Nikel dan Polusi Jakarta
Dalam hayalan kita akan melihat mobil dan motor listrik mengantikan mobil yang mengeluarkan polisi di Jakarta. Tukang-tukang gerobak keliling menggunakan batere dari kompor induksi untuk memasak nasi goreng, mie kuah, siomay, dll. Tidak ada lagi polusi LPG.
Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
SEHARUSNYA kekayaan nikel Indonesia sebagai yang terbesar di dunia dapat menjadikan Kota Jakarta, Ibukota Negara Indonesia (sampai IKN jadi) sebagai kota yang nyaman, memiliki udara yang sehat dan cukup baik buat bernafas, memberi nutrisi bagi otak, sehingga orang-orang yang tinggal di kota ini bisa berpikir dengan segar dan jernih. Namun nickel yang dikeruk ternyata tidak menyisakan manfaat yang berarti. Sayang sekali!
Tahun 2019 terakhir nikel pada masa pemerintahan Joko Widodo diekspor dalam bentuk bahan mentah, yang dijual ke luar negeri dengan harga 30 US dolar per ton, harganya sepertiga harga pasir bangunan di Kota Depok. Padahal jika tumpukan nickel dijadikan tanah urukan saja masih lebih mahal dibandingkan dengan diekspor.
Tahun 2019 berdasarkan data Bank Indonesia (BI) nilai ekspor nikel Indonesia mencapai 1.09 miliar US dolar. Sekitar 15 triliunan rupiah. Jumlah yang diekspor sebanyak 32.4 juta ton nikel. Berarti harganya lebih murah dari pasir bangunan atau kira kira sama harganya dengan tanah urukan bangunan. Ekspor ini berlangsung selama 5 tahun Pemerintahan Jokowi. Walaupun sudah ada UU Minerba yang mewajibkan pengolahan didalam negeri.
Proyek smelterisasi sebagai mandat UU Minerba konon diharapkan dapat menaikkan harga nikel hingga 22 ribu US dolar per ton 1000 kali harga jual sebelumnya. Tapi, ternyata itu hanya angan- angan. Hasil smelterisasi tidak tampak, apakah dalam bentuk ekspor hasil olahan nickel, hingga ekspor hasil industrialisasi nikel. Atau apalah.
Malah yang terjadi sebalikya. IMF mengatakan nikel diekspor ke luar negeri secara ilegal. KPK menyambut dengan data bahwa lebih dari 5 juta ton nikel diekspor secara ilegal ke China. Datanya diperoleh sendiri dari Bea-Cukai Tiongkok. Jika 1000 ton dapat diangkut dengan 1 kapal, maka 5 juta ton berarti ada 5000 kapal angkut nikel ilegal. Ini kapal siapa?
Kok bisa? Ini adat dari dulu, saat UU Minerba dijalankan agar terjadi industrialisasi di dalam negeri. Lalu pemerintah memberlakukan larangan ekspor dan atau juga pembatasan ekspor. Namun, apa yang terjadi sebagian perusahaan boleh ekspor dan sebagian besar yang lain tidak boleh ekspor. Lalu siapa yang boleh ekspor ini? Jangan-jangan dia dia lagi.
Data KPK benar, mungkin lebih besar dari itu ekspor ilegalnya. Mengapa? Data statistik Bank Indonesia menunjukkan tahun 2020-2021 dan sampai sekarang nilai ekspor nikel Indonesia 0 (Nol). Tidak seupilpun hasil ekspor nikel. Lalu nikel diekspor dalam bentuk olahan. Benarkah? Bentuk apa?
BI tidak mencatatnya dalam statistik BI, mungkin mereka BI benar-benar tidak tahu, atau mereka menutup mata saja. Atau jangan-jangan sudah diekspor dalam bentuk baterai, mobil dan motor listrik sebagaimana yang dihayalkan. Tentu kalau iya maka Indonesia telah memimpin dunia dalam isu transisi energi.
Dalam hayalan kita akan melihat mobil dan motor listrik menggantikan mobil yang mengeluarkan polisi di Jakarta. Tukang-tukang gerobak keliling menggunakan baterai dari kompor induksi untuk memasak nasi goreng, mie kuah, siomay, dll. Tidak ada lagi polusi LPG.
Pemerintah berhemat impor BBM dan subsidi LPG 120 triliunan rupiah. Udara Jakarta segar-bugar, bernapas juga lega, berpikir normal, karena otak manusianya dapat nutrisi.
Jakarta menjadi kota ternyaman di dunia tempat tinggal orang-orang yang banyak berpikir dan juga bekerja. Mantap kan men? (*)