’Premanisme’ Penerimaan Negara: Perpres Iuran Pariwisata Melanggar Konstitusi
Nampaknya, pemerintahan Jokowi ini memang gemar melanggar UU. Bahkan melanggar Konstitusi. Apakah memang mereka tidak mengerti dengan peraturan perundang-undangan, dan tidak mampu mengelola negara ini, atau memang mereka ini bermental ‘preman’ yang suka ‘memalak’ rakyat?
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
PEMERINTAH, lagi-lagi, membuat ulah. Kali ini, mengenai pungutan kepada masyarakat. Tersiar berita, pemerintah sedang menyiapkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk menarik uang dari masyarakat, ‘berkedok’ iuran pariwisata melalui tiket penerbangan.
Seperti dilansir Tempo, Jumat (26 April 2024 09:00 WIB), kabar pemerintah akan mengenakan iuran dana pariwisata pada tiket pesawat menjadi kontroversi. Sejumlah pihak menolak wacana tersebut dengan berbagai alasan, termasuk melanggar Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Isu tentang tambahan iuran pada tiket pesawat itu menjadi perbincangan setelah anggota Dewan Pakar Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) Alvin Lie mengunggah surat undangan rapat dari Kemenko Maritim dan Investasi untuk membahas soal pengenaan iuran pariwisata melalui tiket penerbangan.
Dalam undangan untuk rapat pada Rabu, 24 April 2024, di Kantor Kemenko Marves itu, disebutkan bahwa agenda rapat adalah "pengenaan iuran pariwisata melalui tiket penerbangan".
Unggahan pada Minggu, 21 April 2024, itu lantas dihubungkan oleh masyarakat dengan rencana pemerintah membentuk dana abadi pariwisata.
Rencana itu pun mendapat tanggapan dari DPR. Anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Sigit Sosiantomo mengatakan penetapan tarif tiket pesawat harus memperhatikan daya beli masyarakat.
"Penetapan tarif pesawat juga harus memperhatikan kemampuan daya beli masyarakat dan itu diatur dalam penjelasan Pasal 126 ayat (3) UU Penerbangan," ujar Sigit dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis, 24 April 2024.
Sigit mengatakan berdasar Pasal 126 UU Penerbangan, penetapan tarif penumpang kelas ekonomi dihitung berdasarkan komponen tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi, dan biaya tuslah/tambahan (surcharge).
Surcharge adalah biaya yang dikenakan karena terdapat biaya-biaya tambahan yang dikeluarkan oleh perusahaan angkutan udara di luar penetapan tarif jarak.
"Kalau dipaksa lagi mau menarik iuran pariwisata, itu sama saja penumpang dikenakan tambahan biaya double. Dan tidak semua penumpang naik pesawat untuk keperluan wisata," kata Sigit.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, Sigit menegaskan bahwa penarikan iuran pariwisata sebaiknya tidak diterapkan.
Anggota Komisi V lainnya, Suryadi Jaya Purnama dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mengatakan, penerapan iuran itu berpotensi melanggar Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Suryadi juga menyatakan, bahwa apabila pengenaan iuran pariwisata ini direalisasikan oleh pemerintah, dikhawatirkan dapat menurunkan tingkat okupansi pesawat. "Juga berpotensi menurunkan keinginan masyarakat untuk berwisata menggunakan moda transportasi pesawat," ujarnya.
Ia menilai, semestinya Kementerian Pariwisata lebih kreatif lagi dalam mencari dana pariwisata. Menurut dia, iuran pariwisata semestinya dikumpulkan melalui kegiatan yang berhubungan langsung dengan kegiatan pariwisata.
"Fraksi PKS juga meminta kepada Kementerian Perhubungan agar dalam penetapan tarif tiket pesawat harus memperhatikan kemampuan daya beli masyarakat sebagaimana diatur di UU Penerbangan," katanya.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Saputra menyatakan tidak setuju terhadap rencana pengenaan iuran pariwisata di tiket penerbangan oleh pemerintah. Menurut dia, pengenaan iuran pariwisata di tiket pesawat membuat tarif tiket dan beban penumpang meningkat.
"Enggak setuju dikenakan di dalam harga tiket," katanya saat dihubungi, Rabu, 24 April 2024.
Apabila rencana ini direalisasikan pemerintah, ujarnya, secara umum penumpang tidak akan mengetahui adanya iuran pariwisata di dalam tiket pesawat yang dibeli. "Ujungnya mereka (penumpang) menyalahkan maskapai yang terkesan seenaknya menaikkan harga tiket," katanya.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno, meminta masyarakat untuk tidak khawatir terkait pungutan yang dibebankan dalam tiket pesawat. Pasalnya, belum ada keputusan soal pungutan itu.
Hingga kini diakuinya tiket pesawat masih terbilang mahal, berdasarkan masukan serta keluhan dari masyarakat yang akan menggunakan pesawat saat bepergian di dalam negeri maupun keluar negeri.
