Presiden Jokowi Wajib Mempertanggungjawabkan Semua Tindakannya yang Represif dan Melanggar Peraturan Perundang-Undangan dan Konstitusi
Misalnya, memberi bantuan sosial atau bantuan beras, padahal tidak ada mata anggarannya di dalam UU APBN yang telah disetujui bersama DPR. Hal ini terlihat sangat jelas ketika Jokowi memperpanjang bantuan sosial beras untuk periode November 2023 hingga Juni 2024.
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
TULISAN ini disampaikan pada acara Silaturahim Antar Tokoh dan Elemen Perubahan, di Jakarta, 1 Oktober 2024.
Selama sepuluh tahun pemerintahan Joko Widodo, Indonesia semakin mundur. Dalam bidang hukum dan politik, Indonesia sangat mundur, dan menjadi yang terburuk sepanjang Indonesia berdiri sejak 1945.
Bahkan jauh lebih buruk dari era penjajahan, mendirikan dinasti politik dan praktik nepotisme yang sangat kotor dengan mempermainkan konstitusi. Jokowi adalah representasi dari pemimpin yang buruk, licik, manipulatif dan penuh dengan kebohongan, yang hanya mementingkan kekuasaan untuk dirinya sendiri, dan keluarganya.
Kebijakan pemerintahan Jokowi selama 10 tahun sangat jahat dan brutal terhadap masyarakat kecil, masyarakat menengah bawah. Sejak awal menjabat, kebijakan ekonomi Jokowi menyakiti masyarakat luas. Kebijakan ekonomi Jokowi tidak ada keberpihakan sama sekali kepada masyarakat kelas menengah bawah.
Ketika pertama kali menjabat 2014, Jokowi langsung menaikkan harga BBM pada pertengahan November 2014. Jokowi menaikkan harga BBM jenis premium dari Rp 6.500 per liter menjadi Rp 8.500 per liter, atau naik lebih dari 30 persen, di tengah penurunan tajam harga minyak mentah dunia lebih dari 50 persen.
Harga BBM solar juga naik lebih gila lagi, naik lebih dari 36 persen, dari Rp 5.500 per liter menjadi Rp 7.500 per liter.
Jokowi bukan saja menghapus subsidi BBM, tetapi Jokowi mengambil untung dari rakyat kecil. Harga BBM di Indonesia ketika itu lebih mahal dari harga BBM sejenis di Malaysia, dan Amerika Serikat. Bahkan harga BBM jenis premium (RON 88) di Indonesia lebih mahal dari harga BBM sejenis Pertamax Plus (RON 95) di Malaysia.
Di lain sisi, Jokowi memberi subsidi minyak sawit untuk campuran program biosolar yang dinamakan B15, B20, B30. Tidak tanggung-tanggung, subsidi untuk program biosolar tersebut bisa mencapai Rp 4.000 per liter.
Jokowi kemudian menghapus subsidi untuk 20 kereta ekonomi jarak jauh dan sedang per 1 Januari 2015. Dampaknya luar biasa. Harga tiket kereta naik menjadi 2 kali bahkan 3 kali lipat.
Setelah itu, Jokowi memberlakukan kebijakan tax amnesty atau pengampunan pajak yang sangat kontroversial, yang sangat menguntungkan orang kaya alias oligarki.
Kebijakan tax amnesty ini sangat tidak adil bagi masyarakat khususnya para pekerja yang selalu taat membayar pajak. Kebijakan tax amnesty identik dengan legalisasi uang ilegal, atau legalisasi pencucian uang, yang difasilitasi oleh negara.
Alasan pembenaran untuk program tax amnesty hanya untuk membohongi dan menipu masyarakat. Karena, alasan tax amnesty akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan rasio pajak menjadi lebih tinggi bukan saja tidak tercapai, tetapi malah turun.
Gembar-gembor tax amnesty akan menaikkan rasio pajak dari 11,4 persen pada 2015 menjadi 14,6 persen pada 2019 ternyata malah turun menjadi hanya 9,8 persen, telah mempertontonkan sebuah pembohongan publik secara transparan.
