Muhammadiyah Bermain Tarik – Tambang
Ini lebih terkesan hidup – hidupilah Muhammadiyah dan carilah penghidupan di Muhammadiyah. Bahkan juga hadits yang mengatakan serahkan urusan pada ahlinya, tidak berlaku dalam pilihan ini, yang penting ambil dulu, dengan pertimbangan pertimbangan absurd yang menjadi pembenar.
Oleh: Isa Ansori, Kolumnis dan Akademsi, Tinggal di Surabaya
MENYUSUL keputusan PBNU yang menerima tawaran Joko Widodo untuk mengelola tambang, kini Muhammadiyah mengikuti langkah PBNU juga. Kedua ormas Islam terbesar ini tampaknya merasa mempunyai “panggilan” moral untuk terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam pertambangan dengan dalih untuk meminimalisir dampak kerusakan.
Saking merasa pentingnya keterpanggilan itu, Muhammadiyah bahkan mengeluarkan fatwa tentang pengelolaan pertambangan dan urgensi transisi berkeadilan, yang terlampir dalam Surat Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor: 077/I.1/F/2024 Tanggal: 3 Muharam 1445 H/9 Juli 2024 M.
Dalam risalah pleno Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang pengelolaan tambang yang ramah lingkungan dan kesejahteraan masyarakat banyak disampaikan maksud baik dan kemampuan SDM yang dimiliki Muhammadiyah serta anjuran dakwah di luar sektor pendidikan, kesehatan, dan juga ekonomi.
Dalih Muhammadiyah sebagaimana yang tertulis dalam risalah itu, dalam butir ketiga sampai butir kedelapan, disebutkan bahwa: Ketiga, keputusan Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassar 2015 mengamanatkan kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk memperkuat dakwah dalam bidang ekonomi selain dakwah dalam bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, tabligh, dan bidang dakwah lainnya.
Pada tahun 2017, Muhammadiyah telah menerbitkan Pedoman Badan Usaha Milik Muhammadiyah (BUMM) guna memperluas dan meningkatkan dakwah Muhammadiyah di sektor industri, pariwisata, jasa, dan unit bisnis lainnya.
Keempat, dalam mengelola tambang, Muhammadiyah berusaha semaksimal mungkin dan penuh tanggung jawab melibatkan kalangan profesional dari kalangan kader dan warga Persyarikatan, masyarakat di sekitar area tambang, sinergi dengan perguruan tinggi, serta penerapan teknologi yang meminimalkan kerusakan alam.
Muhammadiyah memiliki Sumber Daya Manusia yang amanah, profesional, dan berpengalaman di bidang pertambangan serta sejumlah Perguruan Tinggi Muhammadiyah memiliki Program Studi Pertambangan, sehingga usaha tambang dapat menjadi tempat praktik dan pengembangan entrepreneurship yang baik.
Kelima, dalam mengelola tambang, Muhammadiyah juga akan bekerja sama dengan mitra yang sudah berpengalaman mengelola tambang, memiliki komitmen dan integritas yang tinggi, dan keberpihakan kepada masyarakat dan Persyarikatan melaui perjanjian kerja sama yang saling menguntungkan.
Keenam, pengelolaan tambang oleh Muhammadiyah dilakukan dalam batas waktu tertentu dengan tetap mendukung dan mengembangkan sumber-sumber energi yang terbarukan serta budaya hidup bersih dan ramah lingkungan.
Ketujuh, dalam pengelolaan tambang, Muhammadiyah berusaha mengembangkan model yang berorientasi pada kesejahteraan dan keadilan sosial, pemberdayaan masyarakat, membangun ekosistem yang ramah lingkungan, riset dan laboratorium pendidikan, serta pembinaan jamaah dan dakwah jamaah.
Pengembangan tambang oleh Muhammadiyah diusahakan dapat menjadi model usaha "not for profit" dimana keuntungan usaha dimanfaatkan untuk mendukung dakwah dan Amal Usaha Muhammadiyah serta masyarakat luas.
Kedelapan, menunjuk tim pengelola tambang Muhammadiyah yang terdiri atas Prof. Dr. H. Muhadjir Effendy, MAP (Ketua), Muhammad Sayuti, MPd, MEd, PhD (Sekretaris), dengan anggota Dr. H. Anwar Abbas, MM, MAg, Prof. Hilman Latief, MA, PhD, Dr. H. Agung Danarto, Mag, Drs. H. Ahmad Dahlan Rais, MHum, Prof. Dr. Bambang Setiaji, MSi, dan Dr. Arif Budimanta.
