Rugikan Masyarakat dan Telkom Puluhan Triliun Rupiah, KPK Wajib Usut Skandal Kejahatan Keuangan Goto

Total dana masyarakat yang diraup Goto dari hasil IPO mencapai Rp 13,73 triliun. Dengan harga saham Goto anjlok ke Gocap (Rp 50), kerugian investasi masyarakat mencapai Rp 11,7 triliun, atau 85,2 persen dari nilai IPO.

Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

PT Goto Gojek Tokopedia (Goto), yang digembar-gemborkan mempunyai kapitalisasi pasar (= perusahaan) terbesar di Indonesia ketika menawarkan saham perdananya (IPO, Initial Public Offering) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada April 2022, akhirnya ambruk.

Harga saham Goto amblas, masuk kategori saham Gocap sejak 19 Juni 2024. Amblasnya harga saham Goto mengakibatkan masyarakat rugi puluhan triliun rupiah, termasuk Telkomsel (Telkom).

Amblasnya harga saham Goto seharusnya sudah bisa diperkirakan sejak awal IPO, karena diwarnai berbagai macam skandal kejahatan keuangan, dengan cara menggelembungkan aset dan harga saham sebelum IPO.

Setidaknya ada tiga skandal keuangan yang dilakukan Goto menjelang dan saat IPO, yang dapat masuk kategori tindak pidana kejahatan keuangan berat.

Skandal pertama terkait akuisisi Tokopedia. Sebelum penawaran saham perdana (IPO) awal April 2022, Goto akuisisi 99,99 persen (baca: seluruh) saham Tokopedia, berlaku efektif 17 Mei 2021, dengan nilai Rp 113,2 triliun.

Nilai akusisi ini jelas sangat tidak wajar, patut diduga untuk tujuan menggelembungkan aset Goto sebelum ‘Go Public’, untuk mendongkrak harga saham perdana Goto.

Penggelembungan aset Goto (melalui akuisisi Tokopedia) tercermin dari nilai ‘Goodwill’ yang sangat besar dan tidak normal, mencapai Rp 93,1 triliun (dari Rp 113,2 triliun), atau 82,2 persen dari nilai akuisisi.

‘Goodwill’ adalah aset tidak berwujud yang diharapkan dapat menghasilkan laba di masa depan. Ternyata, bukan ‘Goodwill’ yang didapat Goto, tapi ‘Badwill’. Tokopedia tidak pernah menghasilkan laba sejak berdiri 2009 hingga kini. Akumulasi rugi Tokopedia per 31 Desember 2020, menjelang diakuisisi Goto, mencapai Rp 18,3 triliun.

Karena itu, menjadi pertanyaan besar, bagaimana perusahaan yang belum pernah menghasilkan laba selama berdiri, dengan akumulasi rugi sebesar itu, bisa diakuisisi dengan harga jumbo senilai Rp113,2 triliun, dengan ‘Goodwill’ Rp93,1 triliun?

Nilai akuisisi yang sangat tidak wajar ini jelas menunjukkan terjadi skandal kejahatan keuangan penggelembungan aset Goto menjelang ‘Go Public’, yang akhirnya membuat masyarakat rugi puluhan triliun rupiah.

Tidak perlu waktu lama, penggelembungan aset Goto, dan aset Tokopedia, akhirnya terbuka, dan terbukti.

Desember 2023, Goto menjual 75 persen kepemilikannya di Tokopedia kepada Tiktok, dengan nilai hanya 840 juta dolar AS, atau sekitar Rp 13 triliun, atau sekitar Rp 17,3 triliun untuk 100 persen nilai perusahaan Tokopedia.

Nilai jual ini sangat rendah, hanya sekitar 15 persen dari nilai akuisisi Goto terhadap Tokopedia pada tahun 2021 yang mencapai Rp 113,2 triliun. Untuk transaksi penjualan Tokopedia ini, Goto mengalami rugi sangat besar, mencapai Rp 73,2 triliun.

https://www.cnbcindonesia.com/market/20240320122404-17-523614/simak-ini-alasan-goodwill-tokopedia-bikin-goto-rugi-rp-90-triliun/amp

Istilah teknisnya, kerugian transaksi ini dicatat sebagai penurunan nilai ‘Goodwill’. Dengan kata lain, Tiktok tidak mau membayar ‘Goodwill’ Tokopedia yang tidak wajar tersebut, yang hanya untuk menggelembungkan aset Goto sebelum IPO.

Penjualan 75 persen kepemilikan di Tokopedia membuat Goto mengalami total rugi Rp 90,4 triliun untuk tahun 2023, dan membuat total aset Goto anjlok dari Rp 139,2 triliun pada akhir 2022 menjadi hanya Rp 54,1 triliun pada akhir 2023. Rugi tahun 2023 membuat total akumulasi rugi Goto per akhir Desember 2023 menjadi Rp 208,9 triliun.

Ini adalah (dugaan) skandal kejahatan keuangan Goto yang pertama.

