Anies Adalah Partner, Akankah Prabowo Terjebak Permainan Jokowi?
Lalu akankah Jokowi masih menjadi pertimbangan? Bagi PDIP kemungkinan tak ada sama sekali. Bagi PDIP, Jokowi itu adalah masa lalu dengan catatan kelam, sebagaimana catatan kelam Peristiwa Kudatuli, tak akan mudah dilupakan.
Oleh: Isa Ansori, Kolumnis, Akademisi, dan Pelaku Gerakan Reformasi 98, Tinggal di Surabaya
DINAMIKA Pilgub Jakarta semakin kuat, meski Jakarta tak lagi menjadi ibu kota negara (IKN), tapi posisi strategis Jakarta tak akan bisa terganti. Jakarta tetap akan menjadi pusat ekonomi dan pusat bisnis. Apalagi posisi IKN Nusantara yang belum tuntas, Jakarta akan semakin menjadi seksi.
Sejauh ini yang tampak keras terhadap Anies Baswedan adalah Joko Widodo dan PSI, menyusul kini Partai Demokrat, lalu akankah menyusul Gerindra? Sebagai “pemenang” pilpres 2024, tentu Gerindra mempunyai peran dan posisi strategis dalam pecaturan Pilgub Jakarta.
Kerasnya sikap Gerindra terhadap Anies, mengingatkan kita bagaimana kerasnya PDIP terhadap Anies, semasa PDIP masih bermesraan dengan Jokowi. Sehingga, muncul pertanyaan di benak publik, mengapa siapapun yang bersama Jokowi selalu akan memusuhi Anies.
Pernyataan Daniel Azhar Simanjuntak dalam sebuah debat di televisi yang mengatakan bahwa Anies sedang berburu jabatan itu menandakan sedang terjadi satu kecemasan dalam diri Daniel yang merepresentasikan partai Gerindra, dan ini akan sangat merugikan Prabowo Subianto dan Partai Gerindra.
Justru Adian Napitupulu, kader PDIP, yang mengingatkan Daniel bahwa pernyataan itu pernyataan yang tidak elok dan anti demokrasi. Ada bandul terbalik bahwa PDIP yang dulu masih dekat Jokowi bersikap keras terhadap Anies, kini sebaliknya setelah merasa dikhianati Jokowi.
Sebaliknya dulu Gerindra yang mati-matian membela Anies dan mendorong Anies maju pada Pilgub Jakarta, kini berbalik memusuhi ketika berada dalam bayang-bayang Jokowi. Hal yang sama juga terjadi pada Partai Demokrat. Sehingga bisa diduga faktor penyebab memusuhi Anies itu adalah Jokowi. Lalu ada apa antara Anies dengan Jokowi?
Sebagai orang yang pernah mendukung Jokowi, Anies adalah orang yang moderat dan demokratis. Ketika pertama kali maju sebagai capres, Anies adalah juru bicara Jokowi, dan bahkan pernah juga masuk kabinet Jokowi meski hanya sebentar.
Tentu bagi Anies dinamika dan pasang surut dalam hubungan politik adalah hal yang lumrah dan biasa. Apalagi Anies besar dan dididik di sebuah negara (Amerika Serikat) yang menjadi cikal bakal lahirnya demokrasi. Jauh sebelum Jokowi dikenal masyarakat Indonesia, Anies lebih dahulu dikenal, bahkan rekam jejak Anies sebagai aktivis dan anak kandung reformasi sangat jelas.
Bagi Anies Baswedan tidak ada kata musuh dalam politik, yang adalah kawan berpikir dan lawan dalam berkontestasi. Pertarungan ide dan gagasan dalam membangun masyarakat yang adil dan sejahtera adalah ruh dari demokrasi, sehingga pilihan boleh beda, tapi tujuan tetap sama dengan ruh yang sama, membangun masayarakat yang adil dan sejahtera.