Jelang Periode Kedua
Menjelang periode kedua, Jokowi mengacak-acak KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), dengan melakukan revisi UU tentang KPK pada 2019, menjadikan KPK sebuah lembaga di bawah cabang eksekutif, di bawah presiden, dan tidak lagi sebagai lembaga independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif.
Bahkan Jokowi menempatkan orang-orangnya di dewan pengawas, agar dapat mengendalikan komisioner KPK.
Semua manuver Jokowi itu membuat pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi tumpul, dan bahkan digunakan sebagai alat politik, dan alat sandera untuk mempertahankan kekuasaan, dengan mengintimidasi dan menangkap lawan politik, tetapi aktif melindungi kawan dan kerabat politiknya yang korup.
Indeks persepsi korupsi anjlok dari skor 40 pada 2019 menjadi skor 34 pada 2022. Terlihat jelas Jokowi membiarkan korupsi merajalela, merasuki sebagian besar, atau mungkin hampir seluruh kementerian dan lembaga. Belum tertangkap bukan berarti tidak ada korupsi di sana.
Beberapa kementerian dan lembaga yang terlibat kasus korupsi antara lain Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Sosial, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perdagangan, Kementerian ESDM, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan, Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Perindustrian, Kemenko Perekonomian, Kejaksaan, Kepolisian, Kehakiman. Bahkan Mahkamah Konstitusi diduga terima “gratifikasi” berupa perpanjangan masa jabatan.
Politik pembiaran mengakibatkan praktik bisnis ilegal merajalela, menjadi yang terburuk selama Indonesia berdiri.
Impor dan ekspor ilegal tumbuh subur dengan nilai yang tidak masuk akal, seperti ekspor biji nikel yang mencapai 5 juta ton lebih, atau impor emas batangan yang mencapai Rp 189 triliun. Tambang ilegal berjamuran, seperti tambang nikel, tambang emas, atau tambang timah ilegal.
Perkebunan ilegal juga dibiarkan, mencapai lebih dari 3 juta hektar, dan konon katanya mau diputihkan. Semua pembiaran ini merusak tatanan hukum yang ada, merugikan masyarakat dan keuangan negara, dengan menguntungkan segelintir oligarki dan para elit penguasa serta elit politik di lingkaran penguasa.
Periode Kedua
Periode kedua Jokowi, kebijakan Jokowi, dalam bidang hukum, politik dan ekonomi, semakin sewenang-wenang.
Pandemi Covid-19 digunakan sebagai kesempatan untuk mengukuhkan kekuasaannya, dengan menetapkan peraturan perundang-undangan yang koruptif, yang melanggar banyak peraturan perundang-undangan lainnya serta konstitusi.
Jokowi menetapkan peraturan presiden (Perpres) dan undang-undang (UU) dengan melanggar undang-undang dan konstitusi, secara sadar dan terencana, yang merugikan keuangan negara sampai ratusan triliun rupiah.
Perpres Nomor 3 tahun 2016 tentang proyek strategis nasional (PSN) ditetapkan tanpa rujukan atau perintah undang-undang, melanggar UU No 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, melanggar konstitusi terkait wewenang DPR sebagai pembuat UU, dan melanggar konstitusi terkait HAM karena terjadi pengusiran dan perampasan harta penduduk setempat daerah PSN secara paksa dan sewenang-wenang.
Nilai proyek PSN yang memakai dana APBN mencapai Rp 1.500 triliun lebih per akhir 2023. Menurut laporan PPATK, sekitar 36 persen dari dana tersebut bocor, digunakan untuk kepentingan pribadi para pejabat (ASN) dan politikus.
Prepres Nomor 36 tahun 2020 tentang Kartu Prakerja, juga ditetapkan tanpa dasar hukum yang sah, selain melanggar UU Nomor 12 tahun 2011 dan konstitusi terkait wewenang DPR, juga bersifat koruptif.
