Tamsil Linrung, Legenda Hidup Aktivis 1980-an
Tema paling mengemuka adalah soal Pancasila yang coba dipaksakan oleh rezim Orde Baru menjadi asas tunggal. Semua organisasi yang ada di republik ini kala itu, tanpa kecuali, harus menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi, sehingga disebut asas tunggal.
Oleh: Yarifai Mappeaty, Kolumnis, Pemerhati Masalah Sosial Politik, Tinggal di Makassar
USAI perhelatan jalan sehat pasangan Capres – Cawapres, Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar (AMIN) di Makassar pada September 2023 Lalu, yang menghadirkan massa hingga satu juta orang, sosok Tamsil Linrung kembali mencuat dan menjadi bahan percakapan seantero Sulawesi Selatan (Sulsel). Maklum, Tamsil, begitu ia disapa, adalah Ketua Panitia perhelatan itu.
Siapa Tamsil Linrung? Bagi generasi Z, bahkan juga generasi milenial, mungkin hanya mengenal Tamsil sebagai politisi. Tapi tidak banyak di antara mereka yang tahu kalau senator dari Sulsel itu, adalah salah satu legenda hidup aktivis mahasiswa pada era 1980-an.
Semasa kuliah di IKIP Ujung Pandang (kini, Universitas Negeri Makassar, UNM), 1980 – 1984, Tamsil terbilang aktivis mahasiswa yang mumpuni dengan seabreg jabatan pada kelembagaan mahasiswa, pernah disandangnya. Antara lain; Ketua Senat Mahasiswa FPIPS; Pemimpin Redaksi Warta Kampus IKIP, Analisis; dan Pemimpin Umum Tabloid Program.
Di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Tamsil pernah menjabat Sekretaris Umum HMI Cabang Ujung Pandang, 1983 – 1984; Ketua Umum Lembaga Da’wah Mahasiswa Islam (LDMI) Cabang Ujung Pandang; dan pernah menjabat Ketua Umum PB HMI-MPO (Majelis Penyelamat Organisasi), 1988 – 1990.
Tetapi di HMI-MPO inilah tampaknya Tamsil menemukan momentumnya, sekaligus sebagai titik tolak perjalanan karirnya sebagai politisi. Ia bahkan tak bisa dilepaskan dari realitas dualisme kepemimpinan di tubuh HMI pasca Kongres ke-16 di Padang 1986. Yaitu, HMI-MPO dan HMI yang berkantor di Jalan Diponegoro Menteng Jakarta Pusat, yang lantas disebut sebagai HMI Dipo.
HMI-MPO yang muncul kemudian, adalah buah dari pergumulan sejumlah aktivis HMI di dalam menentang otoritarianisme rezim Orde Baru, yang hendak menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Tamsil Linrung termasuk di dalamnya. Lantaran itu, tidak salah jika HMI-MPO disebut sebagai HMI yang tak pernah tunduk pada rezim Soeharto.
Juga, sebagai eks-aktivis mahasiswa, tak berlebihan jika Tamsil disebut sebagai legenda hidup. Sebab, namanya memang melegenda sejak dari zamannya. Saya masih ingat saat pertama kali mendengar namanya disebut-sebut pada penghujung 1985.
Ketika itu, penulis baru semester satu di Universitas Hasanuddin (Unhas) Ujung Pandang. Meski masih mahasiswa baru, tetapi penulis sudah ikut menyimak senior-senior HMI berdiskusi, tepatnya berdebat.
Tema paling mengemuka adalah soal Pancasila yang coba dipaksakan oleh rezim Orde Baru menjadi asas tunggal. Semua organisasi yang ada di republik ini kala itu, tanpa kecuali, harus menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi, sehingga disebut asas tunggal.
Jelang Kongres HMI ke-16 di Padang yang digelar pada Maret 1986, tensi perdebatan di kalangan HMI makin tajam, menyebabkan terjadinya pro dan kontra yang tak bisa dielakkan. Perbedaan itu coba didamaikan saat memperingati Milad HMI ke-37 pada Pebruari, 1986, di Jakarta, namun tak membuahkan hasil.
Sebaliknya, sejumlah aktivis HMI malah mencurigai PB HMI telah terkooptasi oleh rezim Orba. Pada situasi itu, Eggy Sudjana, Tamsil Linrung, dan lainnya, pun kemudian berinisiatif membentuk Majelis Penyelamat Organisasi (MPO), sebagai langkah antisipasi jikalau Kongres HMI di Padang, benar-benar memutuskan menerima asas tunggal.
Benar saja. Usai kongres Padang menerima asas tunggal, Tamsil Linrung dan kawan-kawan, juga menggelar kongres di Yogyakarta untuk menolak asas tunggal. HMI terbelah dua. Yang menerima asas tunggal disebut HMI Dipo, dan yang menolak, mula-mula menyebut diri HMI Kebangsaan. Tapi sebutan yang melekat dan terwariskan hingga kini, adalah HMI-MPO.
Tamsil Linrung pun semakin berkibar semenjak itu, dan namanya makin sering disebut. Terlebih setelah ia terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI-MPO periode 1988 – 1990, menggantikan Eggy Sudjana. Dan, posisi ketua umum itu lantas dimanfaatkan oleh Tamsil untuk menyemai bibit-bibit perlawanan terhadap Soeharto secara intensif, melalui pergerakan bawah tanah.
Di samping itu, Tamsil juga menyadari bahwa semangat perlawanan terhadap rezim Orde Baru dan misi menumbangkan Soeharto, tidak boleh padam. Namun, harus tetap dirawat dengan aksi-aksi demonstrasi. Hal itu mendorong HMI-MPO di masa Tamsil menggagas pembentukan organisasi aksi di berbagai daerah.
Tak lama setelah era Tamsil di HMI-MPO, muncul Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta (LMMY) dan Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta (FKMIJ) pada awal dekade 1990-an. Aksi-aksi gerakan mahasiswa yang terjadi sepanjang dekade tersebut, baik di Yogyakarta maupun di Jakarta, hingga tumbangnya Soeharto pada 1998, tidak lepas dari peran kedua organisasi itu.
Bibit-bibit perlawanan yang disemai Tamsil di penghujung dekade 1980-an, terbukti tidak sia-sia dengan tumbangnya Soeharto. Bahkan jejaknya, kini, masih dapat ditemukan pada sosok brilian bernama Anies Baswedan, Capres Republik Indonesia untuk Pemilu 2024. (*)