Pembangunan, Bukan Pertikaian di Laut China Selatan
Langkah Presiden Prabowo dengan menandatangani Joint Development Agreement untuk LCS harus diakui, adalah langkah berani. Prabowo telah menembus impassable barriers, yaitu sejumlah mitos yang menghambat kancil mengambil inisiatif di tengah pertarungan antar-gajah.
Oleh: Radhar Tribaskoro, Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia
LAUT China Selatan (LCS) adalah salah satu wilayah paling dinamis dan strategis di dunia. Kaya akan sumber daya alam seperti minyak, gas, serta ikan, kawasan ini juga merupakan jalur pelayaran internasional yang penting.
Namun, selama bertahun-tahun, LCS telah menjadi area pertikaian yang dipenuhi klaim tumpang-tindih dari banyak negara, termasuk China, Vietnam, Malaysia, Filipina, Brunei, dan Indonesia.
Sengketa ini telah menimbulkan ketegangan yang tidak hanya mempengaruhi stabilitas regional, tetapi juga keamanan dan kepentingan ekonomi global. Daripada terus-menerus memperburuk ketegangan dan risiko konflik, alangkah baiknya jika LCS dapat menjadi kawasan pembangunan bersama untuk memakmurkan rakyat di sekitarnya.
Sejarah panjang sengketa LCS didasari oleh berbagai klaim kedaulatan yang saling tumpang-tindih, dengan Tiongkok/China sebagai salah satu pemain utama yang mengklaim sebagian besar wilayah melalui apa yang disebut yaitu "Sepuluh Garis Putus" (sebelumnya dikenal dengan Sembilan Garis Putus).
Meski Permanent Court of Arbitration (PCA) pada 2016 telah memutuskan bahwa klaim Tiongkok ini tidak sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS); PCA, 2016, tapi Tiongkok tetap mempertahankan klaimnya.
Pada saat yang sama, negara-negara lain di kawasan, termasuk Indonesia, masih berpegang pada prinsip-prinsip UNCLOS dalam mempertahankan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mereka.
Namun, perkembangan terbaru menunjukkan adanya perubahan dalam pendekatan Indonesia terhadap situasi ini. Dalam Joint Statement yang dikeluarkan pada 9 November lalu, Presiden Prabowo Subianto dan Presiden China Xi Jinping menyatakan bahwa kedua negara mencapai "pemahaman bersama tentang pengembangan bersama di area dengan klaim yang tumpang tindih".
Jika yang dimaksud adalah wilayah di Natuna Utara, ini dapat menjadi perubahan kebijakan yang signifikan bagi Indonesia, yang selama ini konsisten menolak klaim Tiongkok atas Sepuluh Garis Putus.
Pertanyaan yang diajukan oleh Hikmahanto Juwana (Guru Besar Hukum Internasional UI), menjadi relevan dalam konteks ini: "Apakah kebijakan Indonesia terkait klaim sepihak Tiongkok telah berubah?" (Juwana, 2024).
Dan jika benar, apa dampaknya terhadap geopolitik di kawasan? Jawaban atas pertanyaan ini tidak hanya penting bagi kepentingan nasional Indonesia, tetapi juga bagi stabilitas ASEAN dan dinamika geopolitik di Asia Pasifik.
Joint Development: Peluang atau Ancaman?
Gagasan joint development atau pengembangan bersama ini sebenarnya bukan hal baru dalam diskursus sengketa maritim. Konsep ini menekankan bahwa meskipun klaim kedaulatan tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat, negara-negara yang bersengketa masih bisa bekerja sama untuk mengeksploitasi sumber daya di area tersebut demi keuntungan bersama.
Prinsip dasar dari joint development adalah bahwa kemakmuran lebih penting daripada pertikaian, dan bahwa sumber daya yang melimpah di LCS seharusnya dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat di kawasan tersebut.
Namun, ada kekhawatiran mendalam terkait implementasi joint development antara Indonesia dan Tiongkok. Banyak pihak khawatir bahwa ini berarti Indonesia mengakui klaim Tiongkok atas Sepuluh Garis Putus, yang secara langsung bertentangan dengan kebijakan sebelumnya.
Hal ini juga bisa merusak solidaritas ASEAN, di mana negara-negara seperti Vietnam, Malaysia, dan Filipina telah lama menentang klaim sepihak Tiongkok ini. Selain itu, negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Jepang yang tidak mengakui klaim Tiongkok bisa merasa kecewa dan mengubah pendekatan mereka terhadap Indonesia.
