Tanda-Tanda Bahaya Deflasi
Terjadinya penurunan harga menyebabkan berkurangnya aktivitas ekonomi, yang pada gilirannya akan menyebabkan harga semakin jatuh. Hal ini bisa mengakibatkan resesi yang berkepanjangan. Investasi yang dilakukan dunia usaha tidak akan lebih tinggi, bahkan bisa lebih rendah lagi.
Oleh: Didik J Rachbini, Ekonom Senior INDEF, Guru Besar pada Universitas Paramadina
PERKEMBANGAN deflasi yang terjadi beberapa waktu terakhir ini harus dicermati dengan baik. Tidak terjadi begitu saja, tetapi merupakan rangkaian pengelolaan ekonomi yang tidak memadai. Deflasi yang terjadi ini merupakan penurunan tingkat harga umum barang dan jasa, yang seolah-olah menguntungkan masyarakat luas.
Harga tidak naik, kemudian kita secara individu yang mapan bersorak menikmatinya. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, terjadi penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 106,28 pada Juni 2024 menjadi 106,09 pada Juli 2024. Dalam beberapa waktu terakhir ini ekonomi Indonesia sudah mengalami deflasi 0,18 persen pada Juli tahun ini dibanding dengan IHK bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Selama 3 bulan terakhir ini terjadi deflasi beruntun.
Namun, deflasi ini secara umum merupakan gejala konsumen secara luas tidak bisa mengonsumsi barang dengan wajar atau setidaknya menunda konsumsinya.
Deflasi kedengarannya menguntungkan bagi konsumen karena harga yang lebih rendah, tetapi ini merupakan fenomena makro ekonomi di mana ekonomi masyarakat sedang tidak berdaya untuk membeli barang-barang kebutuhannya.
Deflasi yang terjadi sekarang dapat menimbulkan dampak negatif yang luas terhadap perekonomian jika kebijakan makro dan kebijakan sektor riil apa adanya seperti sekarang. Yang sudah jelas ada di hadapan mata adalah penurunan Pengeluaran konsumsi.
Konsumen menunda pembelian untuk mengantisipasi harga yang lebih rendah lagi di masa depan karena keterbatasan pendapatannya dan banyak yang menganggur.
Dalam aspek kesempatan kerja peluang pekerjaan, masalah pengangguran lebih berat, yang tidak bisa diukur secara baik karena fenomena sektor informal sangat banyak.
Bantuan sosial (bansos) yang sangat besar sebagai jual-beli suara politik tidak membantu sama sekali untuk memperbaiki keadaan, dan bahkan mendorong utang semakin besar sebagai beban ekonomi politik yang diwariskan.
Selain menerima keadaan deflasi beruntun, konsumsi lemah karena pendapatan turun dan PHK pengangguran yang semakin massal, pemerintah baru juga mendapat warisan utang yang besar selama 10 tahun terakhir ini.
Gabungan masalah industri yang berat, pengangguran, dan deflasi karena konsumsi menurun, maka dunia usaha yang dirasakan Kadin semakin berat.
Saya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Kadin (dan Mantan Kepala LP3E Kadin Pusat), melihat tak ada altrernatif banyak kecuali biaya produksi harus dipangkas, yang pada gilirannya memangkas pekerja menjadi lebih sedikit lagi.
Dunia usaha bakal mengalami penurunan pendapatan akibat konsumsi masyarakat turun sehingga dengan terpaksa memberhentikan pekerja atau mengurangi jam kerja. Dalam jangka lebih panjang bisa terjadi stagnasi atau Penurunan Upah karena pada keadaan seperti ini pengusaha juga dapat memotong upah atau menghentikan kenaikan upah.
Secara makro ini selanjutnya mengurangi permintaan secara keseluruhan dalam perekonomian.
Ada yang diwariskan pemerintah Joko Widodo pada pemerintah baru, yakni dampak Makroekonomi. Hati-hati kepala ular resesi bisa menghadang ekonomi Indonesia karena deflasi yang terus-menerus dapat menyebabkan spiral deflasi, yang memburuk.
Terjadinya penurunan harga menyebabkan berkurangnya aktivitas ekonomi, yang pada gilirannya akan menyebabkan harga semakin jatuh. Hal ini bisa mengakibatkan resesi yang berkepanjangan. Investasi yang dilakukan dunia usaha tidak akan lebih tinggi, bahkan bisa lebih rendah lagi.
Dunia usaha juga akan melakukan koreksi perencanaannya dengan menunda atau membatalkan rencana investasi karena ketidakpastian mengenai pendapatan dan keuntungan di masa depan.
Peningkatan Suku Bunga Riil: Ketika suku bunga nominal sudah rendah, deflasi meningkatkan suku bunga riil, membuat pinjaman menjadi lebih mahal dan menghambat investasi dan pengeluaran.
Maka, sebaiknya lupakan mimpi ekonomi tumbuh 8 persen jika masalah konsumsi rendah ini tidak bisa diatasi dengan pengembangan ekonomi di sektor riil, terutama sektor industri. (*)