APBN Kritis, Pemerintah Nekat Mau Kenakan Iuran Pariwisata Secara Ilegal dan Melanggar Konstitusi

Kenaikan beban bunga pinjaman naik, dan penurunan penerimaan perpajakan, membuat rasio beban bunga pinjaman terhadap penerimaan perpajakan per Maret 2024 meningkat drastis, mencapai lebih dari 24 persen.

Oleh: Anthony Budiawan, PEPS (Political Economy and Policy Studies)

PEMERINTAHAN Joko Widodo semakin membabibuta. Semakin nekat. Semakin kehilangan akal. Konsititusipun ditabrak. Rencananya, pemerintahan Jokowi mau mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk menarik iuran pariwisata dari masyarakat melalui tiket penerbangan.

Seperti dilansir Tempo (Jumat, 26 April 2024 09:00 WIB), kabar pemerintah akan mengenakan iuran dana pariwisata pada tiket pesawat menjadi kontroversi. Sejumlah pihak menolak wacana tersebut dengan berbagai alasan, termasuk melanggar Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

Isu tentang tambahan iuran pada tiket pesawat itu menjadi perbincangan setelah anggota Dewan Pakar Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) Alvin Lie mengunggah surat undangan rapat dari Kemenko Maritim dan Investasi untuk membahas soal pengenaan iuran pariwisata melalui tiket penerbangan.

Dalam undangan untuk rapat pada Rabu, 24 April 2024, di Kantor Kemenko Marves itu, disebutkan bahwa agenda rapat adalah "pengenaan iuran pariwisata melalui tiket penerbangan".

Unggahan pada Ahad, 21 April 2024, itu lantas dihubungkan oleh masyarakat dengan rencana pemerintah membentuk dana abadi pariwisata.

Rencana itu pun mendapat tanggapan dari DPR. Anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Sigit Sosiantomo mengatakan penetapan tarif tiket pesawat harus memperhatikan daya beli masyarakat.

"Penetapan tarif pesawat juga harus memperhatikan kemampuan daya beli masyarakat dan itu diatur dalam penjelasan Pasal 126 ayat (3) UU Penerbangan," ujar Sigit dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis, 24 April 2024.

Sigit mengatakan berdasar Pasal 126 UU Penerbangan, penetapan tarif penumpang kelas ekonomi dihitung berdasarkan komponen tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi, dan biaya tuslah/tambahan (surcharge).

Surcharge adalah biaya yang dikenakan karena terdapat biaya-biaya tambahan yang dikeluarkan oleh perusahaan angkutan udara di luar penetapan tarif jarak.

"Kalau dipaksa lagi mau menarik iuran pariwisata, itu sama saja penumpang dikenakan tambahan biaya double. Dan tidak semua penumpang naik pesawat untuk keperluan wisata," kata Sigit.

Dengan berbagai pertimbangan tersebut, Sigit menegaskan bahwa penarikan iuran pariwisata sebaiknya tidak diterapkan.

Anggota Komisi V lainnya, Suryadi Jaya Purnama dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mengatakan, penerapan iuran itu berpotensi melanggar Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

Suryadi juga menyatakan, bahwa apabila pengenaan iuran pariwisata ini direalisasikan oleh pemerintah, dikhawatirkan dapat menurunkan tingkat okupansi pesawat.

"Juga berpotensi menurunkan keinginan masyarakat untuk berwisata menggunakan moda transportasi pesawat," ujarnya.

Ia menilai, semestinya Kementerian Pariwisata lebih kreatif lagi dalam mencari dana pariwisata. Menurut dia, iuran pariwisata semestinya dikumpulkan melalui kegiatan yang berhubungan langsung dengan kegiatan pariwisata.

"Fraksi PKS juga meminta kepada Kementerian Perhubungan agar dalam penetapan tarif tiket pesawat harus memperhatikan kemampuan daya beli masyarakat sebagaimana diatur di UU Penerbangan," katanya.

Sementara itu, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Saputra menyatakan tidak setuju terhadap rencana pengenaan iuran pariwisata di tiket penerbangan oleh pemerintah. Menurut dia, pengenaan iuran pariwisata di tiket pesawat membuat tarif tiket dan beban penumpang meningkat.

"Enggak setuju dikenakan di dalam harga tiket," katanya saat dihubungi, Rabu, 24 April 2024.

Apabila rencana ini direalisasikan pemerintah, ujarnya, secara umum penumpang tidak akan mengetahui adanya iuran pariwisata di dalam tiket pesawat yang dibeli.

