Tiga Hakim PN Kabanjahe di Sumut Dilaporkan ke Komisi Yudisial
Medan, FreedomNews – Dikeluhkan tidak netral dan tidak professional, tiga hakim Pengadilan Negeri Kabanjahe, Sumatera Utara, dilaporkan ke Komisi Yudisial (KY) oleh dua penggugat perdata yakni Drs Simson Ginting Suka dan adiknya Delta Ginting Suka. Kedua pelapor adalah pihak yang berperkara sengketa tanah waris dengan Nomor Perkara 48/Pdt.G/2023/PNKBJ.
Ketiga hakim yang dilaporkan adalah Ahmad Hidayat SH Mkn, M Arif Kurniawan SH MH, dan Adil M Franky Simarmata SH MH. Selain itu, kedua penggugat juga melaporkan Panitera Pengganti Kastarina BS Milala SH.
Dalam laporan tertanggal 8 Mei 2024 itu, yang tembusannya diterima redaksi, kedua pelapor mengadukan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim oleh ketiga hakim tersebut pada waktu memeriksa dan mengadili gugatan mereka. Dugaan pelanggaran itu antara lain sikap para hakim yang cenderung merugikan Penggugat I dan Penggugat II dalam sengketa tanah warisan dengan Tergugat I, Datas Ginting SH MH, dan para tergugat lainnya.
Sebagai contoh bahwa perkara perdata ini sudah berjalan terlalu lama. Sudah lebih 10 bulan sejak didaftarkan pada 13 Juli 2023. Padahal, target penyelesaian paling lama 6 (enam) bulan. Pelapor memperkirakan penyelesaian perkara ini bisa sampai lebih satu tahun.
“Majelis hakim tidak memperhatikan ketentuan yang ditetapkan oleh Mahmakah Agung (MA) bahwa persidangan harus selesai enam bulan,” kata pelapor dalam penjelasan tertulisnya ke KY. Pelapor merasa waktu persidangan sangat panjang dan melelahkan.
Menurut pelapor, majelis hakim tidak berdisiplin dan tidak memahami perasaan dan harapan dari Penggugat I dan Penggugat II agar persidangan melaksanakan prinsip cepat, murah dan efisien. Terlebih lagi Pelapor I dan Pelapor II berdomisili di Depok dan Bekasi. Sementara sidang perkara dilaksanakan di PN Kabanjahe.
Biaya perjalanan dan akomodasi mereka menjadi sangat besar bila majelis hakim menunda sidang selama dua pekan. Para pelapor mencatat bahwa majelis hakim selalu menunda dua minggu sesuai permintaan Tergugat I.
“Memang seperti menjadi unsur kesengajaan untuk memperlemah ketahanan finansial dan fisik serta mental Penggugat I dan Penggugat II dengan harapan persidangan tidak dapat dilanjutkan karena ketidakhadiran para pelapor,” kata Simson Ginting yang melayangkan laporan ke KY.
Menurut pelapor, praktik ulur-ulur waktu sudah berlangsung sejak proses mediasi di Kantor BPN Kabanjahe. Mediasi itu memakan waktu lebih 5 bulan. Taktik ulur waktu ini masih terus mewarnai persidangan.
Bahkan, penundaan sidang pernah sampai 4 minggu. Yaitu ketika suasana Lebaran. Majelis menunda dua minggu untuk Lebaran dan menambah dua minggu lagi setelah itu.
Pelapor mengatakan, ada perbedaan perlakuan majelis hakim dalam persidangan yang selalu mengalah kepada Tergugat I dalam hal jadwal sidang. Permintaan penundaan dari tergugat selalu dipenuhi. Sedangkan permintaan Penggugat agar jadwal sidang dimajukan satu hari ketika sidang yang dilaksanakan tiap Kamis itu jatuh pada hari libur, tidak pernah dipenuhi majelis hakim.
Penundaan yang paling menyakitkan adalah ketika Penggugat I dan Penggugat II menghadirkan saksi Wilson Sinisuka dari Depok. Pemilik tanah yang bersebelahan dengan tanah milik almarhum Tintang Ginting Suka, yang dialihkan dan diklaim Tergugat I sebagai pewaris tunggal padahal ada 10 ahli warisnya, seharusnya memberikan kesaksian pada 4 April 2024. Tetapi hakim anggota Adil Simarmata menunda sidang dengan alasan hakim ketua pergi tugas ke Medan.
Pelapor menambahkan, majelis hakim seperti mati rasa akibat penundaan itu. Betapa beratnya menanggung tiket pesawat PP Jakarta-Medan dan akomodasi untuk tiga peserta sidang yakni dua penggugat dan satu saksi. Begitu sidang dimulai, hakim langsung menunda.
“Kami hanya bisa mengelus dada terhadap ketidaknetralan dan ketidakarifan serta ketidakbijaksanaan majelis hakim,” kata Simson.
Para pelapor menceritakan pula tentang kejanggalan ketika Tergugat I, Datas Ginting SH MH, menghadirkan saksi yaitu mantan kepala desa Kacaribu, Suhardi Tarigan. Janggal, karena dia berstatus Tergugat III dalam perkara ini. Pelapor heran mengapa majelis hakim membolehkan Tergugat III menjadi saksi untuk kasus yang sama? “Sangat mengherankan dan sangat mencederai rasa keadilan,” kata pelapor.
Ketidaknetralan majelis hakim terlihat ketika Suhardi Tarigan dicecar dengan pertanyaan. Tergugat I, Datas Ginting, yang juga menjadi kuasa hukum untuk dirinya sendiri, langsung mengajukan keberatan ke majelis hakim setelah tiga pertanyaan terhadap saksi. Majelis menerima begitu saja. Sesi pertanyaan pun tak bisa dilanjutkan. Padahal, menurut pelapor, banyak sekali pertanyaan yang perlu dijawab oleh mantan kepala desa itu.
Sebaliknya, majelis hakim, Tergugat I dan Tergugat IV, mencecar habis dua saksi Penggugat I dan Penggugat dalam satu persidangan. Tak kurang dari 30 pertanyaan diajukan. Menurut pelapor, beda perlakuan ini sangat tidak netral, berat sebelah.
Pelapor, yaitu Penggugat I dan Penggugat II, memohon kepala Komisi Yudisial (KY) agar turun tangan untuk mengoreksi keberpihakan majelis hakim kepada Tergugat I. KY harus menindak perilaku yang tidak netral itu demi keadilan dan kepastian hukum, ujar pelapor. (AU)