Skandal kejahatan keuangan kedua terkait transaksi Goto dengan Telkomsel, anak perusahaan BUMN Telkom. Pada November 2020, Telkomsel/Telkom memberi pinjaman konversi (menjadi saham) senilai 150 juta dolar AS kepada Goto, disertai dengan opsi beli saham Goto senilai 300 juta dolar AS.

Peristiwa akuisisi Goto terhadap Tokopedia pada Mei 2021 kemudian men-trigger (mengaktifkan) kedua transaksi tersebut, di mana Telkomsel harus membayar Goto sebesar 450 juta dolar AS, atau sekitar Rp 6,4 triliun, untuk mendapatkan 23,72 miliar saham Goto.

Artinya, Telkomsel/Telkom membeli saham Goto dengan harga Rp 270 per saham. Artinya, nilai valuasi (kapitalisasi pasar) Goto pada saat itu mencapai Rp 319,8 triliun. Nilai valuasi ini sangat tidak wajar dan tidak normal.

Salah satu sebabnya akibat penggelembungan harga akuisisi Tokopedia. Selain itu, juga terjadi penggelembungan prospek bisnis Goto ke depan, sehingga membuat harga saham Goto menjadi terlalu tinggi: over-valued.

Anjloknya harga saham Goto menjadi Rp 50 per saham, kapitalisasi pasar Goto hanya tinggal Rp 60 triliun saja, atau hanya sekitar 20 persen dari kapitalisasi pasar akibat penggelembungan aset itu. Anjloknya saham Goto menjadi saham Gocap membuat investasi Telkomsel di Goto rugi Rp 5,22 triliun, atau rugi 81,5 persen dari nilai investasi Rp 6,4 triliun.

Telkomsel bisa berdalih, rugi investasi di Goto ini belum terealisasi karena Telkomsel belum menjual saham tersebut. Tetapi, realitanya, realisasi kerugian investasi Telkomsel ini bisa lebih besar lagi, karena harga saham Goto saat ini, Rp 50 per saham, dinilai masih terlalu tinggi, dan karena itu praktis tidak ada investor yang mau beli saham Goto: Volume transaksi per 4 Juli 2024 hanya 17 juta saham saja. Sangat tidak berarti.

Ini adalah skandal kejahatan keuangan Goto kedua. Penggelembungan aset Tokopedia dan aset Goto membuat valuasi harga saham Goto yang dibeli Telkomsel menjadi sangat kemahalan dan tidak wajar, membuat Telkomsel rugi Rp 5,22 triliun.

Skandal kejahatan keuangan Goto ketiga terkait pemberian izin IPO (penawaran saham perdana) oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Ada dua hal terkait pemberian izin IPO ini.

Pertama, Goto seharusnya tidak layak IPO, karena tidak memenuhi persyaratan atau peraturan (sebelum diubah) untuk perusahaan yang akan ‘Go Public’, yaitu harus menghasilkan laba selama 3 tahun terakhir. Goto, baik Gojek maupun Tokopedia, bahkan tidak pernah menghasilkan laba, meski hanya satu tahun atau satu kuartal.

Selain itu, akumulasi rugi Goto pada Q1/2022, sesaat sebelum ‘Go Public’, mencapai Rp 85,6 triliun, dengan rugi membesar di dua tahun terakhir menjelang IPO. Oleh karena itu, sangat tidak masuk akal OJK dapat memberi izin IPO kepada Goto, dengan menghapus peraturan “wajib menghasilkan laba selama 3 tahun terakhir”, sehingga perusahaan dengan rugi jumbo seperti Goto (dan Bukalapak) bisa ‘Go Public’.

Dengan kondisi akumulasi rugi yang sangat besar, saham Goto bukan lagi masuk kategori spelulatif, tetapi sudah masuk kategori sarana judi, difasilitasi oleh OJK.

Karena, menurut UU Perseroan, perusahaan yang masih mempunyai saldo akumulasi rugi tidak bisa membagikan dividen. Artinya, keuntungan investasi di saham Goto hanya bisa diperoleh dari kenaikan harga saham: tanpa dividen.

Kedua, selain pemberian izin IPO yang kontroversial tersebut, OJK dan BEI juga membiarkan Goto menetapkan harga saham perdana sangat tinggi dan tidak wajar, Rp 338 per saham. Dalam hal ini, OJK (dan BEI) gagal melindungi kepentingan investor publik. Karena, harga saham yang tidak wajar ini akibat praktik skandal penggelembungan aset Tokopedia dan Goto.

Total dana masyarakat yang diraup Goto dari hasil IPO mencapai Rp 13,73 triliun. Dengan harga saham Goto anjlok ke Gocap (Rp 50), kerugian investasi masyarakat mencapai Rp 11,7 triliun, atau 85,2 persen dari nilai IPO.

Kerugian masyarakat ini murni akibat skandal pemberian izin IPO oleh OJK dan penetapan harga saham perdana tanpa kontrol.

Oleh karena itu, KPK atau Aparat Penegak Hukum lainnya wajib usut tuntas dugaan tindak pidana kejahatan keuangan Goto seperti dijelaskan di atas: yaitu penggelembungan aset dan rekayasa valuasi, yang terbukti telah merugikan masyarakat hingga puluhan triliun rupiah. (*)