Perintah Lepas Jilbab Paskibraka Itu Dungu!

Mengganggukah pergerakan gerak jalannya? Kurang lincahkah nantinya dalam bergerak? Saya tidak menemukan itu. Karenanya saya melihat yang masalah bukan pada Paskibraka puterì yang berjilbab. Tapi yang masalah, mungkin sakit, adalah cara berpikir yang membuat aturan itu.

Oleh: Shamsi Ali Al-Kajangi, Putra Kajang di Kota New York

BARU kemarin saya merilis tulisan dengan judul “perang global terhadap agama dan moralitas”. Ragam argumentasi saya sampaikan bahwa memang sedang terjadi permusuhan dan peperangan terhadap agama dan nilai-nilai moral dalam kehidupan manusia.

Bagi kami di Amerika dan dunia Barat, hal ini bukan baru dan aneh. Dunia Barat dalam sejarahnya sudah dikenal anti Islam, bahkan anti agama secara umum. Anti agama ini yang terakumulasi dalam konsep kehidupan liberal-sekuler yang dipromosikan ke berbagai penjuru dunia.

Tiba-tiba saya dikejutkan oleh berbagai berita yang lagi viral dan ramai di perdebatan bahwa puterì yang berhijab harus melepaskan jilbabnya untuk menjadi bagian dari Paskibraka. Saya terkejut, kecewa dan sebenarnya marah dengan sikap dan kebijakan sebagian mereka yang di pemerintahan dalam hal ini.

Bahwa seorang Muslimah yang seharusnya “bangga dengan negara dan agamanya” dipaksa untuk memisahkan dua komitmen mulainya. Menjadi paskibra itu kebanggaan sebagai putri bangsa. Tapi, berhijab juga kebanggaan dalam komitmen ke-Islaman. Dan, keduanya dalam kata “Indonesia“ yang menyatu tak terpisahkan.

Keinginan sebagian, konon kabarnya BPIP, untuk mencopot jilbab anggota Paskibraka puteri adalah perilaku yang menggambarkan ketidak-senangan, dan bahkan boleh jadi bagian dari phobia kepada agamanya sendiri (kalau dia Muslim). Bahkan, memperlihatkan permusuhan dan peperangan yang dilakukan kepada komitmen keagamaan (khususnya Islam) bangsa Indonesia.

Lebih spesifik lagi yaitu bahwa ini bisa dilihat sebagai bentuk pengkhianatan kepada bangsa, negara dan agama. Bangsa dan negara Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila itu secara mendasar berketuhanan.

Berketuhanan itu diartikan dengan memiliki komitmen keagamaan. Komitmen keagamaan tersebut direalisasikan dalam bentuk menjalankan ajaran-ajaran agama. Dan, salah satu ajaran agama itu bagi orang Islam adalah hijab.

Inilah yang saya maksud dengan “pengkhianatan”. Seorang warga negara Indonesia Muslimah dan tidak berjlbab itu pilihan. Tetapi untuk pemerintah melarang pemakaian jilbab walau dalam sebuah kegiatan tertentu itu pelecehan agama. Melecehkan agama itu sama dengan melecehkan Pancasila dan negara sekaligus.

Dan seorang warga negara apalagi pejabat di bangsa ini melecehkan Pancasila dan negara itulah sejatinya pengkhianatan. Tak peduli dengan teriakan slogan “saya Pancasila, saya Nasionalis”.

Saya mencoba menalari alasan perintah membuka jilbab bagi Paskibraka puterì yang memakainya. Akal sehat saya tidak menemukan alasan “ma’quul” (masuk akal) dari pelarangan berjilbab ketika menjadi anggota pasukan pengibar bendera pusaka.

Mengganggukah pergerakan gerak jalannya? Kurang lincahkah nantinya dalam bergerak? Saya tidak menemukan itu. Karenanya saya melihat yang masalah bukan pada Paskibraka puterì yang berjilbab. Tapi yang masalah, mungkin sakit, adalah cara berpikir yang membuat aturan itu.

Saya kemudian selintas membaca di media jika pelarangan itu karena perlu “penyeragaman”. Alasan ini jelas tidak sehat dan (maaf) dungu. Kita adalah bangsa yang ragam dan mencintai keragaman. Bukan bangsa yang “seragam” dan harus “diseragamkan”.

Bukankah kita sering mendengar pujian kepada “Bhinneka Tunggal Ika”?

Karenanya sekali lagi, saya menilai perintah melepas jilbab itu adalah kedunguan, cara berpikir yang tidak sehat, bahkan bentuk kebencian dan pelecehan kepada agama (Islam). Lebih jauh hal ini bisa dicurigai sebagai bentuk pengkhianatan pada Pancasila dan NKRI. Dan lebih dungu lagi jika hal itu datangnya dari mereka yang harusnya pengawal nilai-nilai Pancasila di negeri ini.

Aneh memang, tapi nyata. Semakin lengkap daftar keanehan-keanehan di negara Indonesia tercinta! (*)