Oleh karena itu, maka pengembangan bersama harus dilaksanakan dengan sangat hati-hati dan memperhatikan aspek legalitas serta kepentingan strategis jangka panjang. Konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan pihak-pihak terkait lainnya sangat diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak bertentangan dengan undang-undang nasional maupun kepentingan nasional yang lebih luas.
Pembangunan Bersama untuk Kemakmuran Bersama
Ketimbang mempertahankan klaim yang hanya memperuncing pertikaian dan menciptakan suatu ketegangan, semua pihak di LCS bisa mempertimbangkan untuk membangun kawasan ini bersama-sama.
Kawasan LCS adalah sumber daya yang sangat besar, yang jika dikelola dengan baik, kawasan ini bisa memberikan manfaat yang luar biasa bagi semua negara yang berbatasan dengan kawasan ini. (Seperti yang dikatakan Laksamana Purn Soleman Ponto dalam diskusi di Lesperssi pada tahun 2018, "kedaulatan belaka hanyalah klaim hampa bila tidak memakmurkan rakyat" (Ponto, 2018). Pendekatan ini adalah tentang bagaimana memastikan bahwa LCS menjadi sumber kemakmuran, bukan konflik.
Sebagai contoh, kerjasama di sektor perikanan bisa menjadi salah satu langkah awal yang konkret. Negara-negara yang terlibat dapat membentuk organisasi pengelolaan perikanan bersama yang bertujuan untuk menjaga keberlanjutan ekosistem laut dan mencegah penangkapan ikan yang berlebihan.
Demikian pula, pengembangan infrastruktur maritim seperti pelabuhan dan pusat penyelamatan dapat dilakukan secara kolaboratif untuk meningkatkan keselamatan pelayaran di LCS.
Selain sektor perikanan, eksploitasi minyak dan gas juga bisa menjadi fokus kerjasama. Dengan pembentukan konsorsium internasional tersebut, negara-negara yang bersengketa dapat berbagi keuntungan dari sumber daya ini secara proporsional. Dalam hal ini, transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci keberhasilan, agar tidak ada negara yang merasa dirugikan atau dieksploitasi.
Beberapa Pertimbangan
Gagasan kerjasama pembangunan kawasan yang dipertikaikan daripada konflik bisa menjadi solusi potensial, tetapi ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan agar pendekatan ini efektif:
Satu; Pembentukan Kerangka Kerjasama Multilateral. Salah satu langkah awal adalah membentuk mekanisme kerjasama multilateral yang melibatkan semua negara yang terlibat dalam klaim.
ASEAN, bersama dengan Tiongkok dan negara-negara lain yang memiliki klaim, dapat menjadi platform yang relevan untuk menyusun kerangka kerja formal. Kerangka ini dapat menetapkan prinsip-prinsip dasar, seperti penghormatan terhadap wilayah masing-masing dan komitmen untuk tidak meningkatkan ketegangan.
Dua; Zona Ekonomi Bersama dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dengan pendekatan berbagi sumber daya, negara-negara yang bersengketa dapat membentuk "zona ekonomi bersama" di mana keuntungan dari eksploitasi sumber daya laut, seperti minyak, gas, dan perikanan, dapat dikelola dan dibagi bersama. Pembagian ini bisa disepakati sesuai dengan proporsi partisipasi atau kesepakatan lain yang menguntungkan semua pihak.
Tiga; Pembangunan Infrastruktur Bersama. Selain eksploitasi sumber daya alam, pembangunan infrastruktur bersama dapat mencakup pembuatan pelabuhan, mercusuar, fasilitas pencarian dan penyelamatan (SAR), hingga pusat penelitian kelautan yang bisa digunakan oleh semua negara yang terlibat. Hal ini dapat meningkatkan hubungan ekonomi dan membangun saling percaya.
Empat; Mengutamakan Dialog Diplomatik dan Penegakan Hukum Laut Internasional. Dialog yang terus-menerus dan penegakan hukum internasional, terutama Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), bisa menjadi panduan dalam menentukan hak-hak ekonomi setiap negara di kawasan tersebut. Meskipun UNCLOS tidak bisa sepenuhnya menyelesaikan masalah klaim, komitmen untuk mematuhi norma-norma ini bisa mengurangi ketegangan.
Lima; Membangun Kepercayaan Melalui Latihan Militer Gabungan dan Patroli Bersama. Patroli gabungan untuk memastikan keamanan maritim dari ancaman perompakan dan kejahatan lintas negara dapat meningkatkan kepercayaan antarnegara. Selain itu, latihan militer bersama untuk tujuan non-konflik, seperti latihan penyelamatan dan bantuan kemanusiaan, dapat membantu membangun sikap saling percaya.
