Luruskan Tambang Bengkok Melalui Sidang Tanwir

Mata hati Ilahiah akan didahulukan ketimbang ketakutan atau keuntungan dunyawiyah. Lambang Muhammadiyah adalah matahari yang bersinar, bukan tambang yang mengikat apalagi menjerat. Muhammadiyah adalah harapan dan cahaya umat.

Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan

MUHAMMADIYAH telah menyatakan menerima tawaran untuk mengelola tambang di lahan yang berasal dari IUP yang dicabut atau di area penciutan wilayah eks PKB2B. Penerimaan diputuskan dalam agenda Konsolidasi Nasional yang pesertanya PP Muhammadiyah dan PWM seluruh Indonesia.

Berdasarkan Keputusan itu maka dijalankan program pengelolaan tambang yang diawali dengan pembentukan Tim yang diketuai Prof. Dr Muhadjir Effendi, Menko PMK rezim Joko Widodo.

Aturan Muhammadiyah baik Anggaran Dasar maupun Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah tidak mengenal nomenklatur Konsolidasi Nasional untuk pengambilan keputusan mengikat bagi organisasi.

Pada tingkat Pusat di samping Muktamar dan Muktamar Luar Biasa ada Tanwir sebagai mekanisme permusyawaratan. Dalam Rapat dikenal Rapat Pimpinan dan Rapat Kerja Pimpinan baik Raker PP maupun Raker Unsur Pembantu Pimpinan.

Mungkin PP Muhammadiyah menganggap Konsolidasi ini sebagai Pleno yang diperluas. Jika demikian maka hal itu justru menjadi pertanyaan sebab Rapat Pleno nyatanya sudah dilakukan. Artinya Konsolidasi Nasional ini lebih pada "sosialisasi" keputusan Rapat Pleno.

Maka keputusan Konsolidasi Nasional hanya rekayasa untuk "seolah-olah" hasil Rapat Pleno didukung oleh Wilayah.

Di media beredar naskah pandangan Ortom, Wilayah maupun Unsur Pembantu Pimpinan yang mungkin telah muncul di arena Konsolidasi Nasional. Pandangan mana dinilai kritis, komprehensif dan berbobot sebagai "warning" atau "tadzkirah" agar Muhammadiyah berhati-hati dalam menerima tawaran pengelolaan tambang.

Muhammadiyah akan (sudah mulai) babak belur di masyarakat. Keagungan dan keistiqomahan yang andal mulai rontok oleh racun ular tambang. Seorang Kyai ternama menyatakan, "Sayang sekali ketika ummat sedang terkagum-kagum dan menggantungkan harapan, Muhammadiyah tidak memanfaatkannya, malah terkesan seperti (maaf) meludahi harapan mereka. Wallahu musta'an".

PP Muhammadiyah harus mulai sadar akan fitnah yang sedang dibuat. Menyadari bahwa keputusan bisa benar dan salah, maka soal tambang ini, meski dengan dalih kepentingan da'wah, tampaknya PP Muhammadiyah mengambil keputusan yang salah.

Evaluasi dan introspeksi bukan jalan hina.

Dorongan untuk melakukan Sidang Tanwir sangat bijak. Kembalikan pada mekanisme organisasi dalam mengambil keputusan strategis yang berhubungan dengan maslahat umat dan masyarakat. Persyarikatan jangan dibawa ke ruang judi (maisir). Tawaran pengelolaan tambang bukan bisnis sehat, bukan area da'wah dan bukan medan ghazwah. Tidak juga membahagiakan ummah.

Muhammadiyah mengalami mushibah. Ada saat kondisi melemah. Jangan paksakan kehendak di tengah hati anggota yang tidak bergairah. Muru'ah as saja'ah harus ada pada pimpinan sehingga jalan Muhammadiyah kembali terarah. Lepaskan ikatan tambang demi kebaikan ummah dan menjauhi fitnah. Menutup pintu syaithan yang selalu ingin memecah belah.

Ini bukan semata pro dan kontra tetapi komitmen pada perjuangan da'wah Muhammadiyah yang tidak boleh semata berbasis keuntungan dunyawiyah. Rasakan getar gelisah warga Muhammadiyah di bawah.

"Innama turhamuna wa tunshoruna wa turzaquna bidhu'afaikum" – Sesungguhnya kasih sayang, pertolongan dan rizki itu karena kaum yang di bawah (dhuafa).

Tambang yang ditawarkan PP Nomor 25 tahun 2024 adalah giringan halus agar Ormas Keagamaan memihak kepada kaum pemilik modal (kapitalis) dan penguasa pengatur (oligarkis).

