Puskesmas dan Akses Internet, Apa Positif Negatifnya?

Ini sisi positif sekaligus negatifnya, karena artinya bisa saja dimanfaatkan oleh OTB (Organisasi Tanpa Bentuk) atau Kelompok separatis untuk berkomunikasi tanpa harus melalui negara tertentu asal sanggup membayarnya.

Oleh: KRMT Roy Suryo, Selain Pemerhati Telematika, Multimedia, AI dan OCB, Juga Magister Kesehatan Masyarakat (Public Health) UGM Asli

DUNIA Kesehatan Indonesia mendadak menjadi pemberitaan dunia, bukan soal disederhanakan (baca: dihilangkannya klas ekonomi) di Layanan BPJS Kesehatan baru-baru ini yang sempat heboh dan membuat resah masyarakat kemarin, tetapi justru malahan muncul berita positif tentang fasilitas Puskesmas di Indonesia yang kini sudah terkoneksi dengan Jaringan Internet baru dan canggih dari StarLink dan bahkan diresmikan langsung oleh Tokoh yang sedang naik daun namanya di berbagai bidang berbau teknologi canggih dan bergaya eksentrik, Elon Musk.

Di tengah-tengah kehadirannya dalam WWF (Water World Forum) di Bali, Senin (20/5/2024) yang tampak diistimewakan oleh Pemerintah kita karena sampai harus memberikan sambutan khusus di Pembukaan WWF Senin pagi itu, pemilik bisnis Otomotif EV Tesla, Platform SosMed X (dulunya Twitter) dan Penyelenggara Jasa Eksplorasi Luar Angkasa Space-X tersebut bersama MenKes Budi Gunadi Sadikin meresmikan Layanan Internet untuk 3 Pusat Kesehatan Masyarakat sekaligus, yakni Puskesmas Pembantu Sumerta Kelod di Bali, Puskemas Pembantu Bungbungan di Klungkung, dan Puskesmas Tabarfane di Maluku.

"Dari 10.000 Puskesmas yang ada di Indonesia, sekitar 745 Puskesmas tidak memiliki akses internet sama sekali dan 1.475 Puskesmas memang memiliki akses internet tapi terbatas. Semuanya tersebar di 7.000 pulau di Indonesia,” kata MenKes BGS dalam keterangannya yang termuat di berbagai media. Sehingga peresmian secara simbolis di 3 Puskesmas hari ini adalah mewakili untuk Peresmian sarana yang sama bagi 700 Puskesmas di seluruh Indonesia tersebut.

Kalau kita lihat data di BPS (Badan Pusat Statistika), jumlah Puskesmas di Indonesia untuk tahun 2023 adalah sebanyak 10.416 unit. Meski jumlah ini naik 0,4% atau bertambah 42 unit dari tahun sebelumnya (2022) yang sebanyak 10.374 unit, namun jumlah Puskesmas tersebut dibanding jumlah Penduduk Indonesia (278.7 juta jiwa) rasionya masih tergolong minim.

Ini artinya 1 Puskesmas harus bisa untuk melayani sebanyak 26,5 ribu jiwa, dapat dibayangkan bagaimana crowded-nya apabila semua layanannya harus dikerjakan dengan manual/offline seperti sekarang, apalagi jika letak Puskesmas jauh alias berkilo-kilometer dari tempat tinggal penduduk.

Sebagai juga pemegang resmi gelar Magister Kesehatan Masyarakat (M.Kes) atau Public Health dari Universitas Gadjah Mada (Asli) yang tidak diragukan apalagi sampai perlu dipertanyakan dan disidangkan segala, tentu saya menyambut positif kolaborasi inovasi ini, karena memang bidang kesehatan modern niscaya tidak akan bisa lepas dari kemajuan teknologi, karena akan semakin banyak sinergi antar ilmu keduanya.Teknologi yang dimaksud bisa sebagai Alat bantu Preventif atau Prognosisnya atau bahkan selaku Alat Utama Kuratif dalam Penyembuhan/Eksekusinya.

Peresmian ini tentu juga bisa dianggap sedikit memberi harapan cerah bagi masa depan Kesehatan Masyarakat Indonesia di usia 116 tahun Kebangkitan Nasional (20/5/2024), di mana dibayangi Ironi di hampir semua sisi lainnya (Ekonomi, Kolusi, Korupsi, Demokrasi dan sebagainya, sebagaimana tulisan saya sebelumnya).