Lalu adakah yang salah dengan keterpanggilan moral tersebut, tentu tidak dan itu seharusnya, karena memang Muhammadiyah dilahirkan dalam rangka memperbaiki moralitas, hal ini sejalan dengan misi kenabian, bahwa tidaklah diutus Nabi dan rasul, kecuali dalam rangka memperbaiki akhlak.
Namun sayangnya pilihan sektor tambang itu tidak juga dilakukan oleh Muhammadiyah di sektor lain yang dihadapi masyarakat kecil, misalkan banyak masyarakat kecil, pedagang dan ojol yang terjerat kredit riba dengan bunga pinjaman yang tinggi.
Mengapa Muhammadiyah tidak mendirikan bank Syariah Muhammadiyah dengan modal yang telah mereka tarik dari BNI beberapa waktu lalu, sehingga dalih Muhammadiyah yang dituangkan dalam fatwa majelis tersebut lebih terkesan menjadi pembenar langkah Muhammadiyah mengambil sektor tambang tersebut.
Terlebih lagi kalau melihat komposisi CEO yang diamanahi, tidak ada satupun dari mereka yang mempunyai pengalaman dalam mengelola tambang, sehingga butir kelima dalam risalah tersebut menjadi jawaban, ketertarikan dan ketidak mampuan dalam mengelola tambang. Bahwa, terkesan Muhammadiyah hanya akan menjadi “broker” permainan di sektor tambang.
Keputusan Muhammadiyah untuk terjun ke bisnis pertambangan telah memicu perdebatan sengit di kalangan masyarakat.
Di satu sisi, langkah ini dipandang sebagai upaya organisasi untuk memperluas cakupan usaha dan kegiatannya untuk lebih meningkatkan kesejahteraan umat. Namun, di sisi lainnya, banyak yang mempertanyakan konsistensi keputusan ini dengan nilai-nilai sosial dan lingkungan yang selama ini dijunjung tinggi oleh Muhammadiyah.
Tarik-tambang antara kepentingan ekonomi dan nilai-nilai sosial ini menjadi sorotan utama. Publik bertanya-tanya, apakah Muhammadiyah siap menanggung risiko kerusakan lingkungan dan konflik sosial yang seringkali menyertai aktivitas pertambangan? Kemudian, gagaimana organisasi ini akan memastikan bahwa keuntungan dari bisnis tambang digunakan secara transparan dan akuntabel untuk kepentingan umat?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut semakin menguat ketika kita melihat potensi konflik kepentingan yang bisa muncul di dalam internal organisasi. Apakah semua pihak di Muhammadiyah sependapat dengan keputusan ini? Bagaimana mekanisme pengawasan dan pengendalian akan dilakukan untuk mencegah terjadinya penyimpangan?
Muhammadiyah perlu memberikan penjelasan yang transparan dan meyakinkan kepada publik mengenai alasan di balik keputusan ini. Organisasi juga harus merumuskan strategi yang jelas untuk memastikan bahwa pengelolaan tambang dilakukan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. Kepercayaan publik adalah aset yang sangat berharga, dan Muhammadiyah harus menjaga agar aset ini tidak terkikis akibat keputusan bisnis yang kontroversial.
Bagi saya yang pernah dibesarkan dalam lingkungan Muhammadiyah, ini semakin mempertegas terjadi pergeseran nilai dalam ber Muhammdiyah, sehingga pesan KH Ahmad Dahlan yang fonomenal, hidup – hidupilah Muhammadiyah jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah setidaknya tidak berlaku dalam pilihan pengelolaan sektor tambang ini.
Ini lebih terkesan hidup – hidupilah Muhammadiyah dan carilah penghidupan di Muhammadiyah. Bahkan juga hadits yang mengatakan serahkan urusan pada ahlinya, tidak berlaku dalam pilihan ini, yang penting ambil dulu, dengan pertimbangan pertimbangan absurd yang menjadi pembenar.
Semoga masih ada telinga, mata, dan hati yang rela mendengarkan nasehat umat untuk kebaikan masyarakat. (*)