"Shifting Paradigm" Butuh Zona Bertumbuh
Shifting paradigm secara provokatif mengeksplorasi bagaimana pentingnya proses organisasi yang sering tidak terlihat. Juga melihat relevansi yang lebih besar dari suatu perubahan dan perlunya keterbukaan terhadap berbagai kebijakan.
Oleh: Sri Istiqamah, Coach (Pegawai BUMN)
Chaos global akibat pandemi Covid19 telah berlangsung lebih dari 2 tahun. Selama itu kita mengenal istilah ‘Era VUCA’ (volatility, uncertainity, complexity, dan ambiguity). belakangan kita juga sering mendengar istilah Shifting Paradigm yang akan kita bahas dalam tulisan ini.
Shifting paradigm adalah sebuah konsep yang digagas oleh seorang fisikawan dan filsuf Amerika Thomas Kuhn. Kuhn mempresentasikan gagasannya tentang pergeseran paradigma dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions (1962)
Konsep tersebut mengangkat soal perubahan mendasar dalam konsep dasar dan praktik eksperimental suatu disiplin ilmu. Meskipun Kuhn membatasi penggunaan istilah untuk ilmu alam, konsep pergeseran paradigma kini juga digunakan dalam konteks non-ilmiah untuk menggambarkan perubahan besar dari berbagai sudut pandang.
Shifting paradigm dalam ilmu manajemen
Dalam ilmu manajemen konsep shifting paradigm melakukan reintegrasi dalam organisasi untuk mendukung pengembangan dan pembangunan yang berkelanjutan secara ekologis dan sosial.
Syarat-syarat untuk pengembangan dan pembangunan menolak paradigma konvensional dan ekosentrisme antitesis atas dasar inkongruensi. Bahwa segala sesuatu tidak selamanya pada kondisi ideal dan nyaman.
Namun selalu mengalami guncangan perubahan satu dan lainnya. Juga ketidaknyamanan yang membutuhkan strategi-strategi baru untuk dapat bertahan hidup, menjadi lebih bermanfaat daripada sekedar berada pada sustaincentrism.
Implikasi shifting paradigm dalam organisasi memicu pertanyaan bagaimana manajemen harus diarahkan? Bagaimana peran personal knowledge yang mendukung suatu organisasi?
Shifting paradigm secara provokatif mengeksplorasi bagaimana pentingnya proses organisasi yang sering tidak terlihat. Juga melihat relevansi yang lebih besar dari suatu perubahan dan perlunya keterbukaan terhadap berbagai kebijakan.
Konsep-konsep yang mewakili shifting paradigm
Dalam operation management ada istilah trade off. Menurut saya konsep ini termasuk dalam kategori shifting paradigm, walau mungkin dapat dibedakan level urgensinya. Pada konsep trade off terdapat konsekuensi logic dimana para pengambil keputusan sering dihadapkan pada situasi untuk memilih dan mengakibatkan timbulnya opportunity cost (pengorbanan).
Bayangkan situasi riil dimana seorang pengambil keputusan harus membuat keputusan dan kehilangan satu aspek untuk memperoleh aspek lain dengan kualitas yang berbeda sebagai konsekuensi yang diambil. Impact dari keputusan disebut opportunity cost (biaya kesempatan yang hilang), sebagai pengorbanan atas pilihan lain.
Misalnya begini, seorang HRD Manager dan tim mendesain suatu kegiatan training untuk beberapa kantor wilayah (kanwil) di suatu regional. Sebutlah di Makassar, semua kanwil yang ada di Sulawesi dihadirkan sebagai peserta dengan rencana biaya, let’s say 100 juta.
Karena situasi gelombang ketiga COVID19, timbul aturan PPKM yang mengetatkan protokol kesehatan sehingga kegiatan training offline dibatalkan dan diganti dengan pertemuan virtual yang juga dapat menghadirkan semua peserta yang direncanakan. Biaya dari kegiatan ini misalnya 25 juta untuk menyediakan fasilitas koneksi virtual lebih dari 500 orang.
Dengan keputusan tersebut, sang HRD Manager telah berhasil menghemat sekitar 75% biaya operasional, plus dapat menghadirkan lebih banyak participant. Misalnya menambah participant dari kantor pusat dan kantor wilayah di luar Sulawesi, tanpa perlu menerbangkan mereka ke kanwil Makassar.
