Mestinya Muhammadiyah Tolak Tambang

Mata hati Ilahiah akan didahulukan ketimbang ketakutan atau keuntungan dunyawiyah. Lambang Muhammadiyah adalah matahari yang bersinar, bukan tambang yang mengikat apalagi menjerat. Muhammadiyah adalah harapan dan cahaya umat.

Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan

BERITA beberapa media bahwa Muhammadiyah menerima tawaran pengelolaan tambang berdasar PP Nomor 25 tahun 2024 cukup mengejutkan. Menurut KH Anwar Abbas, itu sudah putusan Pleno dengan penerimaan bersyarat seperti menjaga lingkungan dan hubungan baik dengan masyarakat.

Sebelumnya, meskipun belum secara resmi memutuskan, Muhammadiyah sudah dikelompokkan sebagai Ormas Keagamaan yang menolak usaha pengelolaan tambang tersebut.

Masyarakat mengapresiasi sikap penolakan Muhammadiyah sebagai bentuk kewaspadaan atas jebakan Pemerintah kepada Ormas Keagamaan untuk memasuki dunia "remang-remang" yang bukan bidang pokok dari tugas dan kegiatan Ormas Keagamaan.

Ejekan pun muncul pada Ormas Keagamaan yang menerima sebagai "mata duitan", "bisnis syubhat" atau "leher yang terjerat". Akal-akalan Pemerintah Joko Widodo untuk menyandera dan mengendalikan Ormas Keagamaan.

Ketika muncul berita Muhammadiyah ikut menerima, cibiran mulai bermunculan seperti "sama saja", "oh ini ujungnya", "enggak kuat?" dan lainnya. Untung kemudian muncul pula berita dengan subyek H. Dahlan Rais yang menyatakan PP Muhammadiyah belum menerima tawaran usaha pengelolaan tambang.

Keputusan resmi setelah dibawa dalam agenda Konsolidasi Nasional 27-28 Juli 2024 di Jogjakarta. Dengan menghadirkan Daerah dan Organisasi Otonom.

Suara daerah atau bawah perlu didengar jangan semata putusan Pimpinan Pusat sendiri. Ini karena masalah Izin Usaha Pertambangan untuk Ormas Keagamaan ini telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Dampak bagi citra dan nama baik Muhammadiyah harus dijaga.

Dalam Konsolidasi Nasional tentu PP Muhammadiyah bukan sekedar menyampaikan keinginan lalu minta persetujuan tetapi benar-benar secara terbuka mendengar masukan dan pandangan daerah.

Ada keyakinan jika suara daerah benar-benar didengarkan dan didalami, maka Muhammadiyah tidak akan mudah tergiur oleh program usaha pertambangan yang ditawarkan Pemerintah. Ada banyak masalah yang akan dihadapi baik dikte kontraktor atau investor, kerusakan lingkungan, konflik sosial, mafia tambang, serta terbukanya ruang-ruang korupsi dan kolusi.

Muhammadiyah tidak perlu coba-coba untuk hal yang berada di luar "core bisnis" nya. Usaha tambang akan menambah masalah yang mungkin akan mengganggu konsentrasi kegiatan da'wah Muhammadiyah.

Muhammadiyah adalah gerakan Islam, gerakan da'wah dan gerakan tajdid. Kiprahnya harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat.

Usaha pertambangan berbau kapitalistik jauh dari manfaat bagi masyarakat, sebagian di antaranya justru merusak lingkungan dan harmoni. Konteks aktualnya adalah "hidden agenda" kepentingan politik di balik tawaran usaha pertambangan bagi Ormas Keagamaan tersebut.

Sebagai kader yang tidak akan ikut dalam undangan Konsolidasi Nasional nanti, maka hanya bisa titipkan yang diyakini sebagai aspirasi mayoritas umat Islam dan anggota Muhammadyah seluruh Indonesia, yaitu Muhammadiyah harus menolak tawaran untuk ikut dalam usaha pertambangan sebagaimana PP 25 tahun 2024.

Mudhorotnya lebih besar dari manfaatnya. Semoga PP Muhammadiyah tidak mencoreng wajah KH Ahmad Dahlan. Sabar dan kuatlah berjuang di jalan-Nya. Rizki itu dari Allah bukan dari tambang.

