Agro Maritim Indonesia, AMIN: Fiskal Maritim dan Kelautan – Perikanan untuk Unit Pengolahan Ikan (UPI)

Catatan debat kelima, sekaligus terakhir. UPI sangat bergantung pada nelayan. Maka, nelayan ini harus dibantu alat tangkap, kapal, BBM, Rumah, infrastruktur pelelangan, dan permodalan. Visi misi Pasangan AMIN komitmen tingkatkan fiskal maritim dan kelautan – perikanan untuk kesejahteraan dan keadilan bagi semua.

Oleh: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Gema Pelaut AMIN dan Front Nelayan Indonesia (FNI)

REZIM impor sekarang gagal melihat dan membaca kekuatan maritim Indonesia. Konsep Agro Maritim Indonesia (AMIN) Anies Baswedan bisa menjadi penyelamat seluruh sektor yang telah merugi, mangkrak dan mati.

Agro Maritim Indonesia (AMIN) merupakan konsep integrasi semua sektor. Sekaligus, distribusi hasil pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi dan pangan Indonesia.

Konsepnya lebih kepada ketersediaan dan distribusi hasil produksi industri olahan (manufaktur) seperti, hasil produksi perikanan, kelautan, peternakan, pertanian, lingkungan, teknologi, dan perkebunan yang dikoneksikan di seluruh pelabuhan Indonesia.

Sekarang ini, Industri Pengolahan Ikan (UPI) Indonesia yang mayoritas swakarya antar kelompok maupun koperasi nelayan, kini hadapi tantangan terberat. Sejak 2014 hingga saat ini, UPI terus berkurang jumlahnya. Bahkan, di Yogyakarta tahun 2018-2020 UPI berskala besar ambruk, merugi dan hancur.

Penyebab Unit Pengolahan Ikan (UPI) mati suri atau mandeg tidak bisa produksi, adalah: pertama, pelarangan alat tangkap ikan.

Pelarangan terjadi akibat dari ada doktrin lingkungan berlebihan dengan justifikasi pada alat tangkap yang merusak. Kedua, mahalnya harga BBM Solar dan tingginya Pungutan Hasil Perikanan (PHP), sehingga nelayan kurangi aktivitas melaut sehingga berdampak pada kurangnya pasokan bahan baku ikan hasil tangkapan nelayan.

Ketiga, naik turunnya harga ikan. Hal ini, terjadi karena pengusaha mayoritas menjalankan metode black market dalam proses pembelian dan penjualan ikan. Keempat, impor ikan sebagai bahan baku secara terus-menerus. Dampaknya, produksi tidak mencapai target sehingga mempengaruhi laba bersih keuntungan perusahaan UPI.

Kondisi ini menyebabkan Unit Pengolahan Ikan (UPI) itu merugi dan kapasitas produksi maupun volume penjualannya merosot. Lantas, upaya efisiensi dilakukan oleh produsen pengolahan ikan. Salah satunya dengan menaikkan harga jual produk ikan olahan sebagaimana hukum supply dan demand pada umumnya. Masalah tidak berhenti. Ironisnya ekspor komoditas hasil perikanan menurun dan pemerintah beralasan bahan baku bisa diimpor.

Ke depan, agromaritim Anies antitesa dari Poros Maritim Jokowi yang gagal lakukan relaksasi kebijakan. Agromaritim untuk antisipasi dampak negatif penurunan pasokan bahan baku ke UPI dengan pendekatan distribusi silang melalui pengaturan Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN).

Bagi Anies, konsep Agromaritim akan menyelesaikan kendala ketersediaan bahan baku dan beban berat biaya produksi pengolah ikan. Anies akan mengatur kebijakan khusus seluruh Unit Pengolahan Ikan (UPI) yang bergantung pada nelayan.

Belajar dari pengalaman Joko Widodo yang gagal menterjemahkan poros maritim (visinya sendiri). Karena, moratorium atau penghentian sementara penerbitan izin penggunaan kapal eks asing dan alat tangkap nelayan itu, membuat kalang kabut seluruh plasma inti industri olahan, baik berskala besar menengah maupun skala UMKM. Jokowi telah banyak membuat dunia kelautan – perikanan ambruk yang merugikan para pelaku usaha pengolahan perikanan.

Gema Pelaut AMIN pada siang (Rabu, 4/2/2024) di Tempat Pendaratan Ikan dan Udang Muara Baru dan Muara Angke, menyisir pedagang, supliyer, juragan, pengusaha ikan, pemilik Cold Storage, Istri Nelayan (rumah tangga), dan organisasi nelayan cumi-cumi.

Anies mengajak semua untuk melawan Jokowi dan capres boneka yang telah banyak merugikan sektor maritim dan kelautan – perikanan, termasuk Unit Pengolahan Ikan (UPI) yang selama ini merugi akibat kebijakan Jokowi tanpa relaksasi.

Gema Pelaut AMIN berjanji berjuang bersama, gotong royong dan tulus dengan air mata darah, bahwa perjuangan ini harus mampu memenangkan Pasangan AMIN pada pemilu 2024 untuk mengangkat derajat para nelayan, pengusaha, dan pedagang (supliyer) ikan berkelas UMKM.

