididik untuk berpikir akademis baik kritis, obyektif, analitis maupun sistematis. Mahasiswa terdidik untuk tidak suka pada basa-basi atau perilaku munafik.
Lip service adalah bentuk dari kemunafikan. Tidak mau dan tidak mampu bersikap konsisten atau konsekuen. Gelar mahasiswa kepada Jokowi sama saja dengan deklarasi bahwa Jokowi adalah pemimpin munafik. Sesuatu yang semestinya menjadi perilaku yang tidak boleh melekat pada seorang pemimpin, apalagi sebagai Presiden.
Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka untuk Cawapres adalah sukses Jokowi. Memperkuat dukungan Jokowi kepada pasangan Prabowo Subianto – Gibran. Meneguhkan pelarian Jokowi dan Gibran dari PDIP. Dan, tentu hal ini wajar membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP panas hati. Jokowi tidak balas budi walau dengan seribu narasi termasuk bermain di tiga kaki.
Punggawa PDIP mulai mengkritisi Putusan MK hasil rekayasa Jokowi. Ada Hasto Kristiyanto, juga Masinton, Beathor dan lainnya. Megawati mengatur ritme. Namun rakyat melihat sikap PDIP belum berkulminasi terapi baru tahap eskalasi. Ada kekhawatiran publik reaksi itu hanya menjadi bagian dari babak sebuah sandiwara. Sementara itu, rakyat ditempatkan sebagai penonton yang sedang dibodohi.
Megawati dan PDIP harus menunjukkan bukti bahwa mereka sungguh-sungguh untuk menjaga marwah. Permainan vulgar Jokowi tidak boleh dibiarkan.
Megawati harus memecat Gibran sebagai tahap awal. Konsisten dengan pemecatan Budiman Sudjatmiko. Berikutnya Jokowi sebagai "biang keladi" harus diberi sanksi organisasi. Dipecat dari keanggotaan PDIP. Megawati harus berani. Janganlah bersikap seperti tayangan video di medsos di mana seekor banteng lari terbirit-birit ketakutan dihampiri oleh manusia berkostum kodok berwarna merah.
Bila Megawati tidak berani bertindak maka asumsi publik tentang sandiwara memang terbukti. Jika dahulu Jokowi diberi predikat sebagai "The King of Lip Service" maka jangan-jangan Megawati kini digelari oleh banyak komunitas sebagai "The Queen of Lip Service". Artinya Jokowi dan Megawati sama saja. Menurut "Bang Eddy Channel" cuma bisa "banyak cingcong".
Arah politik bangsa ke depan membutuhkan figur yang memiliki sikap politik jujur, berani, adil dan obyektif. Jokowi adalah akar dari problema bangsa yang harus segera dieliminasi. Tukang sandera yang tidak layak untuk terus berkuasa. Mesti dibuat rungkad.
Megawati dan PDIP bisa memulai untuk itu.
Saat ini Jokowi sedang nekad cawe-cawe memainkan boneka Gibran dengan mengelus-elus Prabowo. Tidak peduli lagi pada teriakan rakyat atau serudukan banteng.
Kata mahasiswa hanya ada satu kata: "lawan!". Kata aktivis dan oposisi: "makzulkan!" Kata rakyat secara serempak: "penjarakan!"
Jokowi memang harus berhenti sampai sini. Agar tidak terus-menerus melakukan kerusakan di muka bumi. Bumi pertiwi telah habis dicuri dan digagahi oleh Jokowi, kroni, dan oligarki. (*)