Ratusan Tokoh Tandatangani Mosi Tidak Percaya Terhadap Jokowi
Jakarta, FreedomNews - Sebanyak 430 orang tokoh nasional menandatangani Mosi Tidak Percaya (MTP) terhadap Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Hal itu mereka lakukan dengan melihat keadaan negara dan bangsa yang semakin tidak baik yang kini berada pada jurang krisis.
MTP yang akan segera disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI itu dibacakan oleh Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), K.H.Muhyiddin Junaidi, di Jakarta, Rabu, 20 September 2023.
Mereka yang menandatangai MTP itu berasal dari berbagai lintas tokoh, mulai dari politisi, akademisi, ulama, jurnalis, purnawirawan militer dan pimpinan buruh. Antara lain, mantan Ketua MPR RI, Amien Rasis; Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ)/ mantan Ketua Komnas HAM, Hafiz Abbas; Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI), Jumhur Hidayat; Ketua Umum FPI (Front Persaudaraan Islam), Habib Muhammad Al Attas; Ketua Umum Gerakan Nasional Pembela Fatwa (FNPF) Ulama, Syekh Yusuf Martak
Saat membacakan MTP, Muhyidin antara lain didampingi, Ketua Umum Gerakan Nasonal Pembela Fatwa Ulama (FNPFU), Syekh Yusuf .Martak; Ketua Front Persaudaraan Islam (FPI) Habis Muhammad Hanif; mantan Ketua Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), Hafiz Abbas); mantan anggota DPR, Ahmad Yani; Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Jumhur Hidayat; dan sejumlah tokoh agama dan nasionalis lainnya.
"Indonesia saat ini berada pada jurang krisis bangsa dan bernegara yang ditandai kegagalan Presiden Joko Widodo dalam menjalankan demokrasi, melindungi kebebasan sipil da menyejahterakan rakyat," kata Muhyiddin.
Pembangunan yang dilakukan selama ini hanya memperkaya segelintir orang, dengan mempercepat pengurasan sumber daya alam dan berbagai aset lainnya, serta memperbesar utang luar negeri dan ketergantungan terhadap China.
Berbagai undang-undang dan perangkat hukum yang dikeluarkan, seperti UU Cipta Kerja, UU Kesehatan, UU Ibu Kota Negara, UU KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), UU Mineral dan Batubara (Minerba) dan lainnya hanyalah alat melegitimasi kekuasaan Presiden Jokowi yang sarat kepentingan oligarki. "Rakyat hanya menjadi penonton," ucap Muhyiddin.
Situasi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini jelas-jelas bertentangan dengan ideologi Pancasila yang mengajarkan supaya mencapai kemakmuran rakyat, keadilan sosial, nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.
Selama sembilan tahun Jokowi berkuasa, kata Muhyiddin, telah terjadi sejumlah penangkapan terhadap masyarakat umum, ulama dan aktivis. Secara spesifik telah terjadi pembunuhan terhadap santri pengawal ulama, kematian petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara dan peserta aksi unjuk rasa pada Pemilihan Umum 2019, pembiaran tragedi Stadion Kanjuruhan, pengebirian aksi-aksi mahasiswa dan buruh, serta pelanggaran HAM lainnya. Termutakhir bagaimana kezaliman nyata dipertontonkan di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, yang mencampakkan hak penduduk asli atas nama investasi. "Semua ini menunjukkan, rezim telah menjelma menjadi otoriter," ucapnya.
Selama sembilan tahun terakhir, sekitar 100 juta rakyat Indonesia kehilangan akses pada pekerjaan yang layak, terjebak dalam kemiskinan dan stunting, serta merosotnya secara terus-menerus kualitas hidup.
Ketika rakyat dan negara dalam krisis, Jokowi terus berusaha memperpanjang kekuasaan dan pengaruhnya menjelang Pemilu 2024. Hal tersebut dilakukan dengan cawe-cawe politik, baik melalui pengarahan terhadap partai politik (Parpol) tertentu maupun mengarahkan kekuasaan negara supaya memenangkan calon presiden pilihannya.
Bahkan, secara terang-terangan presiden mengatakan dirinya dengan menggunakan perangkat intelijen negara dan aparat keamanan lainnya memata-matai Parpol.
Jokowi, kata Muhyiddin, juga membangun poros Indonesia-China. Melalui penandatanganan MoU (Memorandum of Understanding) dengan Presiden RR China, Xi Jin Ping, Jokowi menyerahkan desain ibu kota negara baru di Kalimantan Timur kepada China. "Hal ini tentu sangat membahayakan kedaulatan bangsa dan negara Indonesia," ujar Muhyidin. (MD/Pan).