Soal Disertasi Bahlil, Rocky Gerung Ungkap 'Borok' Jual-Beli Ijazah di UI: Ada Harganya Tuh!
Jakarta, FreedomNews – Dikukuhkannya gelar doktor pada Ketua Umum Golkar, Bahlil Lahadalia mengundang respons publik. Pasalnya, Bahlil bisa menyelesaikan S-3 dalam kurun waktu hanya 1,5 tahun di Universitas Indonesia (UI).
Diketahui, umumnya pendidikan S-3 selesai dalam kurun waktu 3 tahun. Soal Bahlil, akademisi dan pengamat politik Rocky Gerung yang juga pernah mengajar di UI ini ikut buka suara terkait kampus berjaket kuning itu.
Menurutnya, jual-beli ijazah dengan cara minta joki tugas akhir memang sudah jadi rahasia umum di UI.
"Saya tahu bahwa jual-beli ijazah susah lama sekali sejak 10 tahun lalu saya masih mengajar, di UI itu kalau sore mahasiswa saya yang S1 itu pada lapor ini ada bupati, calon gubernur, atau pejabat itu lagi nulis disertasi minta tolong bikin kerangka penelitian," ujar Rocky Gerung seperti dikutip dari kanal YouTube Rocky Gerung Official, Jumat (18/10/2024).
"Kira-kira satu dekade ini UI jadi sarang jual-beli ijazah, paling enggak bisik-bisik di kalangan para mahasiswa dan itu ada harganya," imbuhnya. Menurut Rocky, harusnya para akademisi UI punya filter sendiri saat menguji mahasiswanya.
"Mahasiswa senang aja dapat uang tambahan tapi UI sendiri harus punya filter, begitu masuk ruang ujian berlakukan prinsip enggak ada maaf buat pertanyan dan jawaban dungu," ungkap Rocky.
"Pentingnya disertasi dibuka untuk umum supaya ada audit eksternal tentang kadar epistem dari disertasi itu. UI dari awal sudah filternya makin lama maikin rapuh," tandasnya seperti dikutip dari suara
Jurnal Bahlil di Kurdish Studies
Isi jurnal Bahlil Lahadalia baru-baru ini banyak dikritik sejumlah pakar. Kritik ini bermunculan sejak Doktoralnya dikukuhkan di Universitas Indonesia (UI).
Diantarnya adalah Joel Picard, Profesor Guru Besar ilmu sosial dari Universitas Teknologi Nanyang, Singapura dan Guru besar di UI sendiri. Di antara kritiknya adalah isi jurnal yang terbit dalam jurnal “Kurdish Studies” pada tahun 2023 silam.
Dari pantauan Frensia, pada studi ini, Bahlil memaparkan beberapa hal penting terkait dampak hilirisasi nikel di Morowali dan Sulawesi Tengah, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun lingkungan hidup.
Dari sudut pandang ekonomi, hilirisasi nikel di kawasan tersebut membawa peningkatan signifikan dalam beberapa aspek.
Pembangunan hilir di sektor nikel mampu mendorong investasi dalam skala besar, yang kemudian berkontribusi positif terhadap pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) dan ekspor daerah.
Hal ini juga berdampak pada peningkatan pendapatan tenaga kerja di Morowali dan sekitarnya.
Selain itu, hilirisasi ini dinilai berhasil mengubah struktur ekonomi di wilayah tersebut, di mana sektor investasi dan industri kini menjadi penggerak utama perekonomian di Morowali dan Sulawesi Tengah.
Transformasi struktural ini menunjukkan bahwa kebijakan hilirisasi telah memberikan kontribusi besar dalam mengubah ekonomi daerah menjadi lebih berfokus pada sektor-sektor produktif.
Meskipun demikian, terdapat beberapa catatan penting terkait dampak hilirisasi terhadap penciptaan lapangan kerja dan pemberdayaan pengusaha lokal.
Bahlil mencatat bahwa pembangunan hilir yang telah berlangsung masih belum memberikan dampak yang signifikan terhadap penciptaan pekerjaan yang memadai bagi masyarakat lokal.
Pemberdayaan pengusaha lokal juga masih minim dan belum mendapat perhatian yang optimal, sehingga belum terasa manfaatnya secara merata.
Dari perspektif sosial, penelitian ini menemukan bahwa hilirisasi nikel di Morowali berperan dalam menurunkan angka kemiskinan serta mengurangi ketimpangan sosial di wilayah tersebut.
Tren perbaikan indikator kesehatan masyarakat juga terlihat, meski belum mencapai tingkat yang optimal. Namun, ketika dilihat dari aspek pendidikan, belum ada perubahan signifikan yang terjadi sejak hilirisasi dimulai.
Indikator pendidikan di daerah tersebut masih stagnan, yang menunjukkan bahwa dampak positif pembangunan hilir terhadap sektor ini masih sangat terbatas.
Sementara itu, dampak terhadap lingkungan hidup juga menjadi sorotan. Pembangunan hilir industri nikel di Morowali ditandai dengan meningkatnya polusi udara yang mengkhawatirkan.
