Pembangunan Ekonomi Gagal: Tabungan, SDM dan Infrastruktur Jadi Kambing Hitam
Oleh karena itu, menyalahkan SDM Indonesia seolah-olah tidak berkualitas sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi merupakan alasan mengada-ada dan tidak masuk akal. Alasan ini hanyalah untuk mencari kambing hitam, untuk menutupi kegagalan.
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
PERTUMBUHAN ekonomi selama 10 tahun pemerintahan Joko Widodo, 2014-2024, stagnan, alias gagal, hanya mencapai sekitar 5 persen. Angka pertumbuhan ini pun mengundang kecurigaan. Ada dugaan, terjadi penggelembungan melalui angka inflasi (deflator PDB), untuk menghasilkan angka pertumbuhan yang diinginkan.
Angka kemiskinan selama 10 tahun hanya turun 1,6 persen: dari 10,96 persen pada 2014 menjadi 9,36 persen pada 2023. Angka yang terakhir ini juga sangat meragukan.
Yang mengenaskan, ternyata jurang antara si kaya dan si miskin semakin lebar dan dalam. Indeks kesenjangan pendapatan (GINI pendapatan), sekali lagi pendapatan, paling sedikit mencapai 0,55. Artinya, sangat buruk.
Awalnya, Jokowi sesumbar pertumbuhan ekonomi 2014-2019 akan meroket, mencapai 7 persen. Ternyata gagal total. Target pertumbuhan ekonomi 2019-2024 kemudian diturunkan menjadi antara 5,6 persen – 6,2 persen. Inipun juga gagal total.
Tentu saja, Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak mau mengaku gagal, dan sibuk mencari kambing hitam atas kegagalan tersebut. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bisa “tinggi”, artinya di atas 6 persen, karena terhambat masalah struktural.
Hal ini terungkap dari penjelasan Sri Mulyani di Komisi XI DPR (5/6/24), ketika menyampaikan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2025, dengan judul “Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan”.
Sri Mulyani mengatakan, pertumbuhan ekonomi terkendala tiga masalah utama, yaitu tingkat tabungan masyarakat rendah, kualitas SDM belum memadai, infrastruktur (termasuk digital) dan regulasi dan birokrasi belum memadai.
Alasan yang dikemukakan oleh Sri Mulyani tersebut menunjukkan bahwa Sri Mulyani tidak paham pembangunan ekonomi, dan karena itu tidak heran kalau pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan.
Yang lebih memprihatinkan, alasan tersebut akan membahayakan perekonomian Indonesia. Karena kesalahan mengidentifikasi masalah akan menghasilkan kebijakan yang salah.
Berikut ini bantahan atas pernyataan Sri Mulyani, bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bisa tinggi karena terkendala tabungan, SDM dan infrastruktur.
Pertama, Sri Mulyani gagal paham terkait hubungan tabungan, investasi dan pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, tingkat tabungan domestik tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan investasi domestik, sehingga dibutuhkan PMA (penanaman modal asing). Pendapat ini salah besar.
Faktanya, pertumbuhan ekonomi Indonesia periode 1970-1980 bisa mencapai rata-rata di atas 7 persen, bahkan mencapai 10 persen pada 1980. Padahal, tabungan domestik (% dari PDB) ketika itu jauh lebih rendah dari saat ini, yaitu hanya 10,63 persen pada 1970 dan 29,17 persen pada 1980. Sedangkan tabungan domestik saat ini sudah mencapai 39,3 persen.
Hal ini juga terjadi di negara lain seperti Malaysia, Singapore, Thailand, Korea Selatan, yang mencatat pertumbuhan ekonomi sangat spektakuler meskipun tingkat tabungan (% dari PDB) sangat rendah.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sangat tinggi pada periode 1970-1980 tersebut dicapai di tengah kondisi SDM dan infrastruktur yang sangat terbatas. Jumlah penduduk berumur 10 tahun ke atas yang mempunyai jenjang pendidikan SLA ke atas hanya 2,35 persen pada 1971.
Oleh karena itu, menyalahkan SDM Indonesia seolah-olah tidak berkualitas sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi merupakan alasan mengada-ada dan tidak masuk akal. Alasan ini hanyalah untuk mencari kambing hitam, untuk menutupi kegagalan.
Ketiga, infrastruktur, regulasi dan birokrasi, semua itu dalam kendali pemerintah. Anehnya lagi, pemerintah terus teriak perbaikian regulasi dan birokrasi, tapi tanpa hasil. Revolusi mental yang digaungkan sejak 2014 gagal total. Korupsi semakin merajalela.
Seharusnya, pejabat yang bermartabat sudah sejak lama mengundurkan diri atas kegagalan ini. Seharusnya, Sri Mulyani sudah sejak lama mesti mengundurkan diri atas kegagalan Kementerian Keuangan meningkatkan pertumbuhan ekonomi “tinggi”, meningkatkan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial: Bukan malah mencari kambing hitam untuk membenarkan kegagalan ini. (*)