Menggali Kembali Janji Kemerdekaan: Konsep Ekonomi dan Politik yang Terabaikan
Selain itu, sistem ekonomi yang diidealkan oleh para pendiri bangsa juga belum pernah benar-benar dilaksanakan. UUD 1945, khususnya Pasal 33, mengamanatkan bahwa perekonomian nasional harus disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Oleh: Agus Maksum, Presidium Pusat Studi Rumah Pancasila, Wakil Ketua Nasional Koperasi Digital, Praktisi IT
DALAM perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia, tanggal 18 Agustus 1945 adalah tonggak penting yang menandai lahirnya landasan bernegara kita: Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Dokumen-dokumen ini bukan sekadar teks konstitusional, tetapi merupakan manifestasi dari cita-cita besar yang digagas oleh para pendiri bangsa untuk menciptakan sebuah negara yang adil, makmur, dan berdaulat.
Namun, di usia kemerdekaan yang ke-79 ini, pertanyaan mendasar muncul: Mengapa cita-cita ekonomi dan politik yang dirumuskan pada 18 Agustus 1945 belum juga terwujud?
Pancasila, sebagai ideologi negara, menekankan pentingnya persatuan, keadilan sosial, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Sementara itu, UUD 1945 merumuskan tata kelola negara yang unik, berbasis pada sistem majelis yang mengutamakan keterwakilan, bukan keterpilihan. Ini berarti bahwa dalam cita-cita awalnya, sistem politik Indonesia dirancang untuk menghindari pengaruh liberalisme dan kapitalisme yang sering kali hanya menguntungkan segelintir orang yang memiliki modal besar.
Namun, sejak awal kemerdekaan, implementasi dari konsep-konsep ini mengalami banyak distorsi. Sistem demokrasi liberal yang diperkenalkan melalui pemilu langsung, misalnya, lebih menekankan pada keterpilihan daripada keterwakilan.
Dalam sistem ini, mereka yang memiliki modal besar bisa dengan mudah memengaruhi hasil pemilu melalui kampanye yang masif, iklan, dan alat peraga kampanye lainnya. Akibatnya, yang terpilih itu bukanlah mereka yang benar-benar memahami dan mewakili kepentingan rakyat, tapi mereka yang memiliki kekuatan modal dan jaringan politik.
Selain itu, sistem ekonomi yang diidealkan oleh para pendiri bangsa juga belum pernah benar-benar dilaksanakan. UUD 1945, khususnya Pasal 33, mengamanatkan bahwa perekonomian nasional harus disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Koperasi dijadikan model ideal dalam pelaksanaan ekonomi ini, di mana rakyat itu menjadi pemilik sekaligus pengguna dari hasil-hasil usaha. Namun, dalam praktiknya, konsep koperasi ini seringkali disalahgunakan atau tidak diimplementasikan sesuai dengan prinsip aslinya.
Sebagai contoh, koperasi simpan pinjam yang seharusnya menjadi alat untuk memperkuat ekonomi rakyat justru berubah menjadi lembaga keuangan dengan bunga tinggi yang menjerat anggotanya. Bahkan, ada kasus di mana nama koperasi disalahgunakan untuk menjalankan pinjaman online ilegal yang meresahkan masyarakat.
Penyebab utama kegagalan ini adalah kurangnya pemahaman terhadap konsep asli Pancasila dan UUD 1945, baik di kalangan pemimpin maupun masyarakat. Ditambah lagi, manajemen yang buruk dan kurangnya pengawasan membuat banyak koperasi dan lembaga-lembaga ekonomi rakyat tidak mampu berfungsi sesuai dengan cita-cita awal kemerdekaan.
Di usia kemerdekaan yang ke-79 ini, bangsa Indonesia perlu kembali merenungi cita-cita besar yang dirumuskan pada 18 Agustus 1945. Sudah saatnya kita kembali ke akar ideologi Pancasila dan UUD 1945, melaksanakan tata kelola politik dan ekonomi yang benar-benar sesuai dengan jatidiri bangsa Indonesia.
Hanya dengan demikian, kita dapat mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang sejati: menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan berdaulat sesuai dengan kehendak para pendiri bangsa kita. (*)