Namun ada konsekuensi lain yaitu kesempatan hadir offline di Makassar memungkinkan mereka untuk meng-capture suatu kondisi yang lebih comprehensive dari kondisi SDM dan infrastruktur pengembangan SDM. Inilah yang disebut dengan opportunity cost.
Selain trade off, kita juga mengenal konsep agility. Agility adalah kelincahan, yaitu kemampuan untuk mengubah arah dengan cepat dan tepat pada waktu bergerak tanpa kehilangan keseimbangan. Sehingga kita dapat beradaptasi dan bertahan dengan segala perubahan.
Menurut seorang Master para trainer terkenal Ary Ginanjar, 5 agility yang harus kita miliki agar tetap survive dengan perubahan yaitu: Change Agility: Kemampuan beradaptasi dengan perubahan apapun, Mental Agility: Kemampuan bertahan dalam kondisi apapun, People Agility: Kemampuan kerjasama dengan siapapun, Learning Agility: Kemampuan memahami dan mempelajari hal baru dengan cepat, Result Agility: Kemampuan tetap berprestasi dalam kondisi apapun, Interaksi individu dan organisasi
Seperti kita ketahui, shifting paradigm dalam ilmu manajemen berfokus pada reintegrasi organisasi untuk mendukung pengembangan dan pembangunan yang berkelanjutan. Dalam prosesnya melibatkan personal knowledge individu sebagai member organisasi. Berikut kita lihat bagaimana sesungguhnya interaksi individu dan organisasi dalam shifting paradigma.
Faktor individu sangat berpengaruh dalam organisasi. Ia merupakan kunci utama dalam fungsi pengarahan dan implementasi adalah pemahaman atas karakteristik dan peran individu dalam organisasi. Keragaman karakteristik individu perlu dipahami oleh manajemen suatu organisasi sebelum implementasi dan fungsi pengarahan dilakukan.
Hal ini karena keragaman individu dapat memberikan dampak berlawanan satu sama lain. Dampak positif ketika keragaman tersebut menjadi potensi untuk saling melengkapi, atau sebaliknya, dampak negatif sebagai sumber konflik bagi organisasi. Ini disebabkan karena setiap individu membawa ciri, karakter dan perilaku yang berbeda ke dalam organisasi.
Perilaku individu dalam organisasi adalah bentuk interaksi antara individu dengan organisasi. Setiap individu dalam organisasi berperilaku berbeda satu sama lain, ditentukan oleh lingkungan masing-masing. Sangat tergantung pada kemampuan, persepsi yang membentuk kepercayaan pribadi, pengharapan kebutuhan juga pengalaman masa lalu. Ini semua tergabung sebagai personal knowledge.
Sedangkan organisasi merupakan suatu lingkungan yang mempunyai karakteristik seperti keteraturan yang diwujudkan dalam susunan hirarki, pekerjaan, tugas, wewenang, tanggung jawab, sistem penggajian, sistem pengendalian, dan sebagainya.
Growth Zone
Dalam interaksi individu dan organisasi selalu ada daya tarik menarik di antara keduanya. Keduanya bergerak dinamis dan selalu berubah disebabkan lingkungan eksternal dan internal dari berbagai paradigma yang timbul.
Terdapat satu benang merah yang benar-benar dibutuhkan untuk mendukung organisasi dalam mencapai tujuan yang berkelanjutan seperti diharapkan, yaitu growth zone. Di dalamnya terdapat growth mindset, positive attitude, curiosity untuk terus melakukan self-development.
Ini berlaku untuk individu maupun organisasi, sehingga tidak satu pihak pun yang diposisikan sebagai korban. Organisasi harus terbuka dan adaptive terhadap kemauan keras indidu yang ingin mengembangkan diri. Juga terhadap kritik untuk menjadi lebih baik, sebaliknya tiap individu pun demikian.
Ada kalanya terjadi konflik, dimana shifting paradigm tidak dapat melahirkan inovasi dan terobosan-terobosan baru yang bermanfaat bagi individu atau organisasi secara keseluruhan. Yaitu jika ada mental block pada diri individu atau organisasi memiliki budaya yang buruk.
Budaya perusahaan yang buruk antara lain ditandai dengan kurangnya dukungan dan apresiasi pada kemampuan karyawan, minim pemberdayaan dan rotasi like and dislike. Juga apabila individu merasa harus berpura-pura di depan rekan kerja dan petinggi perusahaan agar bisa diterima di lingkungan kerja.
Padahal tiap orang memiliki keunikannya tersendiri dan sudah selayaknya memiliki kesempatan untuk berkembang dan berkreasi.(*)