Preman Sebut Perintah Atasan, Polisi Harus Ungkap Dalang Penyerbuan Diskusi Diaspora
Presiden Joko Widodo di ujung masa jabatannya, serta Kapolri Listyo Sigit Prabowo, Kapolda Metro Jaya, harus ikut bertanggung jawab atas kejadian terhadap FTA ini, kita tidak sedang dalam negara kekuasaan (machtstaat).
Oleh: Juju Purwantoro, Aktivis UI-Watch
POLISI adalah profesi yang memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Seperti yang tercantum dalam asal 30 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyebutkan bahwa "Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat Negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum".
Sementara itu tugas pokok Kepolisian RI tercantum dalam "UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 13;
Tugas Pokok Kepolisian Negara adalah: a. "memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat".
Sedangkan konstitusi Pasal 28 UUD 1945 juga menegaskan bahwa "kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul" ditetapkan dengan undang-undang. Selain itu, "UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia" memberikan jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan berpendapat.
Norma hukum itu adalah bertolak belakang, bila kita kaitkan dengan Peristiwa memalukan dan memilukan yang terjadi pada tanggal 28 September 2028 di Ball Room Grand Kemang Hotel, Jakarta Selatan.
Sekelompok preman (bayaran) yang seluruhnya bermasker, tiba-tiba menyerbu ruangan tempat yang akan digunakan untuk berdiskusi. Gerombolan tersebut langsung mencabuti dan merusak atribut atau fasilitas diskusi yang sedianya diselenggarakan oleh Diaspora Forum Tanah Air (FTA) yang bermarkas di New York USA.
Kejadian itu juga didahului dengan insiden keributan kecil di depan hotel, antara pihak gerombolan dengan Satpam Hotel.
Sebagian tamu dan para tokoh nasional yang hadir tampak kaget dengan serbuan brutal dan tiba-tiba tersebut. Mereka tampak merusak dan membawa serta fasilitas terkait, di ruang diskusi. Walau acara diskusi belum dimulai, tapi gerombolan tersebut sambil berteriak-teriak memerintahkan acara diskusi dibubarkan.
Tampak aneh, aparat kepolisian di sekitar kejadian sepertinya membiarkan seolah tidak terjadi apa-apa. Pimpinan gerombolan juga sempat mengatakan kepada aparat kepolisian bahwa tindakannya adalah atas 'perintah atasan'.
Tentu kita bisa pahami siapakah yang dimaksud dengan perintah atasan tersebut. Lucunya lagi setelah kejadian penyerbuan, pimpinan gerombolan tampak akrab berangkulan dengan petugas Kepolisian.
Pihak kepolisian tampak melakukan pembiaran, seharusnya bisa mencegah sebagai upaya tindakan preventif. Sejak awal memang menjadi tugas kepolisian, untuk melarang gerombolan tersebut yang jelas terindikasi berbuat tidakan kriminal. Dihadapan kepolisian pula mereka mulai merangsek secara brutal ke ruang Forum diskusi tersebut.
Padahal Forum diskusi tersebut dihadiri oleh antara lain ; Tata Kesantra (Ketua FTA), Prof Dien Syamsuddin, Jenderal Purn Fahrur Rozi, Mayjen Purn Soenarko, Said Didu, Refly Harun, Marwan Batubara, Abraham Samad, Rizal Fadillah, dll.
Acara diskusi yang di-relay ke berbagai negara di lima benua itu, merupakan pelanggaran terhadap demokrasi, hukum dan HAM yang sungguh sangat mencoreng (memalukan) wibawa dan kedaulatan negara.
Adalah sangat kontroversial jika seorang Kapolsek Mampang Prapatan (Kompol Edy Purwanto mengatakan), tidak mengetahui adanya rencana kegiatan diskusi tersebut. Padahal setiap ada acara/kegiatan yang melibatkan publik (massa) maka pihak manajemen hotel harus menginformasikan ke pihak kepolisian setempat.
Persekusi (violence of law) oleh para gerombolan (preman ) perusuh yang berjumlah sekitar 30 orang tersebut harus dijerat dan ditindak dengan hukuman maksimal. Hal itu sesuai Pasal 170, 351 dan 406 KUHP tentang pengeroyokan, penganiayaan dan perusakan dengan ancaman penjara 7 tahun 6 bulan.
Sedangkan terhadap semua anggota kepolisian yang bertugas dan terindikasi (terlibat) kasus tersebut, haruslah dikenakan tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara RI sesusai PP No.2 tahun 2003.
Proses hukum (due process of law) dan penindakan hukum (law enforcement) haruslah dijalankan dan berlakukan kepada setiap orang yang terlibat tanpa pandang bulu.
Presiden Jokowi di ujung masa jabatannya, serta Kapolri Listyo Sigit Prabowo, Kapolda Metro Jaya, harus ikut bertanggung jawab atas kejadian terhadap FTA ini, kita tidak sedang dalam negara kekuasaan (machtstaat).
Walaupun sebagian besar pelaku pidana sudah tertangkap, terpenting kepolisian haruslah menyidik dan mengungkap sesuai Pasal 55 ayat (1) ke-1, siapa dalang (otak) yang menyuruh melakukan (doenplegen), yang melakukan (pleger) dan yang turut serta melakukan (medepleger), semua pihak yang telibat wajib diproses hukum. (*)