Kehadiran aplikasi "Satu Sehat" yang dikembangkan Kemenkes tentu sangat terbantu dengan teknologi Internet ini, di mana masyarakat dapat mengakses data kesehatan mereka secara real-time. Contohnya, untuk USG (Ultra Sonografi) dan imunisasi, BuMil bisa langsung mengetahui data-data dengan menerima notifikasi otomatis di aplikasi WA (WhatsApp).

Selain hasil USG, ada imunisasi elektronik sejak 1,5 tahun lalu sampai Masyarakat kini bisa men-download sertifikat vaksin di Aplikasi Satu Sehat tersebut. Menurut data resmi dari Kemenkes, dari Januari 2023 sampai awal 2024 ada 200-an juta data kesehatan masyarakat Indonesia yang sudah direkap oleh Aplikasi ini.

Tentu yang utama bukan hanya soal beragamnya fasilitas di atas, namun juga akselerasi kecepatan dan ketersediaan akses bagi Rekan sejawat dan Tenaga Medis di Puskesmas sekaligus masyarakat untuk berinteraksi lebih jauh lagi, baik untuk Konsultasi secara Visual misalnya menggunakan Zoom atau Google meet atau sekedar Auditif menggunakan Telepon berbasis WA yang sangat ekonomis dibanding Direct-call pada masa lalu.

Namun, demikian apakah Backbone StarLink ini ada sisi negatifnya bagi perkembangan dunia telekomunikasi di Indonesia? Tentu hal ini tidak bisa diabaikan begitu saja, karena uniknya dengan Jumlah penduduk 278.7 Juta jiwa yang saya sebut sebelumnya, jumlah HP di Indonesia justru sebanyak 353.3 juta (lebih banyak dari jumlah penduduk) dengan pengakses Internet sebesar 185.3 juta dan SocMed sebesar 139 juta (data terbaru per Januari 2024).

Semua ini sebelumnya dilayani oleh Operator seluler Telkomsel, Indosat-Oredoo, XL-Asiata dan SmartFren. Kita ingat dulu sempat ada operator-operator seluler lain, sebelum akhirnya terkena "seleksi alam" dan saling merger seperti TelkomFlexi-Telkomsel, Satelindo-Indosat dan Smart-Mobile8/Fren.

Apalagi StarLink menggunakan teknologi LEO (Low Earth Orbital Sattellite) yang terletak di 340 km hingga 1.200 km di atas bumi, berbeda dengan Satelit biasa yang ditempatkan di Geostasioner Orbit biasanya di 35.786 km di atas bumi. Secara teknis LEO-sat ini bagaikan "balon terbang" membawa BTS (Base Transceiver Sattellite) di atas bumi, sehingga lebih fleksibel alias bisa dimanfaatkan oleh perorangan/organisasi tanpa harus berbentuk negara.

Ini sisi positif sekaligus negatifnya, karena artinya bisa saja dimanfaatkan oleh OTB (Organisasi Tanpa Bentuk) atau Kelompok separatis untuk berkomunikasi tanpa harus melalui negara tertentu asal sanggup membayarnya.

Jadi bisa ada masalah Hukum bagi Indonesia bilamana StarLink ini justru mudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang bisa mengganggu integitas bangsa jika tidak diwaspadai termasuk pengaturan Yurisdiksinya.

Kesimpulannya, selain harus dijaga soal "Level playing field" yang sama dengan pihak-pihak lain yang telah terlebih dulu eksis di Indonesia, bagaimanapun juga kehadiran Operator Telekomunikasi, Internet dan Akses media baru bagi Indonesia ini tentu akan menimbulkan sisi Positif (misalnya untuk Kesehatan di atas) dan sisi Negatif (untuk Keamanan dan Ekosistem Telekomunikasi) yang sudah ada.

Oleh karena itu memang kita tidak bisa menolak teknologi, apalagi sekarang bukan hanya masuk era Industry 4.0 tetapi sudah Society 5.0, namun cermat dan bijaklah dalam membuat semua Policy ... (*)