Selain itu, pengelolaan limbah domestik masih buruk, yang memperburuk kondisi lingkungan hidup di daerah tersebut.
Meski terdapat peningkatan dalam beberapa aspek kehidupan masyarakat, masalah lingkungan yang muncul akibat aktivitas industri ini menjadi salah satu kekhawatiran utama dalam penelitian Bahlil.
Secara keseluruhan, penelitian ini menyimpulkan bahwa kehidupan masyarakat di Morowali dan Sulawesi Tengah mengalami perbaikan setelah diterapkannya kebijakan hilirisasi.
Namun, Bahlil menekankan bahwa perbaikan ini belum merata dan masih ada ketimpangan di berbagai sektor, terutama terkait lapangan kerja, pemberdayaan pengusaha lokal, pendidikan, dan lingkungan hidup.
Oleh karena itu, ia menyarankan agar pemerintah memperbaiki kebijakan hilirisasi dengan lebih menekankan pada peningkatan ketenagakerjaan masyarakat lokal, pemberdayaan sektor usaha lokal, serta memperbaiki pengelolaan lingkungan hidup.
Beberapa penjelasan ini yang oleh beberapa guru besar dianggap tidak baik. Bahkan ada pernah sinis, mecatat cuit dalam media Xnya, “Kalo gw reviewer, baca abstraknya udah cukup buat ngasi rejection,” catatnya beberapa waktu lalu.
Akun @UmarSyadatHsb – meratapi nasibnya yang tak semulus Bahlil. Ia menceritakan perjuangannya selama enam tahun untuk meraih gelar doktor di UI. "Tak terhitung berapa kali asam lambung kambuh karena stres nyusun disertasi. Eh ada orang bisa meraih gelar doktor selama 20 bulan di UI. Rasanya sakit nyesak banget hati ini," tulisnya.
Warganet lainnya, akun @hnirankara menyinggung posisi Indonesia yang meraih peringkat tinggi dalam hal ketidakjujuran akademik. "Sebenarnya bisa diusut, karena akan menguak bisnis jual-beli gelar," tulis dia.
Seorang netizen dengan akun @rayestu membandingkan kabar gelar doktor Bahlil Lahadalia dengan gelar doktor Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY yang ia raih dari Universitas Airlangga. Cuitan ini dibalas telak oleh pengguna X Loid Forger yang menyebut bahwa AHY lulusan S2 di Harvard University.
"AHY dia mah pinter, sekolahnya bener. AHY sih gue sudah dengar lama kuliah, Bahlil kaya sulap," ucap netizen lainnya. "Bandingin AHY sama Bahlil Lahadalia yang kuliah S1-nya saja enggak jelas."
Bahlil Lahadalia menyelesaikan gelar doktor di Universitas Indonesia (UI) dalam waktu 20 bulan. Waktu yang cukup singkat untuk meraih gelar doktor menimbulkan banyak pertanyaan terlebih lagi disertasinya seperti kumpulan koran.
“How low can you go @univ_indonesia??? oh i know….as low as permintaan pejabat buat nyelesaiin s3 dlm waktu 20 bulan. either he’s too brilliant or you are just to stupid to think he’s brilliant,” kata Dosen Nanyang Technological University (NTU) Singapura Prof Sulfikar Amir, di akun X (Twitter) @sociotalker, Rabu (16/10/2024).
Sulfikar heran UI bisa meloloskan desertasi Bahlil Lahadalia yang isinya seperti kumpulan koran. “Disertasi apaan ini @univ_indonesia? jangan2 cuma kumpulan berita koran dan laporan proyek? are you seriously an institution of higher learning UI?” paparnya.
Kasus Bahlil, kata Sulfikar menyarankan UI menjadi lembaga kursus yang mudah memberikan sertifikat.
“I strongly suggest @univ_indonesia buat ganti status menjadi lembaga kursus…biar lbh pas buat jualan sertifikat. lupakan world class university, qs100, etc etc. yang penting melayani nafsu pejabat dan dapat cuan,” tegasnya.
“Beliau mengambil program doktoral by research,” ujarnya saat dihubungi, Rabu, 16 Oktober 2024 dikutip dari Tempo. Dengan program ini, Bahlil tak perlu berfokus mengikuti mata kuliah di dalam kelas.
Ia bisa memperoleh gelar doktor dengan mengerjakan sebuan penelitian independen.
Bahlil akan memperoleh gelar doktornya dengan disertasi tentang tata kelola hilirisasi nikel – bidang yang selama ini digelutinya baik sebagai Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal maupun Menteri ESDM.
Disertasi itu bertajuk “Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Bekerkelanjutan di Indonesia”. Bahlil beberapa kali menyampaikan isi disertasi yang ia kerjakan dalam berbagai kesempatan.
Dalam penelitian itu, Bahlil menemukan masyarakat lokal di sekitar tambang belum mendapatkan manfaat dari hilirisasi.
“Memang penelitian saya, hilirisasi itu yang mendapat manfaat paling besar sekarang ini adalah investor dan pemerintah pusat,” kata Bahlil saat memberi kuliah di Universitas Paramadina, Jakarta Selatan, pada Sabtu, 27 Juli 2024. (Mth/*)