"Ujungnya mereka (penumpang) menyalahkan maskapai yang terkesan seenaknya menaikkan harga tiket," katanya.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno, meminta masyarakat untuk tidak khawatir terkait pungutan yang dibebankan dalam tiket pesawat. Pasalnya, belum ada keputusan soal pungutan itu.

Hingga kini diakuinya tiket pesawat masih terbilang mahal, berdasarkan masukan serta keluhan dari masyarakat yang akan menggunakan pesawat saat bepergian di dalam negeri maupun keluar negeri.

"Per hari ini jangan khawatir tidak akan membebani masyarakat dengan harga tiket yang lebih mahal lagi," katanya.

Sementara soal dana abadi pariwisata, hingga kini pemerintah masih mengkaji dan mengumpulkan beberapa opsi untuk pengumpulan dana serta besaran dana yang dimaksud.

Meski dibantah Sandiaga, kemungkinan mengenakan tambahan iuran pada tiket pesawat sangat menggiurkan. Pasalnya, jumlah penumpang pesawat sangat banyak.

Penumpang di 20 bandara yang dikelola Angkasa Pura II saja, sepanjang Januari - Desember 2023 secara kumulatif mencapai 80,14 juta orang. Sementara jumlah di 15 bandara yang dikelola Angkasa Pura I mencapai 69,8 juta orang. Jika dijumlahkan hampir 150 juta penumpang.

Jika dikenakan Rp1 ribu saja per penumpang, pemerintah bisa mengantongi setidaknya Rp150 miliar setahun. Bukan jumlah yang sedikit.

Perpres pungutan dana masyarakat, seperti iuran pariwisata, adalah ilegal. Karena semua pungutan dari masyarakat harus diatur dengan undang-undang, sesuai bunyi Pasal 23A UUD: Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.

Artinya, iuran pariwisata yang bersifat memaksa tidak bisa diatur dengan Perpres. Karena negara ini bukan milik Presiden. Paham?!

Pertanyaannya, mengapa pemerintahan Jokowi nekat menarik dana dari masyarakat dengan cara melanggar konstitusi?

Kenekadan pemerintah menarik iuran pariwisata secara ilegal dan melanggar konstitusi ini merefleksikan keuangan negara (APBN) sedang dalam kondisi kritis.

Hal ini juga tercermin dari realisasi APBN 2024 periode triwulan I (Q1).

Di dalam APBN 2024, pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan (pajak dan bea & cukai) naik dari Rp2.118,3 triliun pada 2023 menjadi Rp2.309,9 triliun pada 2024, atau naik sekitar 9,4 persen.

Tetapi, realisasi penerimaan perpajakan selama triwulan pertama 2024 malah turun sangat signifikan dibandingkan periode sama 2023. Yaitu dari Rp504,2 triliun (Q1/2023) menjadi hanya Rp462,9 triliun (Q2/2024). Atau turun 8,24 persen.

Yang lebih memprihatinkan, pencapaian penerimaan perpajakan pada triwulan pertama 2024 ini (Rp462,9 triliun) hanya 20 persen dari target Rp2.309,9 triliun.

Kalau tren penerimaan perpajakan terus berlanjut seperti ini, maka penerimaan perpajakan diperkirakan hanya mencapai 80%, atau kurang (shortfall) 20 persen dari target, setara Rp462 triliun.

Di lain sisi, belanja pemerintah diperkirakan membengkak dibandingkan target ABPN. Salah satu pemicunya adalah kurs rupiah.

Di dalam APBN 2024, kurs rupiah ditetapkan Rp15.000 per dolar AS. Sangat rendah. Sedangkan faktanya, kurs rupiah sudah anjlok cukup dalam, mencapai Rp16.250 per dolar AS (1/5/24). Sehingga, kurs rupiah rata-rata selama Q1/2024 diperkirakan mencapai Rp15.750 per dolar AS, dengan tren terus meningkat.

Dampaknya terhadap APBN (Keuangan Negara) cukup buruk. Pengeluaran atau kewajiban pemerintah terkait mata uang asing akan membengkak. Antara lain, bunga pinjaman dalam mata uang asing, subsidi energi (BBM, elpiji, listrik), subsidi pupuk, akan melonjak.

Kenaikan beban bunga pinjaman naik, dan penurunan penerimaan perpajakan, membuat rasio beban bunga pinjaman terhadap penerimaan perpajakan per Maret 2024 meningkat drastis, mencapai lebih dari 24 persen.

Semua ini menunjukkan APBN dalam kondisi Kritis.

Apakah karena itu, pemerintah nekat mau menarik uang dari masyarakat, secara melawan hukum dan melanggar konstitusi, melalui Perpres iuran pariwisata? (*)