"Per hari ini jangan khawatir tidak akan membebani masyarakat dengan harga tiket yang lebih mahal lagi," katanya.
Sementara soal dana abadi pariwisata, hingga kini pemerintah masih mengkaji dan mengumpulkan beberapa opsi untuk pengumpulan dana serta besaran dana yang dimaksud.
Meski dibantah Sandiaga, kemungkinan mengenakan tambahan iuran pada tiket pesawat sangat menggiurkan. Pasalnya, jumlah penumpang pesawat sangat banyak.
Penumpang di 20 bandara yang dikelola Angkasa Pura II saja, sepanjang Januari - Desember 2023 secara kumulatif mencapai 80,14 juta orang. Sementara jumlah di 15 bandara yang dikelola Angkasa Pura I mencapai 69,8 juta orang. Jika dijumlahkan hampir 150 juta penumpang.
Jika dikenakan Rp1 ribu saja per penumpang, pemerintah bisa mengantongi setidaknya Rp150 miliar setahun. Bukan jumlah yang sedikit.
Bahwa, rencana ini sudah ditentang oleh banyak pihak, termasuk oleh beberapa anggota Komisi V DPR. Alasannya, iuran pariwisata berpotensi melanggar UU Nomor 1/ 2009 tentang Penerbangan.
Nampaknya, pemerintahan Jokowi ini memang gemar melanggar UU. Bahkan melanggar Konstitusi. Apakah memang mereka tidak mengerti dengan peraturan perundang-undangan, dan tidak mampu mengelola negara ini, atau memang mereka ini bermental ‘preman’ yang suka ‘memalak’ rakyat?
Yang namanya preman, mereka mengandalkan kekuatan dan kekuasaan untuk menarik uang dari masyarakat secara tidak sah dan melanggar hukum, alias memalak, tanpa ada dasar hukum.
Pemerintah ternyata juga berperilaku seperti preman, menarik dana dari masyarakat secara tidak sah dan melanggar UU, bahkan melanggar Konstitusi, berkedok iuran pariwisata yang ditarik melalui tiket penerbangan.
Iuran pariwisata ini ilegal, meskipun dikemas atau difasilitasi dengan Perpres.
Karena, menurut konstitusi, setiap pungutan wajib kepada masyarakat harus diatur dengan UU. Tidak boleh dengan Perpres.
Pasal 23A Undang-Undang Dasar secara jelas menyatakan bahwa: Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
Bunyi Pasal 23A UUD ini singkat dan jelas, dengan tujuan untuk melindungi masyarakat supaya pemerintah tidak bisa sewenang-wenang mengenakan pajak, atau iuran atau pungutan wajib yang bersifat memaksa kepada masyarakat.
Oleh karena itu, pungutan wajib yang bersifat memaksa tersebut harus diatur dengan UU, dan tidak boleh hanya dengan Perpres. Dengan kata lain, pungutan wajib dan memaksa yang hanya diatur dengan Perpres adalah ilegal.
Apa arti pungutan atau iuran wajib dan bersifat memaksa? Pungutan atau iuran wajib yang bersifat memaksa pada prinsipnya adalah pajak.
Pasal 1 angka 1 UU No 28 Tahun 2007 tentang perubahan perubahan atas UU Perpajakan mendefinisikan: Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara …. yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung (kontraprestasi) ….
Artinya, semua pungutan atau iuran wajib yang bersifat memaksa masuk kategori pajak dan harus diatur dengan UU.
Bersifat memaksa artinya, mereka yang tidak membayar pungutan atau iuran wajib yang diatur dengan UU dapat dikenakan sanksi pidana dan atau administrasi.
Sebaliknya, tanpa diatur dengan UU maka pungutan atau iuran yang dikenakan kepada masyarakat menjadi ilegal, dan maka itu masyarakat tidak wajib membayar pungutan tidak sah tersebut.
Beda dengan retribusi, yaitu iuran kepada pemerintah (biasanya pemerintah daerah) yang sifatnya sukarela, dan dengan imbalan (prestasi).
Meskipun demikian, retribusi juga harus diatur dengan UU atau Peraturan Daerah. Misalnya iuran atau retribusi pelayanan kebersihan (persampahan). Iuran ini wajib dibayar oleh masyarakat yang menerima imbalan pelayanan tersebut.
Akan tetapi, kalau tidak membayar retribusi ini, masyarakat tidak bisa dikenakan sanksi pidana maupun administrasi, kecuali tidak mendapat pelayanan (prestasi) dimaksud. Misalnya, sampahnya tidak diambil oleh dinas kebersihan.
Apapun bentuknya, apakah termasuk pajak (atau pungutan wajib) yang bersifat memaksa tanpa imbalan (kontra prestasi) atau retribusi dengan imbalan (prestasi), keduanya harus diatur dengan UU. Kalau tidak, maka pungutan wajib dan retribusi tersebut tidak sah, ilegal, dan melanggar konstitusi.
Jadi, iuran pariwisata yang hanya diatur dengan Perpres melanggar Konstitusi Pasal 23A. (*)