Ada Kesadaran Intelektual Plus Politik pada Salim Said
Saat ini ribuan buku akademik bermutu itu tersimpan rapi di UII, Salim Said Corner, Perpustakaan Pusat dan pasti bermanfaat secara akademis. Saya berharap para akdemisi senior yang pasti juga banyak sekali koleksinya meniru Salim Said.
Oleh: Didik J Rachbini, Ekonom dan Sahabat Salim Said
PERTAMA; Yang perlu dicatat dalam diri Salim Said adalah Kesadaran intelektual yang tinggi dan tekun dalam bidangnya: politik militer dan politik secara luas. Meskipun Salim Said dikenal sebagai penulis film dan menekuni dunia wartawan, tetapi kesadaran intelektualnya dalam bidang politik militer lebih bergelora di mana bidang perfileman sudah ditinggalkan atau setidaknya dikurangi ketika menekuni disertasi PhD dan sesudahnya.
Meskipun tidak ikut arus intelektual kekinian, demam scopus, tetapi seluruh pengetahuannya tentang politik militer sangat mendalam dan detail. Itu didapat dari gabungan atau blending antara riset kualitatif mendalam dengan wawancara investigatif – ciri dari gaya majalah Tempo.
Kedua; Adalah Kesadaran politiknya yang sangat kuat, terutama blending dengan kesadaran nasionalismenya. Seluruh analisanya terhadap politik Indonesia melatakkan posisi yang jelas ideologi yang berkembang sejak orde lama: kelompok kiri, nasionalis dan Islam.
Contoh terakhir diskusi pribadi dengan saya tentang Islam, yang tersambung dengan pemikiran Cak Nur (Nurcholis Majid), “islam yes partai islam no” di masa lalu. Menurutnya, pikiran Cak Nur itu adalah pembebasan terhadap warga muslim di Indonesia yang bebas dalam berpolitik tidak harus, wajib memilih partai Islam.
Dengan pemikiran Cak Nur tidak perlu golongan Islam yang satu mengkafirkan yang lain karena tidak memilih partai Islam. Sebab, tidak ada jaminan juga partai Islam bersih dari korupsi dan bisa memperjuangkan kesejahteraan, kebebasan dan demokrasi.
Ketiga; Catatan dari kesadaran intelektualnya terlihat dari ribuan buku yang menjadi harta paling berharga bagi dirinya. Saya datang ke lantai 2 rumahnya yang cukup luas, itu pun tidak mampu menampung buku-buku miliknya. Menurut Salim Said, buku-buku itu dikumpulkan puluhan tahun setiap perjalanan dan seminar-seminar ke luar negeri.
Suatu ketika pada akhir tahun 2022, Salim Said menelpon saya berbicara khusus mengenai buku-bukunya. “Saya sudah tua dan buku-buku ini tidak ada pewarisnya dan sejak saat ini saya perlu konsultasi dengan Didik agar buku ini aman, berguna dan manfaat untuk siapa saja.” Memang niat ini sudah disampaikan secara publik dan sudah diserahkan ke perpustakaan nasional sebagian tetapi tidak diteruskan karena digeletakkan begitu saja.
Sahabat saya, rektor UII Jogjakarta, Prof Fathul Wahid, juga menelpon saya tertarik untuk mendapatkan buku-buku tersebut, yang kemudian bertemu keduanya. Saya menjadi saksi serah terima dengan syarat ketat: ruangan khusus (karena memang banyak sekali 10 ribu buku), mudah dijangkau yang baca, ruang baca, dll. Saya juga ikut melihat proses pengiriman bertahap, ikut ke Jogja.
Keempat; Apa yang menarik? Pada usia hampir 80 tahun tersebut, Salim Said dengan kesadaran intelektualnya menyadari bahwa kumpulan buku-buku bacaannya yang berat adalah kekayaan pribadi sekaligus kekayaan intelektual yang berguna. Sebelum tiba waktu Tuhan menentukan nasibnya, kekayaan itu harus selamat.
Saat ini ribuan buku akademik bermutu itu tersimpan rapi di UII, Salim Said Corner, Perpustakaan Pusat dan pasti bermanfaat secara akademis. Saya berharap para akdemisi senior yang pasti juga banyak sekali koleksinya meniru Salim Said.
Saya sempat sedih warisan Mas Dawam (Prof Dawan Rahardjo) belum sempat terwariskan seperti ini. Universitas Paramadina mempunyai program ini di mana akademisi senior dapat mewariskan buku-bukunya untuk menjadi kekayaan universitas.
Kelima; Meskipun pendapatan terbatas, seorang intelektual sudah pasti mencintai buku dan banyak sekali koleksinya. Sudah setahun terakhir ini, sebagai contoh, ribuan koleksi buku Faisal Basri juga menghiasi dinding-dinding kantor lembaga think tank INDEF.
Salim Said kecewa dengan pensiun dubes yang sangat kecil, tidak manusiawi, berada si bawah gaji buruh kasar.
Sempat, berharap saya membantu untuk menjadi penasihat penasihat perusahaan media agar nilai jurnalisme di media itu ada bobotnya, sekaligus bisa menjadi tambahan membeli obat untuk komplikasi sakitnya.
Itulah perjalanan seorang maestro intelektual, yang saya pandang paling hebat, paling detail dan paling mendalam pengetahuannya tentang politik militer di Indonesia, bahkan juga negara lain. (*)