Segera kaji ulang melalui Sidang Tanwir. Ini adalah jalan terbaik bagi Muhammadiyah untuk melepas jeratan tambang.

Fitnah Tambang

Persoalan pengelolaan tambang adalah "masalah kecil" bagi Muhammadiyah, tetapi jika salah langkah bisa menjadi guncangan besar atau sekurang-kurangnya memancing fitnah bagi Ormas Keagamaan sebesar Muhammadiyah. Pro-kontra internal warga persyarikatan akan semakin tajam. Kecaman publik menguat.

Banyak kalangan umat Islam khawatir Muhammadiyah menerima tawaran Pemerintah untuk mengelola tambang khususnya pada lahan eks PKP2B. Sangat disayangkan jika Muhammadiyah menjadi terpaksa menerima, menyerah pada penyanderaan atau tergiur pada keuntungan dunia.

Akan rontok kebanggaan atas sikap istiqomah Muhammadiyah yang selama ini berhasil ditunjukkan Muhammadiyah yang biasa menjadi guru bagi kemampuan mengatasi cobaan dan tekanan rezim apapun. Menjadi pelayan kesehatan yang menyembuhkan sakit bangsa akibat virus pragmatisme dan hedonisme. Muhammadiyah yang selalu berusaha untuk memahami perasaan dan kemauan masyarakat.

Pengelolaan tambang tawaran Pemerintah minim manfaat bagi umat dan masyarakat. Lebih pada manfaat pengelola sendiri. Masalahnya yaitu tambang ini bisa menguntungkan atau mencelakakan. Muhammadiyah semestinya mengambil keputusan dalam ruang yang tidak meragukan.

"Da' maa yariibuka ilaa maa laa yariibuka". Tinggalkan apa yang meragukan kepada apa-apa yang tidak meragukan (HR Tirmidzi dan Nasa'i).

Mengelola tambang bagi swasta tentu menantang meski Konstitusi mengingatkan asas penguasaan negara dan manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Perlu juga idealisme dan kemampuan teknis yang memadai untuk menjalankannya.

Ormas keagamaan jangan ditempatkan sebagai medium politis untuk keuntungan sebesar-besar kemakmuran kapitalis. Semata formalitas sebagai pemilik izin apalagi ditambah dengan melanggar ketentuan perundang-undangan. Bukankah Izin Usaha Pertambangan diberikan semestinya bukan berdasar penunjukan langsung?

Fitnah adalah keputusan kontroversial yang menyebabkan terjadinya kegaduhan, kecaman bahkan serangan dari berbagai pihak. Fitnah merusak citra organisasi yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Benar bahwa keputusan itu selalu berisiko pro dan kontra, akan tetapi jika fitnah sudah terprediksi maka keputusan haruslah bijak.

Muhammadiyah mesti menghindari fitnah atas tawaran pengelolaan tambang. Artinya, menolak adalah jalan terbaik. Di samping banyak faktor mudharat dari usaha pertambangan yang dikelola oleh Ormas Keagamaan termasuk Muhammadiyah, maka potensi friksi internal dan berbagai fitnah menjadi terbuka.

Sebagai organisasi da'wah, Muhammadiyah seharusnya menyingkirkan berbagai hal yang bisa mengganggu konsentrasi dari da'wahnya.

Pengusahaan tambang yang rawan perusakan lingkungan dan konflik sosial bukan tempat yang tepat untuk menunaikan missi da'wah tersebut. Apalagi kebijakan ini diambil di penghujung masa Pemerintahan Jokowi yang terindikasi kental bernuansa politik.

Mencoba menyelami cara pandang tokoh Muhammadiyah sekelas Ki Bagus Hadikusumo, Kyai Mas Mansur, Prof Kahar Mudzakir, Buya Hamka, dan lainnya, maka demi menjaga marwah organisasi, Muhammadiyah yang berjiwa juang Kyai Ahmad Dahlan, tawaran pengelolaan tambang tersebut harus ditolak, dan jika terlanjur diterima, harus dikembalikan.

Mata hati Ilahiah akan didahulukan ketimbang ketakutan atau keuntungan dunyawiyah. Lambang Muhammadiyah adalah matahari yang bersinar, bukan tambang yang mengikat apalagi menjerat. Muhammadiyah adalah harapan dan cahaya umat.

Perjuangannya tidak berorientasi pada keuntungan pendek, keserakahan atau tekanan dan bahkan keterpaksaan. (*)