Gema pelaut AMIN mengusulkan paket kebijakan untuk menaikkan derajat dan kemampuan dalam usaha, yakni pertama, memastikan keberlanjutan fiskal di tingkat pusat (10%) dan daerah (5%) di bidang kemaritiman guna meningkatkan kontribusi PDB sektor Kemaritiman (10%) dalam PDB nasional pada tahun 2029 melalui program Agro Maritim: Kelautan – Perikanan, Pertahanan – Keamanan, Industri (Manufaktur), Pertanian, Peternakan, Ruang Pesisir: Petani Garam, Petani Rumput Laut, dan Galangan Kapal.

Kedua, melaksanakan sinkronisasi dokumen dan kebijakan penataan ruang bidang Kemaritiman di tingkat pusat dan daerah secara berkelanjutan yang terintegrasi dengan dokumen dan kebijakan Perencanaan Pembangunan di tingkat pusat dan daerah, melalui mekanisme Public Hearing dengan seluruh stakeholders di Bidang Kemaritiman melalui penataan Sistem Logistik Ikan (Pangan) Nasional (SLIN) yang merata dan berkeadilan bagi daerah-daerah.

Ketiga, menjamin perlindungan dan keberpihakan hukum bagi masyarakat pesisir dan stakeholders lain di bidang kemaritiman di Indonesia melalui restorasi hukum maritim pada sektor Land Reform Agraria Maritim (Pesisir) pada Pulau – Pulau Kecil, Terdalam, Terluar dan Perubahan Sistem Penegakan Berantas IUUF Melalui Sistem Multi Rezim Humanistik.

Keempat, memberikan bantuan program kapal perikanan, alat tangkap, peralatan melaut, permodalan, menghidupkan kembali koperasi pesisir, kemudahan perizinan, memudahkan bisnis ibu rumah tangga nelayan, kemudahan produksi garam dan rumput laut, bantuan pembudidaya, dan penyusunan kebijakan (regulasi) dapat melibatkan stakeholders (asosiasi) sektor maritim di Kementerian/KL yang bersifat dialog dalam pelaksanaan Visi Misi AMIN bentuk kebijakan dan regulasi.

Usulan paket kebijakan tersebut, karena cukup banyak industri olahan perikanan tak lagi beroperasi. Maka kedepan, naiknya fiskal kelautan – perikanan pasti mendorong potensi produksi Unit Pengolahan Ikan (UPI) naik.

Front Nelayan Indonesia (2017 – 2024) telah melakukan riset jumlah Unit Pengolahan Ikan (UPI) dengan skala usaha menengah 2.600-an dan skala mikro kecil 10.380-an. Jumlah tenaga kerja capai 4,3 juta seluruh Indonesia. Pemerintahan Jokowi tak pernah memikirkan akan kerugian ribuan perusahaan Unit Pengolahan Ikan (UPI).

Padahal, produktifitas UPI capai hasil produksi dalam mengolah 2.000 ton ikan dengan rasio-pekerja sekitar 1.500 orang. Kalau pabrik harus lancar pasokan ikannya, di Bitung saja sudah berapa pabrik yang tutup. Pengusaha terpaksa menutup pabrik itu terjadi karena kekurangan bahan baku industri pengolahan ikan. Bahan baku itu adalah ikan jenis surimi.

Ikan yang berada di perairan dengan kedalaman 16 sampai 20 meter di bawah permukaan laut dengan jarak antara 8 sampai 12 mil dari pantai. Untuk menangkap ikan tersebut bisa andalkan kapal nelayan. Tentu, melalui modernisasi alat tangkap dan perbesar Gross Ton Kapal.

Maka, visi misi Anies – Muhaimin yang membuat nelayan kepincut mendukungnya yakni pengadaan kapal nelayan berukuran 30 Gross Ton ke atas disertai alat tangkap lengkap maupun peralatan melautnya. Karena itu komitmen Anies – Muhaimin dalam hidupkan nelayan dan jamin ketersediaan bahan baku UPI.

Rezim Jokowi telah mematikan UPI-UPI di Indonesia,.larangan penggunaan alat penangkap ikan merugikan industri surimi yang selama ini berkembang pesat. Surimi yang merupakan bahan pangan olahan daging ikan yang dihaluskan hingga membentuk seperti pasta.

Anies – Muhaimin dalam visi Agro Maritim-nya meningkatkan Pertambahan nilai ekspor dari industri UPI yang mencapai 200 juta dollar AS/tahun. Dengan larangan alat tangkap, Indonesia kehilangan potensi penjualan nilai ekspor manufaktur sebesar itu.

Industri UPI andalkan bahan baku dari ikan yang ditangkap oleh nelayan untuk diolah yang dikemas dalam plastik dengan keadaan beku sebelum dilelehkan dan diolah menjadi makanan.

Nelayan merupakan penentu berlangsungnya Unit Pengolahan Ikan (UPI) yang menyerap hasil tangkapan ikan nelayan sekitar 70% untuk pangsa ekspor. Kedepan, manufaktur atau hasil olahan UPI untuk ekspor harus kembali menggeliat dan berkembang. Data rotal produksi UPI di Bitung capai 25.778 ton, tumbuh sekitar 18 persen.

Potensi ekspor manufaktur ini, tidak dilihat oleh rezim Jokowi sebagai faktor pertumbuhan ekonomi. Rezim ini hanya menyandera perusahaan UPI berskala menengah dan kecil sehingga berkurang produktivitas utilisasinya.

Kedepan, Anies Baswedan dengan kebijakan Agro Maritim akan merubah pola manajemen pasokan bahan baku Unit Pengolahan Ikan (UPI) sehingga bisa meningkat. (*)