Hari Ini Rencananya Jokowi – Xi Jinping Resmikan KCIC – JB: Menandai Kebijakan Hilirisasi Ideologi Komunis China
Kita saksikan di Rempang, Kalteng, Lampung, Morowali, di Ternate dan lain tempat, bagaimana rakyat kecil digusur, dirampas tanah ulayat mereka. Kita mesti membaca semua itu sebagai fenomena “hilirisasi ideologi komunisme RRT”.
Oleh: Ferry Is Mirza DM, Wartawan Utama Sekwan Dewan Kehormatan Pengurus PWI Jatim
TAMPILNYA Joko Widodo (Jokowi) di pentas politik nasional – mulai jadi Walikota Solo, Gubernur DKI sampai dua priode sebagai RI-1 – telah banyak disinyalir sejumlah kalangan bahwa Jokowi ini keturunan tak jelas.
Untuk konfirmasi atas hal ini silakan di-googling, tersedia banyak rekam jejak digital perihal ini. Walaupun tidak ada konfirmasi dari pihak berwenang bahwa benar Jokowi ada keturunan aktivis dan atau underbow-nya partai terlarang.
Namun jika kita amati pembelahan sosial pada pilpres tahun 2019 yang didesain secara naratif dengan menghadirkan istilah “cebong” dan “kampret”, secara teori dapat dibaca sebagai “teori konflik” yang dikenal lazim penggunaannya dalam penerapan ideologi komunis.
Kita juga menyaksikan bahwa pihak pendukung Jokowi (Projo), mencitrakan diri mereka sebagai Pancasilais, dan mencitrakan lawan politik Jokowi sebagai radikalisme, ekstrimisme, anti Pancasila. Persis seperti menduplikasi cara PKI dalam membangun propaganda di masa lampau, dengan mencitrakan kelompok Sukarnois sebagai “progressif revolusioner” di satu sisi, dan menuduh lawan politik mereka (terutama kalangan NU dan Masyumi) sebagai kelompok yang anti revolusi.
Dalam hal investasi, kita juga menyaksikan hubungan erat antara rezim Jokowi dengan China, sebagaimana dulu juga dilakukan oleh Sukarno pada masanya, sehingga desakan pembubaran PKI oleh TNI-AD, Pelajar dan Mahasiswa pasca peristiwa G30S 65 /PKI tidak digubris oleh Sukarno.
Singkatnya, ada paralelisme penerapan ideologi komunis yang tampak pada level hilir, telah dilakukan oleh Jokowi dan para pendukungnya. Tentu saja berbeda secara teknikal karena faktor media sosial yang digunakan.
Dengan melakukan pencermatan secara mendalam, dengan yakin menyebut bahwa Jokowi telah melakukan Hilirisasi kebijakan ideologi Komunis. Meski masih pada level yang belum sepenuhnya, tentu saja, pihak China Tiongkok yang menggandeng erat tangan Jokowi ini, memiliki kepentingan agar program hilirisasi ideologi komunis China di Indonesia terus berlanjut.
Karena itu bisa dipastikan bahwa anasir-anasir kekuatan ekonomi – politik Komunis China bermain dalam Pemilihan Presiden tahun 2024 mendatang, sebagaimana mereka telah melakukannya pada Pilpres 2019 yang lalu, sukses mengelabui kita semua karena berhasil memasang dua pasangan Calon Presiden.
Skenario dua pasangan calon presiden yang sukses dilakukan pada pilpres 2019 lalu, memang tidak banyak disadari para aktivis politik, para relawan yang dimobilisasi. Dan bahkan, sedemikian “buta”nya dengan skenario dua pasangan capres itu, pada level relawan kedua kubu saling caci-maki, saling lapor polisi, saling hujat satu sama lain. Yang sesungguhnya semua itu by design melalui apa yang disebut sebagai “teori konflik dalam narasi tesa anti tesa”.
Untuk diketahui, masuknya Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno dalam Kabinet Rezim Jokowi, kemudian membuka tabir skenario dua pasangan itu. Kedekatan Jokowi dan Prabowo yang telah ditunjukkan belakangan ini, yang membuat PDI Perjuangan merasa “terhianati”, sebenarnya tidak perlu terjadi, jika elit para PDIP menyadari skenario Komunis Tiongkok yang hilirisasinya sedang dijalankan oleh Jokowi.
Hilirisasi ideologi komunis dengan dukungan jaringan Tiongkok ini seperti dikemukakan di atas, memang masih “lemah”, masih tahap proses enkulturasi dalam pendekatan teori sosial. Hal itu karena memang program hilirisasi ideologi komunis ini, dimainkan melalui jalur politik ekonomi. Sebagaimana China melakukannya pula di sejumlah negara di Asia Selatan, Amerika Latin dan Afrika.
Setelah kita menyadari hal demikian, tampaknya sejumlah tokoh dengan lantang mulai bersuara. Terutama yang tergabung dalam KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia). Tokoh-tokoh seperti Jenderal Gatot Nurmantyo, Prof Din Syamsudin, Rocky Gerung, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Alfian Tanjung, Refly Harun, Marwan Batu Bara, Faisal Basri, Anthony Budiawan, Said Didu, Egy Sudjana, Edy Mulyadi, dan banyak lagi secara lantang menyuarakan keprihatinan mereka.
