Bangladesh dan Perubahan Cepat
Rajapaksa dan Hasina telah tumbang, tapi Jokowi masih kesana kemari. Menggapai-gapai mencari pegangan. Namun itu hanya permainan waktu sebagaimana Raja Srilangka dan Ratu Bangladesh awalnya. Raja Jawa ini juga akan mengalami hal yang sama pada akhirnya.
Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
KETIKA Indonesia skeptis dapat melakukan perubahan cepat atas rezim Joko Widodo yang tinggal menyisakan waktu dua bulan lebih masa jabatannya, maka gerakan perubahan Bangladesh dapat berlangsung 1 bulan saja.
Mulai 1 Juli 2024 blokade jalan dan kereta api oleh mahasiswa, 16 Juli bentrok demonstran dengan pro pemerintah, 18 Juli mahasiswa menolak tenang, 21 Juli ada Putusan MA, lalu 4 Agustus militer berpihak pada demonstran dan 5 Agustus PM Syeik Hasina mundur lalu kabur.
Teringat Mei 2022 saat Presiden Srilangka Gotabaya Rajapaksa didesak mundur oleh rakyatnya lalu lari ke Maladewa untuk lanjut ke Singapura. Sebelumnya Mahinda Rajapaksa juga diturunkan oleh demonstran. Dinasti Rajapaksa memang kaya tapi korup sehingga tidak disukai. Dinasti ini berakhir dengan dimundurkannya Gotabaya Rajapaksa. Rakyat akhirnya marah dan menggigit keluarga besar Rajapaksa. Tukang paksa dipaksa turun tahta.
Bagi pemimpin otoroter dan pengembang politik dinasti, peristiwa di Srilangka dan Bangladesh itu harus menjadi pelajaran. Gerakan serupa bukan hal yang mustahil dapat terjadi juga di Indonesia. Pengalaman penggulingan Presiden pada tahun 1965 dan 1998 dilakukan oleh aksi massa dan mahasiswa. Gaya memimpin Jokowi yang "seenaknya" potensial untuk membangunkan gerakan massa walaupun di ujung masa jabatan.
Gerakan tersebut bisa ditentukan oleh Presiden pelanjutnya. Jika menempatkan diri sebagai boneka penerus, maka dipastikan gerakan akan bersambung. Titik lemah Prabowo Subianto adalah pada legitimasi yang diragukan pasca Putusan MK dan KPU. Ada cacat moral, cacat etika, catat politik, dan catat hukum.
Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka bukanlah Presiden/Wakil Presiden yang ajeg. Terlalu mudah untuk menggoyangnya.
Jika Prabowo berani tampil mandiri dan berpihak pada suara rakyat, termasuk berani menghukum Jokowi, maka Prabowo akan selamat.
Gerakan massa terfokus hanya pada Jokowi dan keluarganya. Pemakzulan bisa terjadi secepatnya, tangkap dan adili. Bongkar dosa-dosa Jokowi merupakan hal yang mengasyikan. IKN menjadi pusat sorotan. Apalagi upacara 17 Agustusan di IKN tercium aroma foya-foya dan penghamburan dana.
Kepala KSP Moeldoko menganggap enteng kritikan pemborosan hingga rental 1.000 mobil dengan harga sewa sampai 25 juta perhari. Menurut Moeldoko, tidak ada harga mahal untuk kemerdekaan. Ngawur dan ngeles Moeldoko. Benar bahwa untuk kemerdekaan tidak ada harga mahal, nyawa pun dikorbankan, tetapi ini untuk "pesta" peringatan kemerdekaan, beda atuh. Konyol pisan.
Meski sudah ada Undang-Undang akan tetapi IKN belum jadi Ibukota Negara karena belum ada Keppres. Akibatnya Upacara Peringatan Kemerdekaan 17 Agustus 2024 dilakukan di tempat yang bukan Ibukota Negara.
Presiden yang berada di Kalimantan Timur itu hanya ingin pamer kekuasaan bak seorang "Kaisar". Lucunya, setelah selesai upacara nanti pasti balik lagi ke Istana Merdeka Jakarta. Mungkin Jokowi berujar, "gak bisa tidur" di IKN.
Rajapaksa, Hasina, dan Jokowi sama saja. Ketiganya bisa dianggap pemimpin yang korup dan tidak becus.
Dinasti Rajapaksa, Hasina puteri Mujibur Rahman dan Jokowi yang merekayasa Gibran dan famili adalah para penjahat politik bagi rakyatnya. Mereka pelanggar HAM yang merampok demokrasi. Merekayasa kecurangan dalam Pemilu. Program dan masa depan hanya tersisa janji-janji.
Rajapaksa dan Hasina telah tumbang, tapi Jokowi masih kesana kemari. Menggapai-gapai mencari pegangan. Namun itu hanya permainan waktu sebagaimana Raja Srilangka dan Ratu Bangladesh awalnya. Raja Jawa ini juga akan mengalami hal yang sama pada akhirnya.
Mundur, dimundurkan, lalu kabur. Atau tangkap dan proses pengadilan.
Dalam desain IKN satu hal yang tertinggal dan belum ada, yaitu bangunan untuk bui atau penjara. Mungkin cocok penghuninya bagi yang selalu ngotot ingin pindah. Tentu bukan Rajapaksa yang lari ke Maladewa atau Hasina ke India. Ini untuk yang masih di Indonesia.
Jika juga ngotot ingin kabur ke China, ya boleh-boleh saja. (*)