Racun Akhir Masa Jabatan: Family Office
Asing mana yang mau menyimpan dana di sini lagi? Jika China lagi maka Family Office bukan untuk kesejahteraan atau kemakmuran rakyat tetapi program pengokohan perbudakan atas kaum pribumi. Pemerintahan baru dipaksa untuk melanjutkan penjajahan sistematis tersebut.
Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
BERHALA investasi sudah merasuki ubun-ubun rezim pimpinan Jokowi dan Luhut. Pada akhir masa jabatan yang tinggal beberapa bulan lagi ini, Presiden Joko Widodo memberi kewenangan penuh kepada Menko Marinves Luhut Binsar Panjaitan untuk merancang dan menyiapkan segala hal bagi realisasi program "Family Office" yakni program "dadakan" sekaligus menutupi "keputusasaan" atas tidak kunjung tibanya investor mancanegara selama ini.
Bisnis berbasis keluarga ini konon terobosan, padahal sama sekali bukan hal baru dan bukan solusi “simsalabim”. Tetap saja perlu terbangun iklim usaha yang sehat di dalam negeri terlebih dahulu. Itu menjadi syarat utama untuk bisa menarik investasi "orang super kaya" asing.
Mata Luhut berbinar pada "temuan" program ini sambil mengkhayal menggambarkan kepastian suksesnya. Berbasis pada hitungan "sempoa" bahwa dana Family Office yang beredar di dunia adalah 11,7 triliun USD jika 5% bisa ditarik ke Indonesia maka itu artinya 500 miliar USD telah kita dapatkan. Sebagai penarik maka dana yang disimpan di Indonesia itu akan bebas pajak. Tahap awal simpanan 10 sampai 30 juta USD. Luhut semangat memberi contoh.
Family Office sebagai bisnis keluarga telah sukses di Amerika Serikat. Diawali oleh keluarga JP Morgan tahun 1838 dan dipopulerkan oleh Rockefeller. Dana disimpan dan diputar dalam berbagai bisnis di New York, California, dan Texas. Artinya di Amerika Sendiri.
Sementara di negara Asia, Family Office kokoh di Singapura, Hongkong, dan Dubai. Ini memberi gambaran bakal tidak mudah menarik dana investasi dari orang kaya asing ke Indonesia. Meski bebas pajak, pusat-pusat bisnis di Indonesia belum sekelas Dubai, Hongkong, dan Singapura. Apalagi New York dan California.
Juli ini Jokowi dan Luhut akan launching Family Office. Setelah IKN dan Rempang yang gagal, kini kedua orang itu akan jualan investasi Family Office. Bahaya terbesar dari tipu-tipu "cipoa" adalah penguatan bisnis keluarga orang kaya Indonesia sendiri. Jalan untuk fasilitasi pembebasan pajak dan penguatan oligarki bisnis. Yang kaya tambah kaya yang miskin tidak tertolong. Kekayaan yang dibantu oleh fasilitas negara.
Bahaya lain adalah menipu rakyat bahwa investasi akan membanjiri. Pengokoh kapitalisme untuk merusak sistem ekonomi kerakyatan yang seharusnya dianut oleh bangsa Indonesia. Bisnis keluarga dan "kekeluargaan" menurut Konstitusi memiliki makna yang jauh berbeda.
Family Office hanya program omong kosong. Bagaimana investasi "orang kaya" asing akan datang ke negara dengan kultur bisnis tidak sehat? Para pejabat dan aparat korup, suap, mark up dan perburuan rente yang merajalela. Kuku-kuku Naga pun telah sangat kuat mencengkeram.
Asing mana yang mau menyimpan dana di sini lagi? Jika China lagi maka Family Office bukan untuk kesejahteraan atau kemakmuran rakyat tetapi program pengokohan perbudakan atas kaum pribumi. Pemerintahan baru dipaksa untuk melanjutkan penjajahan sistematis tersebut.
Dengan mainan baru Jokowi dan Luhut itu maka rakyat terus dibuat manut oleh rezim linglung. Manipulasi "legacy" untuk menutupi ketidaktuntasan berbagai penanganan masalah baik korupsi, pelanggaran hak asasi, perusakan demokrasi, IKN maupun kehancuran moral seperti judi online dan money laundry.
Family Office atau Kantor Keluarga hanya akal-akalan Jokowi dan Luhut untuk tetap berkuasa. Umur yang sudah pendek ingin terus diperpanjang dengan menunggangi kegiatan usaha.
Jokowi dan Luhut sudah sulit untuk dipercaya. Terlalu banyak dusta dan dosa. (*)