Tagihan Jusuf Hamka Rp 800 Miliar Belum Dibayar Pemerintah Sejak Krismon
Jakarta, FreedomNews – Seperti diberitakan Tempo, Pebisnis Joseph Alun alias Jusuf Hamka berencana menggugat class action pemerintah karena tidak kunjung membayar utang kepada dirinya sebesar Rp 800 miliar sejak masa krisis moneter pada 1998.
Utang tersebut terkait deposito PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP) Rp 78 miliar di Bank Yakin Makmur (Yama). Bank Yama gagal mengembalikan deposito tersebut ketika krisis moneter (krismon).
Saat ditemui di salah satu rumah makan di Menteng, Jakarta Pusat, Jusuf Hamka mengatakan rencananya menagih utang itu dalam rangka mencari keadilan. Dia menyebut tak berniat untuk hanya sekadar mencari perhatian publik.
“Saya tidak mencuri rame, saya sedang mencari kebenaran dan keadilan. Keadilan bukan buat saya, kalau bisa berhasil, keadilan ini buat orang yang mempunyai piutang terhadap negara,” kata Jusuf Hamka pada Sabtu, 13 Juli 2024.
Rencana gugatan class action itu juga pernah Jusuf Hamka sampaikan kepada mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Pada Sabtu pagi kemarin, Jusuf didampingi pengacaranya, Hamid Basyaid, mengunjungi kediaman Mahfud di Patra Kuningan, Jakarta Selatan.
Dalam persamuhan yang berlangsung sekitar 90 menit itu, Jusuf Hamka mengatakan dirinya minta rekomendasi kepada Mahfud soal langkah hukum yang akan diambil. Dia menyebut, gugatan itu dilatarbelakangi oleh surat Mahfud saat masih menjabat Menko Polhukam pada Menteri Keuangan Sri Mulyani agar negara membayar utang kepada Jusuf.
Dalam surat itu, kata Jusuf, Mahfud MD memberikan tenggat kepada Kementerian Keuangan untuk membayar utang hingga Juni 2024. “Saya konfirmasi ke Pak Mahfud, dan benar," kata Jusuf kepada Tempo saat ditemui di salah satu rumah makan di Menteng, Jakarta Pusat, pada Sabtu, 13 Juli 2024.
Pada 2004 sebelumnya, pihak CMNP mengajukan gugatan. Mahkamah Agung memutuskan, pemerintah sebagai pihak bersalah pada 2010. Pemerintah juga diwajibkan membayar deposito CMNP beserta bunganya sebesar 2% per bulan. Besarannya mencapai Rp 78.843.577.534,20 plus bunga.
Namun lima tahun berselang, pemerintah tak juga melaksanakan isi putusan tersebut. Pada 2015, CMNP kembali mengajukan permohonan teguran atau peringatan ke Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Atas permohonan itu, Ketua Pengadilan Negeri Jaksel kemudian menegur kepada Pemerintah agar melaksanakan isi putusan pada 2010. Ketika itu CMNP menagih pembayaran kepada Kemenkeu menjadi sebesar Rp 389,86 miliar.
Jumlah utang pemerintah pun membengkak menjadi Rp 800 miliar pada 2020. Ketika itu, Jusuf telah bersurat ke Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kemenkeu pada 2019 hingga 2020. Namun, DJKN selalu mengatakan sedang melakukan verifikasi di Kemenko Polhukam.
Jusuf Hamka kemudian bersuara untuk menagih utang pemerintah lantaran proses verifikasi sudah berlangsung tiga tahun tanpa hasil.
“Negara kalau punya piutang ke warga, negara bisa (saja) memaksa, menyandera, memblokir rekening, menyita barang-barang, tapi warga ke negara tidak bisa. Itulah hukum kita,” kata dia.
Diminta keterangan terpisah, penasihat hukum Jusuf Hamka, Hamid Basyaid, mengatakan bahwa ia masih mempersiapkan secara matang rencana gugatan ini. Dia juga belum memberikan jumlah detail berapa utang negara ke Jusuf yang tak dibayar.
“Semua masih digodok matang-matang,” kata Hamid saat dihubungi pada Sabtu sore hari ini.
Namun, dalam keterangannya usai mendampingi Jusuf bertemu Mahfud, Hamid mengatakan kasus utang-piutang kliennya dengan negara ini karena ada aturan yang tak simetris, terutama negara dan warga negara yang berkaitan dengan utang. Oleh karena itu, rencana gugatan class action ini akan diajukan.
Hamid menilai pemerintah yang tak membayar utang kepada Jusuf termasuk merugikan negara karena beban bunga. Kait-kelindan ini, kata Hamid, tergolong dalam tindak pidana.
"Putusan pengadilan menyatakan bahwa kalau tidak dibayar, maka setiap bulan didenda 2%. Anda bayangkan kalau dari Rp 500 miliar saja, misalnya, 2 persen itu kan artinya Rp 10 miliar per bulan. Ke mana duit itu? Kan negara dirugikan karena dia harus bayar. Kalau didiamkan terus ya, itu masuk kualifikasi merugikan keuangan negara," kata dia. (Mth/tmp)