JW Identik Critian, Seorang di Athena Anti Agama dan Ateis?
Ilustrasi cerita singkat ini mirip dengan yang sedang terjadi di Indonesia. Semua lengah dan terbuai sosok yang mampu mencitrakan diri sebagai orang sederhana dan lugu, memakan waktu 10 tahun negara dalam bahaya kerusakan tiran ala Cristian.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
DARI sejarah singkat Athena di zaman Yunani Kuno ditunjukkan oleh seorang murid durhaka yang menjadi penguasa tiran, naik tahta setelah Athena mengalami kekalahan dari Sparta dalam perang panjang Peloponnesia 431 – 404 SM. Hidupnya berakhir tragis sebagai tiran.
Critias (460 – 403 SM ) adalah seorang politikus, penyair, dan penulis drama Athena, salah satu pengikut Socrates, sepupu kedua Plato, anggota terkemuka dari Tiga Puluh Tiran Athena, dan "pemimpin oligarki yang mereka dirikan".
"Wataknya yang culas dan bengis disembunyikannya dalam kesehariannya yang tampak lugu". Rakyat Athena tak pernah menyangka kalau Critias adalah sosok pembunuh berdarah dingin: penjagal dan penindas rakyat.
Di tangan Socrates lahir tiga orang muridnya yang tergolong hebat dengan watak yang sangat berbeda. Plato sang jenius, yang menjadi guru Aristoteles. Xenopon sang pemulia, yang jadi jenderal pengabdi Athena, dan "Critias sang durhaka, kaki tangan Sparta dalam meruntuhkan demokrasi Athena".
Sparta yang ingin membunuh demokrasi sambil mengontrol Athena, harus mengangkat seorang pribumi yang bisa menjadi kaki tangannya untuk memimpin rezim Tiga Puluh Tiran.
Pilihan Sparta jatuh kepada Critias untuk menjalankan pemerintahan boneka oligarkis yang telah dirancang untuk menghentikan demokrasi Athena. Critias dipilih karena bakatnya yang loyal dan kejam dalam menindas sesamanya, warga Athena.
Di tangan Critias, Socrates meninggal secara tragis. Critias tak menerima Socrates yang setiap hari mengeritik rezimnya yang tidak kompeten dengan metode Socrates. "Daripada menghabiskan waktu mengklarifikasi kritikan Socrates, lebih baik menghentikannya dengan segelas racun".
Di tangan Critias membungkam mulut Socrates dengan segelas racun di bawah konspirasi tekanan politik peradilan beracun.
Cristian terkenal karena kekejamannya sebagai oligarki Athena. Peran sentralnya dalam banyak penyalahgunaan kekuasaan. Ia juga sering disebut-sebut sebagai seorang tidak bermoral dan ateis awal yang menentang konvensi agama pada masanya.
Bagi Critias tidak ada tuhan atau Tuhan tunggal; agama hanyalah sebuah sarana di mana yang kuat dan berhak mengendalikan yang lemah.
Di akhir pidatonya menjelang dieksekusi mati tahun 399 SM, Socrates mengingatkan, "... wahai orang-orang yang telah menghukum ku, ingin aku ramalkan nasib kalian; sebab sebentar lagi aku mati, dan di saat-saat mendekati kematian manusia dianugerahi kemampuan meramalkan.
Aku ramalkan kalian, para pembunuhku, bahwa tak lama setelah kepergianku maka hukuman yang jauh lebih berat daripada hukuman yang kalian timpakan kepadaku pasti akan menimpamu ...
Saat perpisahan telah tiba, dan marilah kita tempuh jalan masing-masing – aku mati dan kalian hidup. Manakah yang lebih baik, hanya Dewata yang tahu".
Hubungannya dengan oligarki ini pada akhirnya menyebabkan banyak kematian karena ia terbunuh dalam pertempuran pada tahun 403 SM di Piraeus dalam konflik yang mengakhiri kekuasaan mereka.
Critias dengan permainan wataknya sebagai orang lugu, sederhana dan terkesan jujur ternyata hanya topeng memihak faksi pro-demokrasi untuk meraih dan sudah jelas untuk memperoleh kekuasaan.
Ilustrasi cerita singkat ini mirip dengan yang sedang terjadi di Indonesia. Semua lengah dan terbuai sosok yang mampu mencitrakan diri sebagai orang sederhana dan lugu, memakan waktu 10 tahun negara dalam bahaya kerusakan tiran ala Cristian.
Ada indikasi kuat Joko Widodo identik Cristian, seorang anti agama dekat dengan paham atheis sebuah rekam jejak yang selama ini bisa disembunyikan. Tiba waktunya pasti akan terbongkar dan hukuman pengadilan rakyat akan menghampiri dan menimpanya. (*)