Aktivisme dan Komunitas Muslim Amerika (2)
Karenanya aktivisme dalam Islam perlu dijaga di atas nilai keimanan dan ketakwaan demi ridhoNya. Jangan mengaku memperjuangkan Islam atau umat (Palestina misalnya) tapi agama Allah anda acuh tak acuh…keberkahan dalam aktivisme anda akan hilang.
Oleh: Imam Shamsi Ali Al-Kajangi, Chaplain at NYCHHC at Bellevue
PADA catatan sebelumnya disebutkan bahwa aktivisme adalah ruh beragama. Berbagai bentuk ekspresi tentang aktifisme dapat kita temukan dalam Al-Qur’an. Dari perintah beramal, bergerak, hingga ke perintah dakwah, amar ma’ruf-nahi mungkar dan jihad.
Kali ini saya ingin mengelaborasi secara singkat beberapa tuntunan Al-Qur’an dalam menjalankan aktivisme. Tuntunan ini menjadi sangat penting sebab seringkali atas nama aktivisme dan semangat untuk berhasil menjadikan nilai-nilai moral dan keagamaan terlupakan. Sebaliknya, juga terkadang atas nama agama, keinginan dan semangat untuk berhasil menjadi kendor bahkan pudar.
Khusus di acara Konvensi NABIC kali ini saya menyampaikan lima acuan penting bagi setiap aktivis Muslim dalam menjalankan aktivismenya. Kelima acuan atau tuntunan ini saya simpulkan dari sebuah ayat singkat di Surah Toha ayat ke 42.
Allah berfirman: “Berangkatlah engkau (wahai Musa) dan/bersama Saudaramu dengan ayat-ayatKu dan jangan melemah dengan mengingatKu”.
Ayat ini sangat singkat. Namun begitu sarat dengan pesan-pesan khusus kepada nabi Musa AS dalam melakukan dakwahnya, membawa risalah Allah kepada penguasa tiran pada masanya (Fir’aun). Pesan-pesan ini adalah bekal utama setiap pelaku dakwah dan aktivisme dalam masyarakat.
Satu, perintah Allah “berangkatlah engkau (Wahai Musa) adalah perintah untuk bergerak dan pro aktif. Seolah Allah mengatakan jangan duduk melemah, menunggu, dan pasif. Masanya untuk bangkit, berjalan, melangkah menuju kepada keberhasilan.
Perintah untuk “pergi” juga menunjukkan dua tempat. Ada “starting point” di mana langkah itu dimulai. Dan ada “destinasi akhir” di mana langkah itu akan berakhir. Fokus perintah bukan pada destinasi akhir. Tapi pada langkah awal untuk menggerakkan kaki dan melangkah (pergi).
Menunjukkan bahwa dalam perjuangan (aktivisme) langkah awal seringkali menentukan langkah-langkah selanjutnya.
Langkah awal yang dimaksud boleh jadi adalah niat awal. Luruskan niatmu. Tapi boleh juga langkah awal dari perjuangan tersebut adalah adanya rencana yang baik dan benar. Apakah ada “planning” (perencanaan) dalam menjalani perjalanan juang (aktivisme) itu. Salah langkah di awal boleh saja mengantar kepada kesia-siaan bahkan kebinasaan.
Dua, ketika Allah pada ayat itu mengatakan “kamu dan saudaramu” (انت واخوك) menunjukkan bahwa urgensi kerja-kerja kolektif dalam aktivisme. Musa diperintah untuk berangkat bersama saudaranya (Harun). Karena nabi Harun akan menutupi kekurangan Musa, salah satunya, dalam hal berbicara/ komunikasi.
Jika poin ini kita tarik ke dalam dunia realita kita saat ini maka di sinilah pentingnya “kebersamaan” dalam perjuangan. Bukan untuk saling menindih dan berebut. Namun, untuk saling menutupi dan melengkapi antara satu dan lainnya. Kata “saudara” juga menjadi saudara dalam makna yang lebih luas. Bukan sekedar saudara sedarah. Tapi lebih luas sebagai saudara dalam akidah.
Sungguh cita-cita perjuangan itu sangat besar. Jauh lebih besar dari kemampuan seseorang atau sekelompok mengembangnya. Maka pastinya akan lebih ringan ketika dilakukan secara berjamaah (bersama-sama) sebagai satu umat untuk tujuan yang sama “kemuliaan Islam dan umat”. Jangan egoistik apalagi merasa superman bahkan arogan dalam menjalankan aktivisme (perjuangan) ini.
Tiga, pada potongan ayat “dengan ayat-ayatKu” menegaskan bahwa perjuangan atau aktifisme jangan sembarangan dan semberono. Tapi dengan “ayat-ayat” yang dimaknai sebagai “tuntunan, ilmu dan pemahaman, acuan, dan lain-lain yang semakna”. Tanpa petunjuk atau ilmu dan pemahaman yang benar akan menjadi aktifisme buta yang boleh jadi membawa kepada kerusakan yang lebih besar.
