Habib Rizieq Dukung Ulama dan Tokoh Jawa Timur Tolak Inpres Rehabilitasi Terhadap PKI
Jakarta, FreedomNews - Imam Besar Front Persaudaraan Islam (FPI), Habib Rizieq Syihab mendukung sikap aliansi ulama, habaib dan tokoh Jawa Timur yang menolak keras Keppres Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu dan Inpres Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. Penolakan tersebut karena memasukkan peristiwa PKI (Partai Komunis Indonesia) melalui Gerakan 30 September 1965 / Peristiwa 1965-1966 sebagai pelanggaran HAM (Hak Azasi Manusia) Berat yang diselesaikan secara non yudisial.
Sebab, Keppres dan Inpres itu berdampak pada kewarganegaraan. Salah satu isi yang disorot dan terus menimbulkan kegaduhan adalah rehabilitasi kepada pegiat dan pendukung serta keluarga PKI.
Habib Rizieq menjelaskan, sikap jamaah, para ulama, habaib serta para tokoh-tokoh Pondok Pesantren Jawa Timur merupakan suatu gerakan yang menolak Keppres dan Inpres yang terus menimbulkan kehaduhan..
"Saya ingin menyampaikan informasi yang tercatat, pada 8 Juli 2023 para ulama dan para tokoh beserta pimpinan tokoh pondok pasantren di Jawa Timur berkumpul di Surabaya, dan mereka mendeklarasikan yang luar biasa. Mereka menolak Keppres (Keputusan Presiden) Nomor 17 tahun 2022 sekaligus menolak Inpres (Intruksi Presiden) Nomor 2 tahun 2023,” ujar Habib Rizieq Syihab (HRS) melalui tayangan IBTV Channel YouTube.
Melalui Keppres dan Inpres tersebut, kata HRS, presiden menginventarisasi peristiwa-peristiwa yang dinilai sebagai pelanggar HAM (Hak Azasi Manusia) berat. Ada 12 peristiwa yang diinventarisir pemerintah masuk dalam pelanggaran HAM berat,” ujarnya.
HRS mengatakan, penyelesaian secara hukum atas pelanggaran HAM berat, baik melalui pengadilan atau secara restorative justice secara umum bagus-bagus saja, tidak ada masalah.
Ulama, kata HRS, tidak menolak itu. Jangan salah paham. Ulama-ulama yang di Jawa Timur bukan menolak peristiwa-peristiwa yang dianggap pelanggaran HAM berat itu. Akan tetapi, ada satu poin yang ditolak dan dipersoalkan yaitu peristiwa pelanggaran HAM Tahun 1965 dan 1966, tentang pemberontakan PKI yang membunuh para ulama, santri dan tujuh Pahlawan Revolusi.
Dia juga mempertanyakan mengapa hanya 12 peristiwa yang masuk dalam pelanggaran HAM berat? Kenapa peristiwa KM 50 kok (pembantaian enam laskar FPI) tidak masuk, itu kan melanggar HAM juga, kenapa peristiwa Bawaslu tanggal 22 Mei 2019 tidak masuk ada 10 korban yang terbunuh?
"Jadi jangan sampai nanti, waktu PKI membantai tujuh jenderal atau pahlawan revolusi, PKI membantai (santri dan ustaz) di pondok pesantren, tidak dianggap pelanggaran HAM," katanya.
HRS sudah meminta pengacara mempelajari Keppres dan Inpres tersebut dan kemudian supaya mengajukan hak uji materi atau yudicial review ke MK (Mahkamah Konstitusi).
"Jadi awal tahun 2023 ini saya sudah meminta kepada para pengacara, tolong dipelajari Keppres dan Inpres itu. Kalau tujuannya minta maaf kepada PKI dan memberikan kompensasi kepada keluarganya, tolak dan ajukan yudicial review, supaya dibatalkan MK," kata HRS.
Jadi, kata HRS, bahaya (Keppres dan Inpres) itu. Bagaimana kalau PKI jadi korban? Jadi, kalau PKI jadi korban, penjahatnya, ya TNI.(Tentara Nasional Indonesia), penjahatnya ya umat Islam yang dulu perang sama PKI, penjahatnya NU (Nahdlatul Ulama) yang mengerahkan para ulama dan santri melawan PKI, penjahatnya Muhammadiyah yang mengerahkan kader-kader untuk perang melawan PKI, penjahatnya habib-habib yang lewat majelis taklim ya semuanya menyerahkan umat melawan PKI. Tidak bisa, bahaya!" ucapnya.