Hindari Fitnah Tambang

Sebelumnya, Rakornas Muhammadiyah 27-28 Juli 2024 strategis untuk pengambilan keputusan tentang diterima atau tidak tawaran pengelolaan izin tambang itu. Muhammadiyah semoga tidak menempatkan diri dalam "makan buah simalakama" atau berada di persimpangan jalan.

Persoalan pengelolaan tambang adalah "masalah kecil" bagi Muhammadiyah tetapi jika salah langkah bisa menjadi guncangan besar atau sekurang-kurangnya memancing fitnah bagi Ormas Keagamaan sebesar Muhammadiyah. Pro-kontra internal warga persyarikatan akan semakin tajam. Kecaman publik menguat.

Banyak kalangan umat Islam khawatir Muhammadiyah akan menerima tawaran Pemerintah untuk mengelola tambang khususnya pada lahan eks PKP2B. Sangat menyayangkan jika Muhammadiyah menjadi terpaksa menerima, menyerah pada penyanderaan atau tergiur pada keuntungan dunia.

Akan rontok kebanggaan atas sikap istiqomah Muhammadiyah yang selama ini berhasil ditunjukkan. Muhammadiyah biasa menjadi guru bagi kemampuan mengatasi cobaan dan tekanan dari rezim apapun. Menjadi pelayan kesehatan yang menyembuhkan sakit bangsa akibat virus pragmatisme dan hedonisme. Muhammadiyah yang selalu berusaha untuk memahami perasaan dan kemauan masyarakat.

Pengelolaan tambang tawaran Pemerintah minim manfaat bagi umat dan masyarakat. Lebih pada manfaat pengelola sendiri. Masalahnya yaitu tambang ini bisa menguntungkan atau mencelakakan. Muhammadiyah semestinya mengambil keputusan dalam ruang yang tidak meragukan.

"Da' maa yariibuka ilaa maa laa yariibuka". Tinggalkan apa yang meragukan kepada apa-apa yang tidak meragukan (HR Tirmidzi dan Nasa'i).

Mengelola tambang bagi swasta tentu menantang meski Konstitusi mengingatkan asas penguasaan negara dan manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Perlu ada idealisme dan kemampuan teknis yang memadai untuk menjalankannya.

Ormas keagamaan jangan ditempatkan sebagai medium politis untuk keuntungan sebesar-besar kemakmuran kapitalis. Semata formalitas sebagai pemilik izin apalagi ditambah dengan melanggar ketentuan perundang-undangan. Bukankah Izin Usaha Pertambangan diberikan semestinya bukan berdasar penunjukan langsung?

Fitnah adalah keputusan kontroversial yang menyebabkan terjadinya kegaduhan, kecaman bahkan serangan dari berbagai pihak. Fitnah merusak citra organisasi yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Benar bahwa keputusan selalu berisiko pro dan kontra, akan tetapi jika fitnah sudah terprediksi maka keputusan haruslah bijak.

Muhammadiyah mesti menghindari fitnah atas tawaran pengelolaan tambang. Artinya menolak adalah jalan terbaik. Di samping banyak faktor mudharat dari usaha pertambangan yang dikelola oleh Ormas Keagamaan termasuk Muhammadiyah, maka potensi friksi internal dan berbagai fitnah menjadi terbuka.

Sebagai organisasi da'wah Muhammadiyah harus menyingkirkan berbagai hal yang berpotensi dapat mengganggu konsentrasi dari da'wahnya. Pengusahaan tambang yang rawan perusakan lingkungan dan konflik sosial bukan tempat yang tepat untuk menunaikan missi da'wah itu. Apalagi kebijakan ini diambil di penghujung masa Pemerintahan Joko Widodo alias Jokowi yang terindikasi kental bernuansa politik.

Mencoba menyelami cara pandang tokoh Muhammadiyah sekelas Ki Bagus Hadikusumo, Kyai Mas Mansur, Prof Kahar Mudzakir, Buya Hamka dan lainnya maka demi menjaga marwah persyarikatan Muhammadiyah yang berjiwa juang Kyai Ahmad Dahlan maka tawaran pengelolaan tambang model Bahlil Lahadalia ini harus ditolak.

Mata hati Ilahiah akan didahulukan ketimbang ketakutan atau keuntungan dunyawiyah. Lambang Muhammadiyah adalah matahari yang bersinar, bukan tambang yang mengikat apalagi menjerat. Muhammadiyah adalah harapan dan cahaya umat.

Perjuangannya tidak berorientasi pada keuntungan pendek, keserakahan atau tekanan dan keterpaksaan. (*)