Kalau Sudah Main PPN Naik Berarti APBN Kere Keriting: Apa Kata Bank Dunia dan Bagaimana Jalan Keluarnya?
Sekarang dari mana uangnya? Apakah ada? Tentu saja ada. Mencari uang bisa dimulai dengan membenahi, merapikan data-data ekploitasi sumber daya alam, minyak, batubara, timah, nickel, sawit dan lain sebagainya.
Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
MENGAPA bisa kere keriting? Karena lebih besar pasak daripada tiang. Apa yang membuat pasak besar? Utang pemerintah yang menyebabkan untuk bayar bunga dan cicilan pokok yang sangat besar pula. Apa lagi?
Sebab gagal mendistribusikan subsidi yang tepat sasaran, terutama subsidi dan kompensasi BBM, subsidi LPG 3 kg, dan over supply listrik yang mengakibatkan pembayaran subsidi dan kompensasi listrik terus membengkak. Ini bukan masalah uang semata tapi kesalahan sistem.
Apa penyebab paling fundamental APBN kere keriting? Karena sistem pengelolaan sumber daya alam yang tidak benar atau menyimpang dari konstitusi. Negara tidak mendapatkan bagi hasil sumber daya alam. Negara hanya memungut pajak ala kadarnya atas kegiatan eksploitasi sumber daya alam.
Seharusnya negara mendapatkan bagi hasil, bukan pungut pajak. Sekarang negara mendapatkan sedikit sekali dari eksploitasi SDA itu, sementara pemilik modal asing dan kroninya mendapatkan sangat banyak. Keuntungan mereka atas eksploitasi SDA melimpah-ruah.
Bukan hanya APBN yang kere, namun rakyat juga keriting. Apa sebab? Sistem ekonomi Indonesia sampai saat ini menganut model sistem ekonomi lintah darat. Terlalu banyak menghisap ke dalam tubuh rakyat sendiri. Melalui apa?
Dua kebijakan utama, yakni pajak terhadap kegiatan sehari-hari masyarakat seperti orang makan minum dipalaki, belanja kebutuhan sehari-hari dipajaki, usaha kecil kelontongan dipajaki. Ini semua menyedot uang yang beredar dalam masyarakat. Uang beredar yang sangat kecil disedot dengan vacuum cleaner.
Apalagi model ekonomi lintah darat ini? Yakni bunga yang sangat menghisap darah rakyat. Bunga bank mencekik, mengapa karena bunga surat utang negara lebih tinggi. Uang mengalir ke bank dan mengalir ke surat utang negara. Lama lama masyarakat tidak memiliki sisa uang di rekening, saldo nol, tidak bisa belanja.
Kemudian berutang ke dalam sistem pinjaman onlen untuk mendapatkan uang membeli sesuap nasi setiap hari. Ini yang membuat ekonomi kere keriting itu. Mengapa bunga bank tinggi, karena resiko ekonomi tinggi, uang ditakutkan mengalir ke luar negeri, karena rupiah yang labil. Maka dihadapilah dengan bunga tinggi. Makin kering ekonomi terhisap riba dan lintah darat.
Apa Kata Bank Dunia
Berikut saya kutip dari laporan bank dunia tentang tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Indonesia, mengapa seperti sekarang ini? Mengapa PPN yang menjadi incaran sejak datang Covid 19 oleh Kementerian Keuangan (Menkeu). PPN memang cara paling sederhana, paling mudah, pukul rata, naikin beberapa persen, dapat uang, tapi ini sama dengan peras langsung dari masyarakat.
Kata Bank Dunia Pendapatan negara Januari hingga April mencapai 4,1 persen PDB, turun dari 4,8 persen PDB tahun sebelumnya, juga sebagian besar disebabkan oleh penurunan pendapatan dan penerimaan pajak sumber daya alam.
Penurunan penerimaan pajak sebagian besar diatribusikan pada Pajak Penghasilan dan PPN, seiring melemahnya permintaan dalam negeri dan harga komoditas secara bertahap menurun. Pemerintah mengutip lebih tinggi pengembalian pajak karena perusahaan akan membayar lebih berdasarkan pajak mereka. Walaupun kinerja bisnis yang lebih buruk dari perkiraan.
Kata Bank Dunia diantara PNBP, pendapatan sumber daya alam (SDA) yang paling terkontraksi, khususnya di sektor minyak, seperti beberapa ladang minyak habis. Walaupun sebenarnya Indonesia akan memproduksi 1 miliar ton batubara tahun 2025 dan juga akan meningkatkan ekploitasi berbagai sumber daya alam lainnya. Masalah ladang migas kering atau habis masih menjadi kecurigaan banyak pihak apakah ini benar habis atau dicuri oleh pihak tertentu.
Menggenjot PPN Kontraproduktif
Bank dunia rupanya sadar akan kemampuan aparatur pajak Indonesia dan bagaimana perilaku mereka. Jadi dibuatlah analisis yang mudah atau cara yang tidak perlu mikir panjang untuk cari uang dengan cara memeras masyarakat.
Apa kata Bank Dunia? Menaikkan tarif pajak merupakan bagian dari reformasi dari perspektif desain kebijakan, hal yang dibarengi dengan langkah langkah untuk memperluas pajak dan meningkatkan kepatuhan. Reformasi dimulai melalui THL tahun 2021 dapat dilengkapi melalui langkah-langkah jangka pendek dan menengah.
