Pak Cawapres, Kami Rakyat yang Taat Bayar Pajak, Bukan Binatang di Kebun Binatang!

Mengapa rakyat kecil, malah dianalogikan binatang, mau diburu, dan disembelih untuk diambil dagingnya? Mengapa calon Wapres ini, begitu tega menganalogikan rakyat sebagai binatang di kebun binatang?

Oleh: Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik

"KITA ini tidak ingin berburu di dalam kebun binatang. Kita ingin memperluas kebun binatangnya, kita tanami binatangnya, kita gemukkan," kata Gribran Rakabuming Rakat dalam Debat Kedua Cawapres, Jumat (22/12/2023).

Sangat menyakitkan. Benar-benar sangat sangat menyakitkan. Kami, rakyat yang dipungut pajak, menopang APBN untuk menjalankan pemerintahan – yang sebagian besar dikorupsi oleh politisi – disejajarkan dengan binatang. Kalau mau membuat analogi, tidak adakah analogi lain yang lebih berempati, bermartabat dan beradab?

Kami tahu bahwa dari sejak orde Soeharto hingga era Joko Widodo, juga seluruh negara demokrasi sekuler, jurus penguasa meningkatkan pendapatan ya hanya dari pajak. Tidak pernah kreatif. Sektor pertambangan dan SDA yang melimpah, malah diserahkan kepada asing dan aseng, pada oligarki yang menggerogoti Negeri ini.

Kalau mau bicara ekstensifikasi dan intensifikasi pajak, banyak analogi lain yang bisa dipakai. Misalnya, untuk menganalogikan intensifikasi pajak, bisa dianalogikan dengan konsep mina padi. Selain dapat panen padi, juga bertambah hasil dengan panen ikan.

Kalau mau ekstensifikasi pajak, bisa gunakan analogi transmigrasi. Memperluas objek pengenaan pajak, dengan memperluas kinerja rakyat melalui perluasan iklim usaha yang diciptakan pemerintah. Rakyat senang dapat lahan pertanian baru, pemerintah senang dengan adanya objek tambahan dan wajib pajak baru dengan digulirkannya ekonomi oleh negara.

Mau melakukan ekstensifikasi pajak kok menganalogikan rakyat seperti binatang. Binatang sebagai objek wajib pajak, kebun binatang sebagai perluasan cakupan wajib pajak. Rakyat sendiri dianggap binatang yang digemukan dan diburu dagingnya, sebagai pajak untuk mengelola pemerintahan. Ini sadis sekali!

Lagipula, apapun program peningkatan pajak pemerintah, itu menyengsarakan rakyat. Karena semakin besar pajak yang diambil dari rakyat, semakin rakyat menderita, namun penguasa bisa tertawa-tawa karena dianggap berhasil malak duit rakyat.

Ini jelas, ide yang tak akan pernah sejalan dengan kebahagiaan rakyat. Semestinya Cawapres, berpikir keras bagaimana meningkatkan pendapatan rakyat tanpa memungut pajak, yang jika pendapatan negara makin meningkat, rakyat makin bahagia. Bukan memalak pajak, yang semakin besar pajak dijelaskan, semakin rakyat menjadi sengsara.

Coba kalau konsep ekonominya Islami, kebijakan fiskal negara nir pajak (bukan cuma nyombong soal SGEI). Rakyat Pasti akan bahagia. Dan, hal itu sangat mungkin, asal menerapkan ekonomi Islam. Bukan sekedar ekonomi halal.

Dalam ekonomi Islam, kebijakan fiskal negara Islam (Khilafah), pendapatan negara di antaranya berasal dari Harta Jenis Milik Umum (Al Milkiyatul Ammah), baik berupa tambang dan Sumber Daya Alam yang melimpah di negeri ini. Dari harta jenis Al Milkiyatul Ammah ini, negara bisa membiayai APBN tanpa memalak pajak rakyat.

Tahun 2023 ini, target pendapatan negara dari pajak cuma Rp 2.118,35 dari total belanja APBN sebesar Rp 3.061,2 triliun. Sisanya, akan ditutupi dari pendapatan non pajak dan utang.

Kalau APBN dikelola dengan ekonomi Islam, dari hasil Batubara, Nikel, Gas Alam, Emas, Hasil laut dan Hasil hutan saja, per tahun ada potensi pendapatan Rp. 7.100 triliun. Nilai ini, lebih dari dua kali nilai APBN 2023.

Rinciannya sebagai berikut:

Pertama, potensi pendapatan batu-bara Indonesia per tahun dengan total produksi 687 juta ton, yang nilainya Rp 3.007 triliun.

Kedua, potensi pendapatan batu bara Indonesia per tahun dengan total produksi 2.1 miliar MMBtu, yang nilainya Rp 483 triliun.

Ketiga, potensi pendapatan emas Indonesia per tahun dengan total produksi 70 ton, yang nilainya Rp 63 triliun.

Keempat, potensi pendapatan nikel Indonesia per tahun dengan total produksi 1,6 juta ton, yang nilainya Rp 659 triliun.

Kelima, potensi pendapatan hasil laut Indonesia per tahun nilainya Rp 1.889 triliun. (Riset Prof Rohmin Dahuri).

Keenam, potensi pendapatan hasil hutan Indonesia per tahun nilainya Rp 1.000 triliun. (Hasil Riset Prof Fahmi Amhar).

Mngapa sih, para politisi harus berburu pajak rakyat untuk ngurusi rakyat? Mengapa tidak berburu tambang dan SDA yang melimpah? Mengapa, tambang dan SDA yang melimpah malah dikuasai Luhut Binsar Panjaitan, Freeport, Perusahaan China, korporasi, asing dan aseng?

Mengapa rakyat kecil, malah dianalogikan binatang, mau diburu, dan disembelih untuk diambil dagingnya? Mengapa calon Wapres ini, begitu tega menganalogikan rakyat sebagai binatang di kebun binatang?

Semua ini terjadi, karena sistemnya sekuler dan menentang Islam. Kalau Islam tidak diterapkan dalam sistem Khilafah, selamanya rakyat akan menjadi sapi perah oleh penguasa.

Sementara kekayaan tambang dan SDA yang melimpah yang merupakan karunia Allah SWT, akan terus menjadi bancakan para kapitalis dan oligarki yang membiayai demokrasi agar penguasa naik ke tampuk kekuasaan. (*)