Mahkamah Konstitusi Ikut Cawe-Cawe Pilpres Lewat Dagang Sapi
Jakarta, FreedomNews - Pakar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana kembali menyentil Mahkamah (MK) Konstitusi. Ia mendapatkan informasi syarat umur Hakim Konstitusi akan menjadi "dagang sapi" kalangan politisi. Caranya, mengubah syarat minimal 55 tahun menjadi 60 tahun.
"Pagi ini saya kembali mendapatkan informasi penting soal MK. Kali ini syarat umur menjadi Hakim Konstitusi yang menjadi objek jualan "dagang sapi" di antara politisi di "Republik Konoha"," kata Denny dalam Twitter nya, Senin, 28 Agustus 2023, pagi.
Menurut pengacara yang kini tinggal di Melbourne, Australia itu, syarat umur Hakim Konstitusi menjadi primadona pintu masuk politicking. Bukan hanya syarat umur capres-cawapres, tapi syarat umur hakim konstitusi pun ikut menjadi tumbal "dagang sapi".
Lagi-lagi hukum direndahkan hanya dijadikan alat, untuk strategi pemenangan Pemilu, khususnya Pilpres 2024. Untuk menguasai komposisi hakim minimal 5 (lima) orang, dari total 9 (sembilan) hakim konstitusi, maka kekuatan politik bergerilya mengocok ulang susunan hakim MK.
"Ingat, penentu akhir pemenang pemilihan presiden adalah Mahkamah Konstitusi, utamanya jika ada sengketa penghitungan suara. Karena itu, komposisi 5 (lima) hakim MK perlu dikuasai, untuk menjamin kemenangan," ujarnya.
Rencananya, awal September yang akan datang, Undang-Undang MK kembali diubah. Bahwasanya perubahan keempat dari UU MK itu sangat politis dan syarat dengan "dagang sapi" kepentingan, tercermin dari fokusnya yang hanya pada satu norma, yaitu terkait syarat umur menjadi hakim MK.
Dalam Perubahan Ketiga UU MK Nomor 7 Tahun 2020, syarat umur menjadi hakim MK telah dinaikkan menjadi, "Berusia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun". Ketentuan itu akan diubah menjadi minimal 60 tahun. Maka, bisa diduga "sasaran tembaknya" adalah mendepak hakim MK yang belum berusia 60 tahun, karena figurnya dianggap tidak sejalan dengan strategi pemenangan Pilpres (Pemilihan Presiden).
Sedang terjadi "lobi dan negosiasi dagang antara sapi", agar ada pasal transisi alias pasal peralihan, sehingga hakim MK yang belum berusia 60 (enam puluh) tahun tetap bisa menjabat.
Tentu saja, hal demikian sangat menyedihkan dan harus dilawan! Mengurus republik hanya dijadikan permainan. "Aturan diubah-ubah demi memenuhi syahwat melanggengkan kekuasaan semata," ujarnya.
Inilah sebenarnya intervensi nyata yang merusak kemerdekaan kekuasaan kehakiman (baca: Mahkamah Konstitusi). Syarat umur akhirnya menjadi daya tawar kekuatan politik status quo untuk mengontrol arah putusan di Mahkamah Konstitusi. Ujungnya, syarat umur hakim disesuaikan dengan kepentingan politik, khususnya strategi pemenangan Pilpres.
Kesimpulannya: syarat umur hakim konstitusi = gratifikasi jabatan = korupsi, yang merusak kehormatan, martabat dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
"Kita harus melawan! Hukum tidak boleh direndahkan dan hanya dijadikan alat strategi melanggengkan kekuasaan, melanggengkan kroni, dinasti dan mafia oligarkinya yang koruptif dan destruktif, khususnya pada lingkungan," kata Denny dalam cuitannya dari Melbourne, Australia. (MD/Anw).