Meski Dua Kali Menang Pilpres, Janji Politik Swasembada Pangan Omong Kosong!

Apakah presiden yang akan datang, 2024-2029, mampu memperbaiki nasib petani, meningkatkan kesejahteraan petani, secara signifikan? Misalnya, menaikkan pendapatan petani hingga dua kali lipat dalam waktu tiga tahun? Mampukah?

Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

TATA kelola beras tidak karuan. Gagal total. Produksi beras 2023 menurut perkiraan BPS hanya turun 645 ribu ton, dari 31.540.522 ton pada 2022 menjadi 30.895.434 ton pada 2023.

Tetapi, impor beras naik meroket, naik dari 429 ribu ton pada 2022 menjadi 3,06 juta ton pada 2023. Naik 613,6 persen.

Lebih miris lagi, awal tahun 2024 ini pemerintah sudah merencanakan impor beras lagi. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, mencapai 2 juta ton. Wow sekali.

Tahun politik menuai impor. Pemerintah seperti tidak hadir. Mungkin sibuk cawe-cawe pemilu dan pilpres. Atau, bisa juga cawe-cawe rente ekonomi, mengejar cuan triliunan rupiah.

Sepertinya, perubahan cuaca El Nino hanya digunakan sebagai alasan untuk impor beras, yang tentu saja menghasilkan cuan besar dari rente ekonomi impor.

Tidak cukup cuan dari impor, kantong konsumen beras mulai digembosi, alias dieksploitasi. Konsumen beras menjadi sasaran empuk untuk menangguk untung besar.

Harga jual beras premium di pasar ritel banyak yang melampaui harga eceran tertinggi yang ditetapkan sebesar Rp 13.900 per kg. Bahkan harga beras premium di pasar ritel bisa mencapai hingga Rp 16.000 per kg.

Seperti biasa, semua pelanggaran ini dilakukan secara transparan, tanpa ada pengawasan dan penegakan hukum memadai. Seolah-olah semua kekacauan tata kelola perdagangan ritel beras ini dibiarkan terjadi, dengan merugikan konsumen.

Mungkin kondisi masyarakat Indonesia akan jauh lebih baik kalau negara ini tidak ada pemerintah, dibandingkan dengan ada pemerintah, seperti rezim Jokowi, yang kebijakannya malah banyak yang membuat masyarakat lebih susah.

Janji Jokowi

Bahwa Pemilu dan Pilpres dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Janji manis politik diumbar. Dari janji swasembada pangan, stop impor pangan, meningkatkan kesejahteraan petani, harga pangan murah dan terjangkau, dan segudang janji-janji manis lainnya.

Setelah lima tahun berlalu, kondisi ekonomi petani sama saja. Bahkan lebih buruk. Lebih miskin. Janji politik hanya omong kosong. Bohong besar. Meski dua kali Pilpres (2014 dan 2019), Joko Widodo menang. Tapi tetap saja janji itu tinggal janji.

Coba simak 2 link jejak digital berikut: https://m.antaranews.com/amp/berita/442137/jokowi-kita-harus-berani-setop-impor-pangan; https://www.cnbcindonesia.com/news/20200114095301-4-129777/jokowi-janji-setop-impor-pangan-sejak-2014-nyatanya

Pemerintah gagal total memenuhi janjinya. Diminta mundur malah lebih galak. Menuduh rakyat mau makar. Yang lebih memalukan, namun tanpa rasa malu, malah minta tambah masa jabatan. Ditolak. Tetapi memaksa. Anak belum cukup umur disodorkan. Dengan cara memanipulasi dan melanggar konstitusi pula.

Faktanya, produksi beras malah turun, dan mendongkrak impor naik. Produksi Gabah Kering Giling atau GKG Indonesia pada 2023 hanya mencapai 53,63 juta ton, dari luas lahan panen 10,2 juta hektar, atau 5,26 ton per hektar.

Dari jumlah Gabah Kering Giling tersebut hanya menghasilkan 30,9 juta ton beras. Dengan kata lain, konversi GKG menjadi beras hanya mencapai 57,6 persen (3,03 juta ton / 5,26 juta ton).

Semua itu menunjukkan swasembada pangan hanya ilusi. Impor beras Indonesia tahun 2023 mencapai 3,3 juta ton. Tertinggi sepanjang pasca reformasi. Kegagalan pengelolaan pangan terus berlanjut. Yang lebih menyedihkan bagi petani, pemerintah akan impor 2 juta ton beras lagi pada awal tahun 2024 ini.

Impor 3,3 juta ton beras pada 2023 setara dengan 10,7 persen dari hasil produksi beras nasional (30,9 juta ton).

Produktivitas tanaman padi Indonesia ini jauh lebih rendah dari Vietnam. Vietnam menghasilkan 43,5 juta ton Gabah Kering Giling pada 2023, dari luas lahan panen 7,1 juta hektar, atau 6,1 juta ton per hektar, sekitar 16 persen lebih tinggi dari Indonesia.

Kalau saja Indonesia bisa menyamai produktivitas tanaman padi Vietnam, maka Indonesia tidak perlu impor beras. Tapi, faktanya tidak bisa. Yang bisa, hanya umbar janji kosong.

Memang menyedihkan. Janji politik hanya sebatas harapan kosong. Pemilu 2014 janji swasembada pangan. Pemilu 2019 masih sama, janji swasembada pangan. Semua kandas. Hanya janji kosong, tanpa realisasi.

Pemilu 2024, malah lebih bersemangat lagi, penuh retorika, untuk janji yang masih sama. Semua bersuara lantang: swasembada pangan! Janji abadi yang sejauh ini tidak pernah terealisasi.

Faktanya, petani terus bergelut dengan kemiskinan, dari satu pemilu dan pilpres ke pemilu dan pilpres berikutnya.

Apakah presiden yang akan datang, 2024-2029, mampu memperbaiki nasib petani, meningkatkan kesejahteraan petani, secara signifikan? Misalnya, menaikkan pendapatan petani hingga dua kali lipat dalam waktu tiga tahun? Mampukah?

Atau, periode lima tahun ke depan hanya menghasilkan estafet kegagalan dan kesengsaraan lagi bagi petani? (*)