Para "Teroris Palestina" di Mata Kompas

Langkah Kompas tersebut serupa mesin propaganda NAZI Jerman di bawah Heinrich Himmler yang menghasut masyarakat Jerman untuk membenci Yahudi, sebagaimana rakyat Indonesia membenci aksi rakyat Palestina dan kemudian menjustifikasi aksi jahat Israel.

Oleh: Ahmad Dzakirin, Pengamat Internasional

KOMPAS kembali membuat blunder. Media secara gegabah menuduh teroris gerakan Perlawanan Palestina dan menjadikannya sebagai 'lead' berita di media online mereka.

Kompas gagal melihat insiden Sabtu (7/10/2023) kemarin dalam dua perspektif penting yang seharusnya dipahaminya:

Pertama, perspektif politik, serangan Hamas sebagai aksi gerakan pembebasan yang sah dan diakui hukum internasional dalam menghadapi penjajahan dan penindasan.

Kedua, dalam realitas politiknya, aksi militer Hamas merupakan respon atas pelbagai kekejian Israel yang telah dilakukan hingga kini, celakanya dengan jaminan kebebalan politik dan hukum yang tanpa batas (absolute impunity) dari AS dan negara-negara Barat. Tidak peduli berapa banyak hukum dan resolusi internasional yang dilanggarnya.

Kita melihat setiap harinya (on daily basis), aksi kejahatan Israel yang sulit di nalar akal sehat, mulai dari merampas tanah, menutup sumber air, mengusir, menganiaya, dan bahkan juga membunuh penduduk Palestina.

Israel telah memenjara 2 juta warga Gaza dan memblokade penduduknya dari pemenuhan kebutuhan pokok mereka hampir dua dekade. Dan pelbagai kekejian tersebut sekali lagi terjadi dalam tatapan tidak berdaya masyarakat internasional.

Di sisi lain, para pemukim ilegal yang dilindungi tentara Israel memprovokasi dan menodai tempat suci ketiga umat Islam, Masjid Al Aqsa.

Israel melarang kaum Muslimin menunaikan sholat di Masjid al Aqsa, seenaknya menutup akses ke masjid untuk kegiatan keagamaan para pemukim Yahudi, hingga merobek Al Qur'an, mengusir dan memukuli para jamaah sholat.

Kembali kekecewaan dan kemarahan kaum Muslimin di seluruh dunia hanya berhenti dalam narasi kemarahan dan protes para pemimpin dunia Islam, sekali lagi karena perlindungan politik AS dan para pemimpin Eropa.

Karena menduga tanpa lawan – karena faktanya pengecam paling gigih, seperti Erdogan kini mulai menyambut hangat Israel, maka PM Netanyahu tanpa malu memperlihatkan peta baru "Israel" tanpa Palestina kepada para pemimpin dunia yang hadir di Majelis Umum PBB.

Aksi Netanyahu ini seperti deklarasi matinya perjanjian damai dan sekaligus sirnanya harapan rakyat Palestina untuk mendapatkan kemerdekaannya. Seperti yang sering dikatakannya, "perdamaian itu ada dalam kekuatan dan aksi kekerasan (violent acts) Israel”.

"Tidak ada lagi 'koeksistensi damai" karena matinya perlawanan rakyat Palestina, pengkhianatan para pemimpin dunia Islam dan impunitas absolut atas kejahatan Israel.

Namun sekalinya, rakyat Palestina yang lemah ini kemudian membalas dengan kekuatan mereka, untuk itu harus dibayar mahal karenanya terbunuhnya banyak rakyat sipil Palestina oleh aksi brutal Israel.

Bagaimana kita lihat, secepat itu pula, tidak butuh 24 jam, Joe Biden (AS), Sunak (Inggris), Macron (Perancis), Trudeau (Kanada) dan banyak para pemimpin Eropa lainnya segera menelpon Perdana Menteri Netanyahu, menyampaikan keterkejutan, bela sungkawa dan seperti diduga, menjanjikan dukungan militer dan finansialnya kepada Israel.

Mereka berkoor menyebut Hamas dengan aksi perlawanannya sebagai organisasi dan aksi terorisme. Secepat itu pula, mereka menutup mata perlbagai realitas kejahatan yang mereka lakukan di sepanjang 73 tahun.

Tidak ada keprihatinan dan permintaan maaf, apalagi mencari solusi yang adil dan komprehensif atas pelbagai ketidakadilan yang terjadi selama ini.

Sebaliknya, seperti kesetanan, para tokoh politik Eropa itu tanpa malu mendorong dan menselebrasi aksi balasan Israel yang keji dan berskala penuh – sekalipun berpotensi membinasakan rakyat sipil Palestina, sebagai "Hak Membela Diri" (Rights to Defend).

Lihat apa kata rasis Nikki Haley, Duta Besar AS di PBB:

"Palestina butuh pemimpin yang lebih baik ketimbang para teroris. Habisi saja mereka," tutur Haley.

Dalam konteks ini pula, Kompas sepertinya sedang menjalankan perannya, sebagai proxy kepentingan Zionis pada satu sisi dan di sisi lain, perpanjangan dari kebijakan berstandar ganda Eropa.

Kompas secara sadar sedang menghasut (blaming) para pembacanya, yakni masyarakat Indonesia dengan menyebut (labelling) "teroris" atas gerakan perlawanan Palestina.

Langkah Kompas tersebut serupa mesin propaganda NAZI Jerman di bawah Heinrich Himmler yang menghasut masyarakat Jerman untuk membenci Yahudi, sebagaimana rakyat Indonesia membenci aksi rakyat Palestina dan kemudian menjustifikasi aksi jahat Israel.

Blunder Kompas mengingatkan kita blunder sebelumnya, lewat anak medianya, The Jakarta Post memasang kartun bendera Tauhid yang disandingkan tengkorak dan tulang ala bajak laut, tindakan yang memancing amarah umat Islam. Mereka mencopot gambar, meskipun tidak meminta maaf.

Dan kini mereka memulainya lagi, hanya saja kali ini terhadap rakyat Palestina yang tengah berjuang melepaskan diri dari penindasan rakyat Israel dan menjaga kesucian Masjid al Aqsa, dengan label "Mereka adalah para teroris". (*)