Karenanya penting untuk memahami dasar-dasar moral dan etika perjuangan. Tapi tidak kalah pentingnya juga adalah paham tengang situasi dan kondisi di mana aktifisme itu dilakukan. Jika tidak maka pergerakan (aktivisme) itu boleh jadi bagaikan mobil yang bergerak tanpa setir (kendali). Jika tidak menabrak maka mobil itu akan tertabrak yang berujung dengan kerusakan dan pengrusakan.
Di acara NABIC convention itu saya tidak lupa menekankan secara khusus konteks Amerika bagi Komunitas imigran. Selain Komunitas Muslim immigran memang penting melakukan “adjustment” (penyesuaian) mindset, tanpa melanggar prinsip-prinsip dasar agama, dengan lingkungan baru (Amerika). Juga pentingnya bagi Komunitas Muslim untuk paham sistem kehidupan di Amerika, termasuk sistem politik, sosial dan seterusnya.
Empat, larangan untuk tidak lelah atau menyerah (ولا تنيا) menunjukkan banyak hal. Dua di antaranya adalah bahwa perjalanan aktifisme (perjuangan) tidak selalu nyaman. Berbagai tantangan bahkan ancaman akan hadir di hadapan para aktifis (pejuang). Saya tidak perlu memberikan contoh-contoh itu. Karena memang ini pesan pokok Al-Qur’an “apakah manusia akan dibiarkan mengaku beriman tanpa diuji? Sungguh Kami (Allah) telah menguji mereka yang terdahulu untuk mengetahui siapa yang sungguh dalam keimanan dan siapa yang berdusta”.
Selain tantangan dan ancaman, aktifisme juga memerlukan nafas panjang. Aktivisme bukan lari sprint. Tapi lari marathon yang memerlukan energi, nafas panjang, dan tentunya determinasi dan semangat tinggi. Bahwa perjuangan (aktivisme) itu adalah perjalanan tidak mudah dan singkat. Tapi sejauh-jauh perjalanan itu destinasi atau tujuan itu jelas di hadapan mata.
Karenanya “wa laa taniyaa” (jangan kalian berdua, Musa dan Harun, putus asa). Sepanjang apapun malam fajar pasti akan terbit. Dan sepanjang apapun terowongan itu di ujungnya ada cahaya yang bersinar. “Sungguh pertolongan Allah itu dekat”. Walaupun dalam hitungan manusia terasa sangat jauh.
Lima, Allah Kemudian mengakhiri ayat ini dengan ungkapan “fii dzikri” (dalam mengingatKu”. Inilah sebuah pesan penting bahwa dalam aktifisme atau perjuangan seorang Muslim tidak mungkin akan berhasil dan suskes kecuali dengan ikatan “rabbani”. Allah harus menjadi pegangan dalam setiap perjuangan.
Pesan ini mengingatkan secara mendasar bahwa hati harus selalu lurus hanya mencari “ridho” Allah. Bukan untuk kepentingan pribadi atau apapun selain memang mencari keridhoaan Allah SWT.
Selain itu dzikir juga dimaksudkan bahwa nilai-nilai agama (iman dan takwa) harus selalu menaungi setiap pergerakan dan aktifisme seorang Muslim. Jangan sampai ada langkah-langkah yang diambil dan bertentangan dengan ridho Allah SWT. Jika itu terjadi maka itu adalah kegagalan awal untuk kegagalan-kegagalan selanjutnya.
Dan hal ini juga mengingatkan bahwa dalam menjalankan aktifisme jangan ada perasaan hebat, mampu, dan superman. Rasulullah SAW ketika di akhir-akhir perjuangannya diingatkan di surah An-Nashr.
Bahwa ketika perjuangan mencapai titik hasil positif (kemenangan), jangan sambut dengan tepuk dada. Tapi dengan rasa syukur (fasabbih bihamdi Rabbik) dan tawadhu’ bahkan meminta ampun (wastagfiruh) atas ketidak sempurnaan sebagai manusia.
Karenanya aktivisme dalam Islam perlu dijaga di atas nilai keimanan dan ketakwaan demi ridhoNya. Jangan mengaku memperjuangkan Islam atau umat (Palestina misalnya) tapi agama Allah anda acuh tak acuh…keberkahan dalam aktivisme anda akan hilang.
Itulah lima tuntunan dasar aktifisme yang saya sampaikan dalam acara konvensi tahunan North American-Bangladeshi Islamic Community atau NABIC di kota New York Ahad lalu. Semoga manfaat dan jadi acuan dalam langkah-langkah aktifisme kita semua. Aamiin! (*)