Kejahatan Bermuka Kebaikan

Hal itu perlu ditumpas mengingat negara lahir karena perasaan senasib sepenanggungan: sama-sama ditindas oleh kolonialisme. Inilah yang membentuk tali-persaudaraan mereka sebagai satu bangsa.

Oleh: Yudhie Haryono, Guru Besar dan Rektor Universitas Nusantara

SUDAH lama. Kita sudah sangat lama menghukum dengan kejam maling-maling kecil sambil menyerahkan kekuasaan negara kepada maling-maling besar. Lalu, maling-maling besar itu bersolek dengan media, berkampanye soal kebaikan dan Pancasila. Padahal, itu sebaliknya.

Bahkan sengaja. Dengan sangat sengaja, kita menghidupi sebuah postulat state corporate crime. Darinya, lahir tradisi buruk berupa: 1) Melakukan swastanisasi sektor publik (pendidikan, kesehatan dan militer) sehingga mahal tak terjangkau rakyat miskin dan bodoh; 2) Pemberian izin konsesi lahan dan penambangan kepada perusahaan-perusahaan besar secara tidak transparan, yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan merugikan masyarakat lokal.

3)Kebijakan ekonomi dan fiskal yang menguntungkan korporasi besar, seperti pemberian insentif, subsidi, dan perlindungan pasar, sambil mengabaikan kepentingan rakyat kecil dan miskin; 4) KKN antara pejabat pemerintah dan pengusaha dalam proyek-proyek infrastruktur dan pengadaan barang/jasa, yang menimbulkan korupsi dan mark-up harga gila-gilaan;

5)Pelemahan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi besar, sementara masyarakat kecil selalu menjadi korban; 6)Intervensi pemerintah untuk melindungi kepentingan korporasi besar, bahkan dengan menggunakan kekuatan militer, yang merugikan masyarakat;

7)Membiarkan shadow economic (perjudian, prostitusi, narkoba) berjaya dan meraja tanpa usaha membuatnya jadi sumber APBN yang keren dan bermartabat; 8)Dan berbagai hal buruk sedemikian panjang kalau mau kita tuliskan.

Tentu ini menjijikkan. Mengkhianati cita-cita negara ini didirikan: melindungi, mengadilkan, menyejahterakan, mencerdaskan seluruh tumpah darah Indonesia. Terlebih kata Bung Syahrir (1947), "diri kita yang sebenarnya ialah apa yang kita lakukan di saat orang lain tidak melihat kita."

Maka, menghadirkan negara Indonesia, kata Bung Hatta (1946), adalah mentradisikan hukum berkeadilan sosial, tidak berdasar atas kekuasaan belaka. Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).

Dengan membaca dua hipotesa itu, mari kita tradisikan suasana "kebatinan" Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan tinggalkan rasa "kebatilan" bernegara. Kita harus terus bertempur dan sampaikan gagasan kita yang intinya save the nation, save the constitution.

Tentu saja karena membela negara tidak selalu angkat senjata. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk membela negara, di antaranya meluruskan ideologi negara; mengkritik keputusan publik yang anti rakyat; menyampaikan gagasan yang tersambung dengan pancasila serta bersama kaum idealis untuk terus berlaku jujur, amanah, gotong royong, dan jenius.

Ingat wasiat Bung Karno pada pidato 1 Juni 1945, yang intinya membawa aspirasi negara untuk semua: ”Kita hendak mendirikan satu negara, semua buat semua: bukan untuk satu orang, bukan buat satu golongan, tetapi semua buat semua.” Singkatnya negara dan pemerintahan ini milik semua dan panitia kesentosaan semua warga negara.

Sebuah republik demokratis untuk semua yang sayangnya kini dirampok oleh oligarki dan kartel yang melayani kepentingan politik satu orang, satu keluarga, dan satu golongan saja. Sungguh ini kejahatan berbalut kebaikan, kejahiliyahan bermuka kesahajaan.

Hal itu perlu ditumpas mengingat negara lahir karena perasaan senasib sepenanggungan: sama-sama ditindas oleh kolonialisme. Inilah yang membentuk tali-persaudaraan mereka sebagai satu bangsa.

Lalu orientasi mereka adalah sebuah masa depan, yakni sebuah bangsa yang merdeka, yang menjadi basis untuk mereka bisa hidup bersama. Melalui Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, cita-cita hidup bersama itu dirumuskan sebagai “negeri merdeka, bersatu, adil, bermartabat dan makmur." (*)