Lalu akankah Prabowo terjebak dalam permainan itu? Sebagai seorang Prajurit dan Jenderal, tentu saja Prabowo dilatih untuk setia pada negara dan cermat dalam membaca informasi.
Bagi Prabowo, menyemai persatuan dan menyatukan kembali serpihan-serpihan konflik yang tersisa dalam pilpres harus bisa diselesaikan, dan itu terlihat dari upaya Prabowo merangkul semua kekuatan politik, tapi lagi-lagi faktor Jokowi yang menjadi penghambat.
Kemudian, akankah Prabowo memusuhi Anies dalam pilgub Jakarta dan mengikuti alur permainan Jokowi? sementara suara rakyat Jakarta berdasar survei-survei yang ada, masih menempatkan Anies di posisi teratas menjadi harapan.
Prabowo tentu akan berkalkulasi secara rasional, pilihannya mencarikan lawan untuk Anies atau membiarkan Anies melenggang di Jakarta. Bagi Prabowo yang terpenting adalah ketika dia menjadi kepala negara, maka Jakarta harus inline dengan kepemimpinannya, melengkapi apa yang menjadi visi dalam pemerintahan yang dia bangun.
Sehingga pertimbangan non demokrasi dan irrasional Jokowi tentu akan berpotensi diabaikan oleh Prabowo, apalagi paska dilantik sebagai kepala negara, Prabowo akan memegang kendali penuh pemerintahan, akankah Prabowo rela dikendalikan oleh Jokowi?
Dukungan Partai Nasdem, PKB, dan PKS serta kemungkinan PDIP terhadap Anies tentu akan jadi pertimbangan tersendiri bagi Prabowo, apalagi kalau kemudian Nasdem, PKB dan PKS memberi ruang kepada PDIP untuk mencalonkan kadernya menjadi Cawagub Anies, tentu ini akan menjadi kalkulasi Prabowo untuk menjadikan Jakarta sebagai patner pemerintahan.
Jakarta adalah kota rasional, yang agak susah bandul kekuasaan memaksakan kehendaknya sebagaimana yang terjadi pada pilpres yang lalu.
Jokowi dengan instrumen kekuasaan yang dipegangnya bisa dengan mudah menjalankan misinya, memenangkan Prabowo, dan mengalahkan pasangan Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar serta Ganjar Pranowo – Mahfud MD.
Rakyat Jakarta sudah merasakan masa kepemimpinan Anies, dan merasakan susahnya ketika Heru Budi Hartono kepanjangan tangan kekuasaan Jokowi yang ditunjuk sebagai Penjabat Gubernur DKI Jakarta. Sehingga tampaknya Jakarta akan sangat sulit dipisahkan dengan Anies Baswedan.
Meminjam pernyataan Adian Napitupulu, kader PDIP yang mengatakan bahwa efek Jokowi sangat kecil, yang ada adalah efek kekuasaan yang dipegangnya. Seandainya efek Jokowi itu besar, tentu PSI sudah bisa lolos ke parlemen.
PDIP akan tetap ada meski dikalahkan dalam pilpres, PDIP masih menguasai parlemen. Prabowo pasti akan butuh itu, sehingga sangat mungkin paska dilantiknya Prabowo dan lengsernya Jokowi, PDIP akan bertemu Gerindra.
Lalu akankah Jokowi masih menjadi pertimbangan? Bagi PDIP kemungkinan tak ada sama sekali. Bagi PDIP, Jokowi itu adalah masa lalu dengan catatan kelam, sebagaimana catatan kelam Peristiwa Kudatuli, tak akan mudah dilupakan.
Kalau sudah demikian, bisa diduga Prabowo akan menjadi dirinya sendiri dalam pemerintahan, yang akan membutuhkan dukungan penuh dari lawan-lawan politiknya, sehingga ruang komunikasi bakal dibuka lebar oleh Prabowo dalam menjalankan pemerintahannya.
Apakah ini berarti Prabowo akan meninggalkan Jokowi? Biarlah waktu yang akan membuktikan. (*)