Dalam hal ini, Perpres tersebut digunakan sebagai alat untuk melakukan penyimpangan APBN, yang merugikan keuangan negara dan menguntungkan segelintir pihak lain, yaitu penyelenggara platform digital sebagai pelaksana pelatihan program Kartu Prakerja.
PERPPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) tentang Pandemi Covid-19 melanggar sejumlah UU dan konstitusi.
Antara lain melanggar independensi Bank Indonesia, dan peraturan tentang keuangan negara di mana APBN wajib ditetapkan dengan UU. Bukan oleh Perpres. Oleh karena itu, Perpres tentang APBN melanggar konstitusi dan menjadi tidak sah.
Dan Jokowi wajib bertanggung jawab, baik sebagai presiden maupun dalam kapasitas pribadi, karena telah melakukan penyimpangan APBN terkait pengeluaran uang negara yang cacat hukum tersebut.
Pandemi Covid-19 membuat APBN yang ditetapkan berdasarkan Perpres yang cacat hukum tersebut mengalami defisit dalam jumlah gigantis. Hanya dalam 3 tahun anggaran (selama pandemi), 2020-2022, defisit APBN mencapai Rp 2.204 triliun. Hampir menyamai seluruh utang pemerintah sejak Indonesia berdiri hingga akhir 2014 yang hanya mencapai Rp.2.608 triliun.
Ironisnya, defisit APBN yang sangat besar ini tidak memberi manfaat kepada kelompok masyarakat menengah bawah. Tingkat kemiskinan malah naik dari 9,22 persen pada 2019 menjadi 9,57 persen pada 2022.
Di tengah kenaikan penerimaan negara yang sangat besar pada tahun anggaran 2022 akibat kenaikan harga komoditas, mencapai lebih dari Rp 600 triliun dibandingkan tahun sebelumnya (2021), Jokowi malah menaikkan Pajak PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022, dan menaikkan harga BBM (bersubsidi) pada 3 September 2022.
Harga Pertalite naik dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter dan harga solar naik dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter, dengan alasan subsidi BBM akan membengkak mencapai Rp 502 triliun, bahkan Rp 700 triliun. Semua ini ternyata hanya bohong besar.
Berdasarkan laporan keuangan pemerintah yang sudah diaudit oleh BPK, realisasi subsidi solar pada 2022 hanya Rp 10,1 triliun, lebih rendah dari realisasi subsidi solar pada 2021 yang mencapai Rp 13,5 triliun.
Kenaikan penerimaan negara yang tidak menetes ke masyarakat bawah di satu sisi, dan kenaikan PPN pada 1 April 2022 dan harga BBM pada 3 September 2022 di lain sisi, mengakibatkan tingkat kemiskinan naik.
Defisit APBN yang begitu besar selama pemerintahan Jokowi membuat utang pemerintah melonjak 224 persen, selama periode 2014 sampai akhir Agustus 2024, atau naik dari Rp 2.608,8 triliun menjadi Rp 8.461,9 triliun.
Kenaikan utang pemerintah sebesar itu praktis hanya dinikmati oleh elit penguasa, termasuk elit partai politik, dan kroni oligarkinya. Rakyat hanya mendapat ampasnya saja, seperti bantuan tunai atau bantuan beras.
PERPPU (dan UU) tentang Cipta Kerja sangat manipulatif, dan termasuk kategori pembohongan atau penipuan terhadap publik. PERPPU ditetapkan karena ada faktor kegentingan memaksa. Dalam hal ini PERPPU Cipta Kerja yang sebelumnya sudah dinyatakan inkonstitusional, Jokowi berdalih akan ada “krisis ekonomi global” sebagai faktor kegentingan memaksa.
Hal ini merupakan pemaksaan kehendak dengan cara menipu publik. Karena, faktor kegentingan memaksa dalam menetapkan PERPPU harus berdasarkan fakta, artinya sedang terjadi. Bukan berdasarkan proyeksi atau prakiraan seperti alasan yang dijadikan dasar ditetapkannya PERPPU Cipta Kerja.