Untuk dalam jangka pendek, reformasi dapat dilengkapi ambang batas pajak yang lebih rendah, penghapusan pengecualian pajak, dan perbaikan dalam mekanisme audit untuk meningkatkannya kepatuhan.
Dalam jangka menengah, pilihan untuk menaikkan pengumpulan pajak dapat dilaksanakan melalui perbaikan akses dan ketersediaan data pihak ketiga untuk dilacak dan diverifikasi pendapatan, serta upaya formalisasinya.
Iming-iming Bank Dunia adalah penerimaan pajak yang lebih tinggi pada gilirannya bisa membiayai kegiatan sosial bantuan untuk memberi kompensasi kepada masyarakat miskin yang terkena akan dampak tarif PPN yang lebih tinggi tersebut.
Padahal, sebenarnya PPN ini langsung menyedot pendapatan kaum miskin dan mengembalikan kepada kaum miskin akan melewati birokrasi yang panjang dan sangat korup. Bank Dunia tentu tahu itu.
Tidak Efisien atau Korup
Kata Bank Dunia masalah Indonesia bukan menaikkan pajak PPN, tapi bagaimana efektifitas dan efisiensi dalam pengumpulan pajak. Pajak yang diterima negara tersebut tidak sesuai dengan yang disetorkan masyarakat. Banyak sekali nyangkut di mana-mana. Kata Bank Dunia ini tidak efisien dan tidak patuh.
Dikatakan Indonesia menghadapi tantangan efisiensi yang membatasi potensi kenaikan tarif pajak untuk menghasilkan tambahan pajak pendapatan. Hanya sebesar 0,53, rasio efisiensi PPN adalah 0,17 poin di bawah rata-rata negara-negara tetangga di kawasan (rasio angka 1 menunjukkan sistem pemungutan pajak yang sangat efisien). Ini namanya pajak dipungut tapi tidak disetor pada negara.
Kata Bank Dunia, keadaan ini menunjukkan potensi pendapatan yang bisa dimiliki dikumpulkan dengan tarif saat ini hampir dua kali lipat, yaitu pemungutan pajak yang sebenarnya.
Jika rasio C-koleksi ditingkatkan ke tingkat yang setara dengan negara-negara lainnya di kawasan, perkiraan menunjukkan bahwa pengembalian fiskal dari PPN kenaikan suku bunga bisa meningkat hingga 32 persen keuntungan saat ini.
Kekurangan berasal dari kedua kebijakan tersebut desain PPN dan kepatuhan pajak yang rendah. Bukti dari negara lain menyarankan bahwa PPN menurut undang undang kenaikan suku bunga mungkin menghasilkan sedikit atau tidak ada pendapatan tambahan keuntungan jika tantangan ketidakpatuhan terus berlanjut.
Efisiensi pajak yang rendah disebabkan oleh sempitnya basis pajak dan kepatuhan yang rendah, yang mengakibatkan pengumpulan pajak tambahan terbatas jika tarif dinaikkan. Jadi masalahnya bukan naikin PPN akan tetapi korupsi nya diberantas, dihabisi sampai ke akar akarnya, sehingga pajak yang dipungut sampai ke kas negara.
Rapi-rapi, Bersih-bersih, Bagi-bagi Duit
Kalau melihat data ekonomi yakni deflasi dalam lima bulan terakhir, seharusnya memberi gambaran kepada pemerintah bahwa daya beli masyarakat menurun. Apalagi deflasi dipicu oleh penurunan bahan makanan, berarti masyarakat sudah kehilangan kemampuan membeli bahan pokok. Harga bahan pokok makin tidak terjangkau oleh saldo yang tersisa di rekening orang. Mana bisa menaikkan PPN dalam situasi dan kondisi begini?
Pemerintah harus mengubah orientasinya dari menyedot uang dari masyarakat menjadi kebijakan membagikan uang kepada rakyat atau kalimat awam dari distribusi pendapatan. Mengatasi keadaan sekarang ini dapat juga dilakukan dengan membangi uang yang banyak, kalau tidak bisa membagi pekerjaan maka langsung saja membagikan uang.
Ini cara paling baik dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang kita tau ditopang oleh konsumsi.
Mengingat sekarang ini pertumbuhan ekonomi ditopang oleh konsumsi, konsumsi ditopang oleh kredit konsumsi atau pinjaman onlen. Makanya lama-lama uang di masyarakat mengering. Jadi, mengatasinya tidak bisa lagi dengan mekanisme pinjaman berbunga tinggi, namun langsung membagikan uang kepada masyarakat.
Sekarang dari mana uangnya? Apakah ada? Tentu saja ada. Mencari uang bisa dimulai dengan membenahi, merapikan data-data ekploitasi sumber daya alam, minyak, batubara, timah, nickel, sawit dan lain sebagainya.
Ini harus dimulai dengan membentuk komando pasukan khusus untuk merapikan masalah ini.
Selanjutnya coba dipikirkan bagaimana caranya agar uang yang diperoleh dari hasil ekspor sumber daya alam bisa kembali ke dalam negeri, dan berputar dalam ekonomi nasional. Uang swasta yang diperoleh dari keruk SDA balik ke dalam negeri mengisi darah dan memperkuat urat nadi ekonomi nasional.
Sekarang kita tahu ini banyak disimpan di luar negeri. Ini perlu Pangkokamtib untuk rapi rapi, bersih bersih, dan selanjutnya bagi bagi duit kepada masyarakat. Ok Bos? (*)