Enam; Melibatkan Pihak Ketiga sebagai Mediator atau Pengawas. Dalam beberapa kasus, untuk melibatkan pihak ketiga yang netral sebagai mediator atau pengawas bisa mempercepat proses dialog dan memastikan transparansi. Pihak ketiga ini bisa berupa organisasi internasional seperti PBB atau lembaga regional seperti ASEAN.
Tujuh; Pengaturan Mekanisme Penyelesaian Sengketa. Untuk menghadapi kemungkinan terjadi perselisihan di masa depan, sebuah mekanisme penyelesaian sengketa yang disepakati bersama dapat dibentuk. Ini bisa berupa pengadilan atau badan arbitrase khusus untuk kawasan Laut China Selatan, yang putusannya wajib dihormati oleh semua negara yang terlibat.
Delapan; Kawasan Terbuka. Kawasan LCS harus menjadi kawasan terbuka di mana semua negara di dunia bebas melintas dan memanfaatkan peluang ekonomi yang tersedia.
Laut China Selatan (LCS) adalah salah satu kawasan paling kaya sumber daya di dunia dan jika dikelola bersama, bisa menjadi pendorong utama bagi pertumbuhan ekonomi kawasan. Selain itu, adanya pembangunan bersama juga bisa meningkatkan hubungan antarnegara dan membangun saling percaya, yang pada akhirnya akan berkontribusi pada stabilitas regional.
Pelajaran dari Kawasan Lain
Upaya pembangunan bersama di wilayah yang disengketakan bukanlah hal baru di dunia. Ada beberapa contoh sukses yang dapat dijadikan acuan, seperti Zona Pembangunan Bersama di Teluk Thailand antara Malaysia dan Thailand.
Kesepakatan ini memungkinkan kedua negara untuk mengeksplorasi sumber daya minyak dan gas secara bersama-sama, tanpa harus menyelesaikan sengketa kedaulatan mereka (Emmers, 2019). Kerjasama ini terbukti berhasil meningkatkan ekonomi kedua negara dan menjaga stabilitas di kawasan tersebut.
Demikian pula di Laut Barents, Norwegia dan Rusia telah mencapai kesepakatan untuk melakukan eksplorasi bersama sumber daya minyak dan gas. Meski memiliki sejarah konflik dan ketegangan, kedua negara menyadari pentingnya kerjasama untuk kemakmuran bersama (Østreng, 2011).
Kesepakatan ini berhasil mengurangi ketegangan dan memberikan manfaat ekonomi yang signifikan bagi kedua belah pihak.
Menuju Masa Depan yang Lebih Damai
Langkah Presiden Prabowo dengan menandatangani Joint Development Agreement untuk LCS harus diakui, adalah langkah berani. Prabowo telah menembus impassable barriers, yaitu sejumlah mitos yang menghambat kancil mengambil inisiatif di tengah pertarungan antar-gajah.
Mestilah, untuk mewujudkan pembangunan di LCS, diperlukan keberanian politik dan komitmen dari semua pihak yang terlibat.
ASEAN harus mengambil peran lebih besar dalam memfasilitasi dialog dan memastikan bahwa setiap langkah yang diambil sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional. Konsensus di antara negara-negara ASEAN sangat penting untuk memastikan bahwa tidak ada negara yang merasa dikhianati atau dirugikan oleh kesepakatan yang dicapai.
Selain itu, pembangunan bersama juga harus mencakup elemen keberlanjutan lingkungan. LCS adalah rumah bagi ekosistem laut yang sangat kaya, dan eksploitasi sumber daya yang tidak terkendali dapat merusak lingkungan dan mengancam keberlanjutan sumber daya laut di masa depan.
Oleh karena itu, setiap kerjasama pembangunan harus mempertimbangkan dampak lingkungan dan berkomitmen pada praktik yang berkelanjutan.
Pada akhirnya, perubahan dari pertikaian menjadi pembangunan di Laut China Selatan (LCS) ini adalah tentang bagaimana melihat kedaulatan bukan sebagai alat untuk menunjukkan kekuasaan, tetapi sebagai tanggung jawab untuk memakmurkan rakyat.
Kedaulatan yang sejati adalah kedaulatan yang mampu memberikan kesejahteraan, bukan hanya klaim kosong di peta. Dengan memanfaatkan sumber daya di LCS secara bersama-sama, negara-negara di kawasan dapat menunjukkan kepada dunia bahwa mereka mampu mengelola perbedaan dengan cara yang damai dan konstruktif. (*)