Stop Politik Adu Domba dan Balas Dendam
Mari kita cari akar sumber kegaduhan yang memecah-belah bangsa ini. Jangan terpolarisasi oleh ego sektoral barbasis SARA dengan politik balas-dendam, adu-domba sesama anak bangsa, cari sumber dalangnya.
Oleh: Ozzy Sulaiman Sudiro, Ketum KWRI (Komite Wartawan Reformasi Indonesia), Sekjen Majelis Pers
SELAMA dua dekade rezim, orde-lama dan orde-baru, bahwa kita sebagai bangsa "Indonesia" telah sepakat dan terikat janji suci oleh sebuah prasasti yaitu "Bhineka Tunggal Ika", berbeda-beda tetapi tetap satu...dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia..NKRI dan itu harga mati...!
Jarang sekali terdengar "KITA" diributkan oleh persoalan SARA, andaipun ada, namun tensinya bisa terkendali.
Sebagai contoh, banyak sekali kita temukan di antaranya adanya perkawinan yang berbeda agama dan keyakinan, "itupun terjadi" tidak membedakan Suku, Etnis, Ras dan Agama. Dengan kata lain, begitu kuatnya toleransi, terajut rasa simpati dan empati, adab dan adat, kultur yang begitu kokoh terbangun untuk Indonesia.
Mereka hidup baik-baik saja, rukun damai, saling hormat-menghormati dan tentu saling menghargai sebagai anak bangsa, itu fakta..!
Pengalaman telah mengajarkan kita bangkit dari keterpurukan bangsa ini, maka bercerminlah pada tragedi besar pra-kemerdeka'an yaitu "zaman kolonial" maupun pasca kemerdekaan: "G30S.PKI" alias kebiadaban Komunis
Seharusnya ini menjadi catatan berharga, pelajaran dan sekaligus pengalaman pahit yang harus kita tanamkan kepada anak cucu kita, selalu terpatri dalam jiwa hati-sanubari atas peristiwa kelam, untuk menjadi bangsa yang besar yang berdaulat.
Tidak sedikit bangsa ini telah banyak melahirkan tokoh, orang-orang besar? Tapi hanya sedikit yang berpikir dan berjiwa besar. Mereka "baper" bawa-perasaan dan rakus, mencoba memutarbalikkan fakta atas stigma yang melekat untuk merehabilitasi sejarah.
Mereka hanya memikirkan syahwat kekuasaan, dan hanya memeperjuangkan kelompoknya dengan Politik balas dendam dan adu domba, sebagai bentuk overkonpensasi atas peristiwa di masa lalu.
Seharusnya kita jadikan sebagai "pil pahit" pelajaran perjalanan berharga untuk bangsa ini, bukan beringas tanpa sadar menjadi jongos dan penghianat, dengan menjual keringat, darah dan air mata atas penderitaan saudaranya sendiri, untuk kepentingan para bedebah dan kurcaci, yaitu para kapitalis bermental komunis dan kolonialis alumnus penjajah.
Mari kita sadar dengan tujuan yang benar, bangkit dari keterpurukan, tidak ada kata lain "Bersatu kita teguh, bercerai bangsa ini runtuh".
Kita sepakat bahwa segala Perbedaan yang ada pada bangsa kita, justeru seharusnya menjadi kekuatan, merupakan khasanah kekayaan dan sebuah anugerah tuhan yang maha kuasa untuk bangsa indonesia.
Adat istiadat warisan para leluhur, yang memiliki harapan dan cita-cita yaitu Indonesia Gemah Ripah Loh Jinawi, Toto Tentrem Kerto Raharjo. Adalah negeri yang memiliki kekayaan alam berlimpah, aman dan tentrem.
Ingat, dan selalu ingat, sejak zaman Pra-kemerdekaan "kolonial" hingga Pasca-kemerdekaan, hanya jiwa komunis dan mental kolonialislah yang mampu memecah-belah bangsa ini, itupun juga fakta sejarah.
Sebagai antitesa, kemudian pertanyaan besarnya, yaitu belakangan ini kita sebagai anak bangsa, kita merasa tidak nyaman tinggal dan hidup di rumahnya sendiri, ada apa negeriku? Kita saling caci-maki, saling buli, fitnah dengan sumpah serapah hingga emosi tak terkendali.
Justeru hari ini NKRI tercabik-cabik dan berkeping-keping, kita disibukan oleh perbedaan-perbedaan itu, dan sudah terpolarisasi oleh Ego sentris dan Etno sentris secara masif.
Seharusnya kita sadar dengan tujuan yang benar, kembali kepada jadi diri bangsa yang selama ini merupakan kekuatan bangsa ini, yaitu Indonesiaku tercinta, dengan khasanah kekayaan alam kita sebagai bangsa yang berbudi luhur penuh tafakur.
Saling menghormati dan menghargai, santun dalam berbahasa, tolong-menolong, gotong-royong, urun rembug dalam menyelesaikan segala permasalahan, dan selalu memelihara cinta dan kasih terhadap sesama anak bangsa tanpa syarat.
Mari kita cari akar sumber kegaduhan yang memecah-belah bangsa ini. Jangan terpolarisasi oleh ego sektoral barbasis SARA dengan politik balas-dendam, adu-domba sesama anak bangsa, cari sumber dalangnya.
Sejarah telah mencatat bahwa musuh terbesar bangsa ini, bukanlah saudara kita sebangsa dan setanah air. Melainkan musuh terbesar kita bersama adalah Menernak Kebodohan yang dipelihara, menjadi mental jongos dan penghianat bangsa yang mau diadu-domba oleh komunis dan kolonialis alumnus penjajah.
Perdebatan tersebut terjadi, karena cara pandang kita yang berbeda dalam melihat persoalan, dan perbedaan itu bukan cermin permusuhan untuk sebuah proses demokrasi yang sehat.
Jangan biarkan Ibu Pertiwi menangis meratapi anak negeri. Jangan tenggelam oleh penghianatan Nurani.. sebelum stroke dan gagal jantung menanti...
Semoga..Semoga..Semoga kita selalu diberi kekuatan dan kesabaran, kesehatan lahir batin.. di tengah ancaman Global, politik, ekonomi, kesehatan, dan sakit jiwa.
Merdeka...Merdeka..Merdeka.. (*)