Faktanya, tidak ada “krisis ekonomi global” sampai saat ini. Selain itu, pemaksaan penetapan PERPPU Cipta Kerja yang manipulatif ini nampaknya juga didasari niat jahat terhadap rakyat Indonesia.
Karena di dalam PERPPU tersebut diselundupkan ketentuan terkait penetapan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang pada hakekatnya digunakan untuk mengusir dan merampas hak milik pribadi penduduk setempat di daerah PSN, yang mana jelas-jelas melanggar Hak Asasi Manusia terkait hak masyarakat untuk memiliki hak milik pribadi, di mana hak milik pribadi tersebut tidak boleh direbut atau diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.
Kemudian, penetapan UU Nomor 3 tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) juga sangat bermasalah dan manipulatif, juga melanggar sejumlah UU dan konstitusi. UU IKN melanggar UU tentang Pemerintahan Daerah, dan melanggar konstitusi yang mengatur daerah dan pemerintahan daerah, Pasal 18 UUD 1945, dengan implikasi harta (properti atau lahan) milik pemerintah daerah direbut atau tepatnya dianeksasi oleh pemerintah pusat.
Selain itu, pemerintahan Jokowi juga menjalankan berbagai aktivitas atau program yang jelas-jelas melanggar undang-undang dan konstitusi. Antara lain, melakukan penyimpangan APBN, di mana mengubah mata anggaran yang sudah ditetapkan di dalam UU APBN secara sepihak, tanpa ada persetujuan DPR.
Misalnya, memberi bantuan sosial atau bantuan beras, padahal tidak ada mata anggarannya di dalam UU APBN yang telah disetujui bersama DPR. Hal ini terlihat sangat jelas ketika Jokowi memperpanjang bantuan sosial beras untuk periode November 2023 hingga Juni 2024.
Kemudian, berdasarkan hasil persidangan beberapa kasus korupsi, banyak perubahan pengeluaran APBN yang tidak sah secara hukum dilakukan atas inisiatif Jokowi. Antara lain, kenaikan anggaran di Kemenkominfo pada 2020 dan 2021. Menurut kesaksian Johnny Plate, mantan menteri Kominfo, kenaikan anggaran tersebut atas permintaan atau arahan Jokowi. Artinya, menjadi tanggung jawab Jokowi.
Pelaksanaan proyek juga banyak yang bermasalah dan melanggar peraturan perundang-undangan. Yang sangat transparan misalnya proyek kereta cepat. Keputusan memenangkan proyek kereta cepat China terindikasi mengandung manipulasi terhadap evaluasi penawaran proyek.
Pertama, komponen beban bunga pinjaman tampaknya tidak dimasukkan ke dalam perhitungan biaya proyek. Kalau komponen beban bunga ini dihitung sebagai biaya proyek, maka biaya proyek kereta cepat Jepang akan lebih murah dari China, karena suku bunga pinjaman dari China 20 kali lipat lebih tinggi dari Jepang: 2 persen per tahun versus 0,1 persen per tahun. Sedangkan 75 persen dari biaya proyek diperoleh dari pinjaman.
Kedua, kemudian terjadi pembengkakan biaya proyek sebesar 1,2 miliar dolar AS, yang seharusnya merupakan beban kontraktor tetapi diakui sebagai beban proyek. Hal ini membuat kereta cepat China jauh lebih mahal dari kereta cepat yang ditawarkan Jepang.
Mengingat begitu banyak pelanggaran yang dilakukan Jokowi selama 10 tahun pemerintahannya, dengan mengakibatkan kerugian keuangan negara dalam jumlah sangat besar, serta membuat rakyat sengsara dan bertambah miskin, maka rakyat menuntut agar Jokowi mempertanggung-jawabkan semua tindakannya di depan hukum.
Semoga konsep Indonesia adalah negara hukum tidak menjadi slogan belaka. Tetapi, harus diwujudkan dan ditegakkan. (*)