Pemanggilan Muhaimin Iskandar Sebagai Usaha Menjegal Anies Baswedan
Jakarta, FreedomNews - Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Ummat Bidang Advokasi Hukum, Juju Purwantoro mengatakan, pemanggilan terhadap Muhaimin Iskandar atau Cak Imin diskriminatif, tendensius dan tebang pilih sekaligus sebagai usaha menjegal Anies Rasyid Baswedan.
Hal tersebut mengingat, hanya beberapa hari setelah deklarasi menjadi pendamping bakal calon presiden, Anies, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) langsung memanggil Cak Imin sebagai saksi dalam kasus di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
“Kita sepakat, hukum harus diterapkan sama kepada setiap orang (equality before the law). Dalam kasus Cak Imin tersebut, sangat terang benderang KPK diskriminatif dan tebang pilih,” ujar Juju Purwantoro, dalam siaran persnya yang diterima FreedomNews, di Jakarta, Selasa, 5 September 2023.
Sebelumnya Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri mengatakan tidak membantah tentang adanya rencana pemanggilan Muhaimin Iskandar atau Cak Imin pada Selasa, 5 September 2023, hari ini. Mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi itu diminta keterangannya oleh penyidik KPK sebagai saksi, atas dugaan kasus korupsi (Sistem Informasi TKI/Tenaga Kerja Indonesia) di Kemenaker yang terjadi tahun 2012. Pada periode 2009-2014, Ketum PKB itu menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Juju megatakan, panggilan KPK itu seperti mengejar target dan tendensius, karena dilakukan tiga hari paska Anies Baswedan dan Cak Imin dideklarasikan sebagai Capres dan Cawapres 2024. Deklarasi dilakukan di Surabaya, Jawa Timur, Sabtu, 2 September 2023.
“Apakah karena pasangan Anies dan Cak Imin diusung oleh partai politik Koalisi Perubahan untuk Persatuan (Nasdem, PKS, PKB) sebagai oposisi rezim, sehingga pencalonan mereka berusaha digagalkan,” ujarnya.
Juju menyampaikan, jika alasan KPK demi menerapkan hukum dan keadilan yang sama bagi setiap orang, seharusnya juga segera ditangani kasus-kasus korupsi besar lainnya yang sengaja digantung atau dilenyapkan.
“Kasus dugaan korupsi besar yang masih menggantung melibatkan pejabat tinggi negara antara lain, pengadaan E- KTP; dugaan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) anak Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming dan Kaesang, dugaan suap alih fungsi hutan Zulkifli Hasan; dugaan korupsi izin ekspor CPO atau Crude Palm Oil (minyak nabati sawit ), Airlangga Hartarto dan Base Transceiver Station (BTS) 4G Kominfo,” ujarnya.
“Sebagai penegak hukum, KPK bukan menjadi bagian perpanjangan tangan politik kelompok rezim, dan harus dikembaikan fungsi utamanya sebagai lembaga pemberantas korupsi yang sebenarnya,” ujarnya. (Anw).