Momok "Galodo" Sudah Mengincar Istana
Tiga kejadian mengecewakan yang hampir bersamaan waktunya yang dialami Joko Widodo adalah bukti kekuasaan Allah, sebagai isyarat awal bahwa rentang kekuasaan Joko Widodo sudah mulai memasuki zona "Apes".
Oleh: Hamka Suyana, Pengamat Kemunculan Pratanda
"GALODO" adalah sebutan bencana alam banjir bandang yang datangnya sekonyong-konyong dan di luar dugaan yang terjadi di Sumatera Barat, seperti yang terjadi pada Sabtu petang, 11 Mei 2024, di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Anai, Padang Pariaman.
Akibatnya, destinasi wisata kolam renang, lengkap dengan fasilitas pendukungnya, lenyap seketika digulung dahsyatnya galodo yang datang secara tiba-tiba menjelang tengah malam.
Kata "galodo" saya pinjam pertama kali untuk menggambarkan tentang pembangunan IKN (Ibu Kota Negara) Nusantara di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, yang berpratanda masa depannya akan suram pasca pengunduran diri Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN Bambang Susantono dan Dhony Rahajoe, yang mereka lakukan tiba-tiba pada tanggal 3 Juni 2024.
Kali ini saya pinjam kembali metafora "galodo" itu untuk menggambarkan kemunculan 3 fenomena politik yang terjadi di luar dugaan yang melanda suasana kebatinan Presiden Joko Widodo bagaikan dilanda galodo.
Pada hari Senin, 20 Agustus 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Nomor 60 dan 70/PUU-XXII/2024. Dua substansial yang terkandung pada putusan MK, bagaikan terjangan galodo adalah;
Pertama; Ambang batas syarat pencalonan gubernur dan wakil Jakarta yang diajukan partai politik maupun gabungan partai politik diturunkan syarat ambang batas minimal 25% menjadi 7,5%, sesuai Putusan MK 60.
Kedua; Bahwa syarat pencalonan gubernur dan wakil gubernur berusia minimal 30 tahun pada saat pendaftaran, seperti tertulis dalam Putusan MK 70 itu.
Ketiga; Musyawarah Nasional (Munas) XI Partai Golkar pada 20 dan 21 Agustus 2024 menetapkan Agus Gumiwang Kartasasmita sebagai Ketua Dewan Pembina partai berlambang pohon beringin.
Ketiga keputusan politik di atas dirasakan oleh Presiden Joko Widodo bagaikan galodo atau banjir bandang yang tiba-tiba melanda dan memporak-porandakan strategi politik yang disusun matang untuk melanggengkan kekuasaan secara tidak sehat.
Rupanya ia sangat kaget dan kecewa berat karena;
Poin Pertama; memberikan peluang kepada Anies Baswedan untuk dicalonkan sebagai calon gubernur Jakarta yang sudah tidak mendapatkan kendaraan politik karena semua parpol kecuali PDI-P sudah deklarasi mendukung pencalonan pasangan Ridwan Kamil – Suswono (Rawon).
Padahal Anies Baswedan sangat tidak disukai Joko Widodo dan berusaha disingkirkan dari bursa Pilpres dan Pilkada.
Poin Kedua; menutup kesempatan bagi Kaesang Pangarep (anak Joko Widodo) menjadi bakal calon wakil gubernur karena usia pada saat pendaftaran belum berumur 30 tahun.
Padahal, ia sudah berusaha sekuat kekuasaan untuk melanggengkan dinasti keluarga agar ke depan tetap berkuasa.
Poin Ketiga; dengan ditetapkannya Agus Gumiwang Kartasasmita sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Golkar, gagallah skenario politik untuk merebut jabatan Ketua Dewan Pembina.
Intrik politik untuk membegal peluang Anies Baswedan menjadi calon gubernur Jakarta dan mencarikan jalan terobosan bagi Kaesang Pangarep agar memenuhi syarat sebagai calon wakil gubernur Jateng, maka "diperalatlah" lembaga DPR-RI dengan skenario demikian.
Sehari pasca Putusan MK, yaitu hari Rabu, 21 Agustus 2024, tiba-tiba Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI mengadakan sidang mendadak dengan agenda Revisi UU Pilkada menolak Putusan MK dan akan memberlakukan Putusan MA. Diagendakan pada hari Kamis, 22 Agustus melaksanakan Sidang Paripurna DPR-RI untuk mengesahkan rancangan UU menjadi Undang-undang.
Rakyat marah. Lembaga terhormat tempat menyalurkan aspirasi rakyat sudah dikhianati menjadi lembaga tinggi untuk menyalurkan syahwat penguasa yang sedang berkuasa.
Terjadilah reaksi kemarahan spontan di dunia kampus kota-kota besar. Para rektor, dosen, mahasiswa, akademisi, aktivis, dan berbagai elemen masyarakat turun gunung melakukan unjuk rasa serentak dan besar-besaran pada Kamis, 22 Agustus menuntut dihentikannya pembahasan Revisi UU Pilkada.
Gelombang unjuk rasa yang terjadi spontan tanpa direncanakan dan tanpa komando berhasil menggagalkan pengesahan UU Pilkada.
Skenario Allah sedang berjalan. Semua rentetan peristiwa yang terjadi spontan dan tidak terduga sebelumnya, merupakan pratanda janji Allah pada QS Ali Imran ayat 26 dan 54 ditepati.
“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai Allah, Pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki”.
“Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Āli ‘Imrān [3]:26)
“Mereka (orang-orang kafir) membuat tipu daya dan Allah pun membalas tipu daya (mereka). Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (Āli ‘Imrān [3]:54)
Tiga kejadian mengecewakan yang hampir bersamaan waktunya yang dialami Joko Widodo adalah bukti kekuasaan Allah, sebagai isyarat awal bahwa rentang kekuasaan Joko Widodo sudah mulai memasuki zona "Apes".
Agaknya makna lirik lagu Rungkad yang dinyanyikan pada acara Peringatan Detik-Detik Proklamasi tanggal 17 Agustus 2023 sudah mendekati dikabulkan menjadi kenyataan. Kekuasaan Joko Widodo niscaya akan "rungkad entek-entekan" atau kekuasaan yang dipegang akan tumbang sampai ke akar-akarnya.
Hari-hari depan Joko Widodo "kemungkinan" akan diwarnai terjangan galodo-galodo yang terjadi di luar dugaan. (*)