Kesadaran yang sama tampaknya merasuk juga dalam diri Surya Paloh (Ketum Partai Nasdem), dan tentu saja para petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Komunikasi politik mereka intensifkan dan membentuk suatu kesadaran Kebangsaan berbasis Nasionalisme – Religius yang kemudian mereka sebut sebagai Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP).
Selanjutnya, kita semua telah mengikuti bahwa gagasan tentang perlunya perubahan, memerlukan figur yang mampu membawa agenda-agenda perubahan itu, bukan sebatas menjadi wacana, tapi mesti disertai dengan langkah dan atau tindakan nyata. Dan untuk itu dibutuhkan figur yang tepat. Surya Paloh tentu telah melakukan profiling terhadap sejumlah tokoh bagi kebutuhan mengusung agenda perubahan itu.
Nama Anies Baswedan yang saat itu masih menjabat Gubernur DKI menjadi salah satu incaran Surya Paloh, dan benar adanya nama itu kemudian dideklarasikan oleh Partai Nasdem sebagai Calon Presiden, disusul oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Di sinilah kita bisa memahami mengapa PKS tidak ngotot mengajukan Cawapres. Sebagaimana Surya Paloh dengan Partai Nasdemnya, sosok Anies Baswedan adalah dipilih karena kebutuhan untuk memimpin agenda perubahan. Dan untuk kebutuhan itu, Nasdem dan PKS belum cukup untuk mengusung Anies Baswedan, dibutuhkan tambahan koalisi partai.
Maka lobby politik dilakukan untuk mencukupi batas minimum pencalonan, menurut ketentuan perundang-undangan terkait dengan keharusan presidential threshold. Dukungan yang dibutuhkan datang dari Partai Demokrat. Namun, seperti yang telah kita ketahui, bahwa telah terjadi hal yang menyebabkan koalisi Partai Nasdem, PKS dan PD itu tidak dapat dipertahankan. PD hengkang ke KIM (Koalisi Indonesia Maju) yang dimotori Partai Gerindra.
Agenda perubahan harus berjalan, demi bangsa dan negara, demi Pancasila dan UUD 1945, demi NKRI, kira-kira begitulah dalam benak Surya Paloh.
Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang sudah setahun lebih partainya PKB berkoalisi dengan Gerindra tidak kunjung ditetapkan sebagai Cawapres oleh Prabowo, yang terus menunggu arahan Jokowi. Cak Imin memberi sinyal kepada Prabowo melalui petinggi PKB, akan meninggalkan Gerindra jika Cak Imin tidak segera ditetapkan sebagai Cawapres.
Tampaknya sinyal yang dikirim PKB itu dianggap enteng oleh Prabowo. Prabowo tanpa konfirmasi Cak Imin mengubah nama koalisi. Cak Imin memperlihatkan “taringnya”.
Sepulang dari acara pendeklarasian nama baru koalisi oleh Prabowo, (yang tidak diterima Cak Imin), ia tidak balik ke rumah, tapi langsung mengontak Surya Paloh malam itu juga. Surya Paloh dan Muhaimin pun bertemu di Nasdem Tower. Dan tanpa basa-basi, Surya Paloh menetapkan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai Cawapres untuk mendampingi Anies Baswedan sebagai Calon Presiden.
Selanjutnya para pembaca juga tentu telah mengikuti perkembangannya.
Catatan ini berniat mengajak kita semua memperhatikan proses hilirisasi kebijakan pemerintahan Jokowi yang membonceng ideologi komunis China. Bagaimanapun Jokowi itu sering bicara dan berpidato dengan menyebut-nyebut Pancasila, tapi yang kita saksikan justru penghianatan terhadap nilai-nilai Pancasila. Kita tidak perlu lama, tidak sulit untuk memahami hal di atas.
Semisal, hari ini Senin 2 Oktober Jokowi dan Xi Jinping rencananya akan meresmikan KCIC JB (Kereta Cepat Indo China Jakarta Bandung) proyek dengan Mega Biaya APBN Rp 108 triliun itu. Tentu hal yang sama bisa dia lakukan untuk semua proyek kerjasama dengan China. Terkait hilirisasi ideologi Komunis.
Kita saksikan di Rempang, Kalteng, Lampung, Morowali, di Ternate dan lain tempat, bagaimana rakyat kecil digusur, dirampas tanah ulayat mereka. Kita mesti membaca semua itu sebagai fenomena “hilirisasi ideologi komunisme RRT”.
Selamat memperingati tragedi G30 S/PKI, yang disusul dengan Hari Kesaktian Pancasila dilanjutkan dengan hari TNI (ABRI) tanggal 5 Oktober 2023, hari di mana tujuh jenazah korban kebiadaban PKI dimakamkan.
Pesan penulis bahwa mengingat sejarah sebuah tragedi bukanlah bertujuan untuk mencaci-maki sejarah itu. Namun agar kita bijak dalam menghadapi masa depan, supaya tragedi sejenis jangan sampai terulang kembali.
Mari kita usung bersama agenda perubahan, berikan dukungan bagi pasangan Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar (AMIN), disertai doa, semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala memberikan taufiq, hidayah, dan inayah-Nya kepada Anies – Muhaimin, dan kepada seluruh Bangsa Indonesia di manapun berada. (*)