Anies Tidak Melawan Untuk Cegah Jatuh Korban Seperti 2019
Ada masa perjuangan di mana jiwa raga kita dipertaruhkan. Tapi ini adalah sebuah perdebatan yang dibuat di dalam MK. Majelis hakim dengan tim hukum dan dorongan dari publik agar mengawasi MK untuk minta adil. Tekanannya di situ. Tapi ada batasnya.
Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Freedom News
MENGAPA Anies Baswedan tidak melawan pasca Putusan MK yang kemudian disusul Penetapan KPU yang menyatakan, Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka sebagai paslon Presiden – Wapres Terpilih pada Pilpres, 14 Februari 2024, lalu.
Judul di atas adalah jawabannya, “Anies Tidak Melawan Untuk Cegah Jatuh Korban Seperti 2019”. Anies tahu persis bagaimana situasi dan kondisinya saat itu pasca MK akhirnya menetapkan Joko Widodo – Ma’ruf Amin sebagai Presiden – Wapres Terpilih setelah gugatan Prabowo Subianto – Sandiaga Uno dinyatakan “tidak terbukti” oleh MK.
Prabowo menggugat keputusan KPU yang sebelumnya merasa “dicurangi” dalam Pilpres 2019 oleh Jokowi sehingga akhirnya menggugatnya melalui MK. Tapi, meski sejumlah bukti kecurangan dan C1 dibawa ke MK, tetap saja MK menyatakan kecurangan itu “tidak terbukti”.
“Mas Anies, Mas Muhaimin, saya pernah ada di posisi Anda,” ucap Prabowo ketika ditetapkan KPU setelah MK menolak gugatan Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar. Artinya, ini sama saja dengan Prabowo sebenarnya tahu bahwa Anies telah dicurangi seperti Prabowo pada Pilpres 2019.
Namun, Anies tidak melakukan perlawanan lebih lanjut, meski “dikalahkan” MK, seperti yang terjadi pada Pilpres 2019. Saat itu, ada tekanan politik agar rakyat dan Relawan Prabowo melakukan suatu perlawanan dengan unjuk rasa atas putusan MK yang “mengalahkan” Prabowo. Sehingga, akhirnya menimbulkan korban akibat bentrok dengan aparat.
Anies memutuskan untuk tidak melakukan “protes” seperti yang terjadi pasca Pilpres 2019 karena ia tak mau ada jatuh korban dari rakyat dan relawan pendukungnya. Itulah yang diungkap Anies ketika diwawancarai dalam sebuah podcast yang beredar.
Berikut kutipan penuturan Anies dalam kanal Hendri Official.
Anies Baswedan mengungkap, tentu jika kemudian ada tekanan politik berbondong-bondong lalu kita ke sana (MK). Mari kita berbondong-bondong ke sana. “Tapi saya punya pengalaman di 2019. Ketika saya mimpin di Jakarta, mengelola kota yang banyak orang-orang kena luka tembak. Saya datang ke rumah sakit di 2019,” ujarnya.
Saya datang ke kamar-kamar operasi. Karena saya sebagai gubernur ke rumah-rumah sakit yang saya kelola. Semasa itulah, tapi dalam krisis ini hasil yang rakyat terlibat, pasca Pilpres 2019. Apa yang terjadi, saya lihat tubuh-tubuh yang kena luka tembak yang sudah meninggal.
Anak-anak, ada bekasnya. Bahkan, sisa peluruhnya ada di dalam, saya lihat di situ saya ketemu orang tuanya, saya datangi rumahnya. Saya ke rumahnya di Glodok sekitar jembatan.
Ketika saya tiba di tempat duka, ratusan pengemudi ojek itu sudah berada di depan situ. Karena, ayahnya itu pengemudi ojek. Suasananya itu sedih dan marah. Saya datang ketemu orang tuanya, kemudian saya ikut angkat jenazahnya. Dan saya bicara di depan semuanya.
Ini ada korban, kita jangan tambah korban lagi. Hari ini kalau kita melakukan apa, akan menambah korban. Saya memilih hadir, karena negara harus hadir dalam situasi krisis seperti ini.
