Permainan Harga Eceran Tertinggi (HET) LPG Subsidi 3 KG, Ini Skandal?
Kebijakan semacam ini tampaknya seperti penindasan dan penghinaan kepada masyarakat yang tinggal jauh dari stasiun pengisian LPG. Karena dasar kebijakan ini adalah "Karena sampean jauh dari stasiun pengisian LPG maka sampean bayar mahal". Ini pikiran taruh di mana?
Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
COBA pikirkan lagi oleh Pemerintah Joko Widodo mengenai dibolehkannya Pemda menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) LPG subsidi 3 kg ini. Mengingat LPG ini hajat hidup orang banyak, sangat berkait dengan biaya hidup paling pokok, yakni biaya memasak makanan.
Pikirkan bahwa harga makanan jika makin mahal akibat harga LPG yang mahal akan berakibat orang kelaparan. Bukan hanya miskin tapi kelaparan.
Percuma pemerintah koar-koar tentang pengendalian inflasi, pengedalian harga kebutuhan pokok, pengendalian harga bahan makanan, akan tetapi di depan mata pemerintah sendiri masalahnya tidak diatasi, yakni membolehkan dan membiarkan pemda menetapkan HET LPG atas usulan gerombolan pengusaha yang ingin mengambil untung lebih atas barang bersubsidi.
Kebijakan ini membuka ruang kongkalikong antara pemerintah daerah dengan pengusaha melalui asosiasi tunggal pengusaha di sektor hilir BBM, yakni Hiswana Migas.
Kebijakan ini juga membuka ruang kongkalikong antara agen-agen LPG dengan pemda dan mungkin juga legislatif daerah untuk menaikkan harga LPG agar bisa meraup cuan. Ruang kongkalikong semacam ini tidak boleh dibiarkan.
Ingatlah pemerintah bahwa LPG ini disubsidi ratusan truliun rupiah oleh negara, uangnya berasal dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat, seluruh biaya penghasilkan LPG, mendistribusikannya, termasuk keuntungan SPBE, agen dan pangkalan telah dibayarkan oleh negara melalui APBN melalui ketetapan harga secara nasional.
Jangan lagi membuka ruang untuk birokrasi bermain-main dengan dengan Harga Eceran Tertinggi (HET). Ini namanya, sudah makan subsidi makan lagi dari keringat rakyat. Ini bahaya. Coba lihat petani menghasilkan beras, tidak ada keleluasaan seperti ini.
Kalau dasarnya adalah ongkos angkut LPG yang makin jauh sehingga perlu ada HET, maka apa gunanya subsidi oleh negara, dimakan siapa subsidi ratusan triliun rupiah? Lagipula di mana itu agen-agen LPG yang jauh dari SPBE?
Apakah pemerintah daerah bisa menunjukkan nama perusahaan dan alamatnya, benar atau tidak mereka itu semua lokasinya jauh dari SPBE. Sebutkan nama dan alamat perusahaannya. Apa ada? Sementara untuk menjadi SPBE, agen dan menjadi pangkakan LPG para pengusaha berebutan kok. Ini gak masuk akal.
Kebijakan semacam ini tampaknya seperti penindasan dan penghinaan kepada masyarakat yang tinggal jauh dari stasiun pengisian LPG. Karena dasar kebijakan ini adalah "Karena sampean jauh dari stasiun pengisian LPG maka sampean bayar mahal". Ini pikiran taruh di mana?
Makin jauh dari pusat pusat bisnis keadaan rakyat kita makin miskin, lah kok malah disuruh bayar makin mahal. Ini tidak manusiawi. (*)