HRS mempertanyakan sikap diam TNI atas masalah tersebut. "Makanya saya tidak habis pikir kalau sampai saat ini TNI masih diam saja. TNI mau disebut sebagai penjahatnya, sebagai pembantainya. Tidak boleh diam dong! Ini bertentangan dengan konstitusi, bertentangan dengan landasan negara, bertentangan dengan UU kita dan masih ada Tap MPR, soal urusan komunisme," ucapnya.
Lima poin pernyataan sikap yang dibacakan Ketua Aliansi Ulama, Habaib dan Tokoh Jawa Timur, Rahmat Mahmudi pada 8 Juli 2023 yang didukung HRS sebagai berikut:
Pertama, penerbitan Keppres 17 Tahun 2022 dan Inpres No 2 Tahun 2023 yang secara etis dimaksudkan untuk menginventarisir peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia dan merumuskan upaya penyelesaiannya secara non yudisial, termasuk di dalamnya upaya pemulihan hak korban dan kompensasinya, pada dasarnya merupakan upaya yang baik dan patut untuk mendapatkan dukungan.
"Sepanjang dalam pelaksanaannya dilakukan secara obyektif, faktual dan proporsional," kata Rahmat.
Kedua, dalam realisasinya, (ternyata) pelaksanaan Keppres 17 Tahun 2022 dan Inpres No 2 Tahun 2023 tersebut tidak mampu menginventarisir peristiwa pelanggaran HAM Berat secara obyektif, faktual dan proporsional.
“Hal itu tampak dari daftar 12 (dua belas) peristiwa yang diklaim pemerintah sebagai pelanggaran HAM Berat. Dicantumkannya satu peristiwa yang secara faktual bukanlah peristiwa pelanggaran HAM Berat, yaitu peristiwa 1965-1966 yang notabene itu adalah peristiwa pemberontakan PKI melalui Gerakan 30 September 1965 atau dikenal dengan G-3-S-PKI,” ujarnya.
Pada sisi lain, peristiwa-peristiwa yang yang seharusnya termasuk pelanggaran HAM Berat seperti peristiwa Tanjung Priok 1984, tewasnya 800 lebih petugas KPPS tahun 2019, dan peristiwa KM-50 tahun 2020, justru tidak dimasukkan dalam daftar pelanggaran HAM.
Ketiga, dimasukkan peristiwa 1965-1966 sebagai peristiwa pelanggaran HAM Berat dalam Inpres No 2 Tahun 2023, memiliki makna, bahwa, permerintah pada waktu itu (dalam hal ini TNI/ABRI) telah melakukan pelanggaran HAM Berat dan korbannya adalah anggota PKI.
Hal ini (jelas) bertentangan dengan fakta sejarah, di mana justru PKI-lah yang pada waktu itu secara biadab telah melakukan pembunuhan terhadap 6 Jenderal dan beberapa perwira TNI/ABRI lainnya, sebagai bagian dari strategi pemberontakan (kup) yang mereka lakukan.
“Bahwa kemudian TNI/ABRI melakukan penumpasan terhadap anggota PKI yang telah memberontak (kup) adalah merupakan kewajiban TNI/ABRI sebagai aparat pertahanan dan keamanan demi menyelamatkan negara,” ujar Rahmat.
Keempat, memasukkan peristiwa 1965-1966 sebagai pelanggaran HAM Berat dalam Inpres No 2 Tahun 2023, itu berkonsekuensi negara akan meminta maaf kepada PKI dan memberi kompensasi ekonomi kepada anggota PKI. “Tentu ini merupakan keputusan pemerintah yang salah. Irasional dan ahistoris dan melanggar undang-undang, mengingat PKI merupakan pertai terlarang sesuai Tap MPRS /XXV/1966.
Selain itu, jika ini dilanjutkan, maka akan terjadi pemutarbalikan fakta atas fakta sejarah yang, bukan saja melukai TNI/ABRI melainkan juga para ulama, umat Islam dan masyarakat luas mengingat kekejaman dan kebiadaban PKI di masa lalu.
Kelima, oleh karena itu kami menyatakan menolak keras atas pencantuman Peristiwa 1965-1966 dalam Inpres No 2 Tahun 2023 dan menuntut kepada pemerintah untuk mencabut Inpres tersebut. Atau sekurang-kurangnya menghapus butir Peristiwa 1965-1966 dan Inpres tersebut.
“Demikian pernyataan sikap kami sampaikan untuk diindahkan dan ditindaklanjuti demi kemaslahatan bangsa dan negara Indonesia,” kata Rahmat Mahmudi. (Anw).