Dan pada saat itu tidak ada pejabat manapun yang muncul di lapangan. Saya memilih hadir, saya datang ke tiap rumah sakit. Saya datang ke rumah yang kehilangan anggota keluarganya. Dan kita urus semua orang yang menjadi korban atas biaya DKI Jakarta.
Saya membuat peraturan gubernur bahwa kalau ada korban karena demonstrasi, karena konflik terkait dengan politik, maka Dinas Kesehatan diberikan mandat agar mengeluarkan biaya untuk membiayainya, walaupun dia KTP-nya bukan Jakarta.
Kenapa, ya karena kita di Ibukota. ya kita uruslah warga negara Indonesia yang jatuh sakit di sini. Terus apa hubungannya denga KTP Jakarta, la wong dia rakyat Indonesia koq. Apa urusannya, ya kalau dia celaka, luka, ya kita biayai. Itu ratusan. Yang meninggal, saya lupa jumlahnya. Kita datangi rumahnya, dan ada juga jenazah yag tidak ketemu rumahnya berhari-hari.
Saya masih ingat namanya, Mas Husein. Tidak ada KTP kita nggak tahu carinya ke mana. Sampai kita perintahkan saat itu RT/RW cari keluarganya yang belum pulang. Akhirnya ketemu.
Saya datangi. Bayangkan saya ketemu dengan ibunya, ayahnya yang tidak pernah membayangkan mereka akan menguburkan anaknya. Gak pernah membayangkan. Dan, menguburkan anaknya karena konflik pilpres.
Ratusan orang yang cedera dan yang saya datangi rumah sakit itu datang dari berbagai wilayah. Karena konflik pilpres. Saya datangi mengangkat jenazahnya karena konflik pilpres.
Lima tahun kemudian, Allah takdirkan saya menjadi calon, dan ketika terjadi peristiwa ini langsung saya bilang, ini kalau saya melakukan itu semua yang jadi korban itu rakyat kecil. Yang petinggi-petingginya nggak akan merasakan.
Saya sendiri nggak akan merasakan tuh pelurunya. Nggak akan merasakan konflik-konfliknya. Yang merasakan itu pasukan, teman-teman kita yang di bawah.
Yang penuh dengan semangat karena itu jaga tetap bersemangat, tetap menekan MK untuk berlaku adil, menekan MK untuk berani tapi ada batasnya. Jangan agitasi yang membuat ini menjadi konflik-konflik terbuka.
Jadi, saya bersyukur ini semua selesai, nol (0). Tidak ada penguburan karena konflik putusan hasil MK. Tidak ada penguburan karena hasil KPU. Bagi saya, setiap nyawa itu bernyawa. Setiap nyawa itu harus dilindungi. Dan, jangan sampai jadikan korban.
Ada masa perjuangan di mana jiwa raga kita dipertaruhkan. Tapi ini adalah sebuah perdebatan yang dibuat di dalam MK. Majelis hakim dengan tim hukum dan dorongan dari publik agar mengawasi MK untuk minta adil. Tekanannya di situ. Tapi ada batasnya.
Jika tidak, seperti yang saya rasakan dulu dan pengalaman mengelola mereka semua yang menjadi korban/ Itu saya merasakan betul mereka juga ujungnya tidak mendapatkan perhatian yang cukup. Kehilangan anak itu nggak pernah bisa diganti dengan santunan sebesar apapun yang disampaikan dengan sesantun apapun nggak bisa. Begitu yang saya rasakan sekarang.
Jadi, ketika menghadapi ini saya ingin menunjukkan bahwa di dalam demokrasi itu ada kompetisi. Ada penyimpangan-penyimpangan, itu tidak boleh kita lupakan. Nggak boleh, itu harus dikoreksi. Bahkan kemarin ketika KPU bersidang penetapan hasil, saya memilih hadir. Sambil saya katakan, semua yang menjadi permasalahan harus dikoreksi.
Tapi kita hormati hasilnya. Jangan sampai nggak dihormati hasilnya. Putusan MK harus dihormati. Rusak tatanan bernegara kita. Jadi, pengalaman di posisi yang bergonta-ganti itu membuat saya seperti ini ketika pasca 20 Maret 2024. (*)