Teater Nepotisme dalam Alam Demokrasi

Saat ini tugas kita bersama adalah menggalang sebuah gerakan moral dan praktis untuk dapat menghambat laju maraknya teater nepotisme, yang bukan tidak mungkin akan semakin menguat jika kita semua berdiam diri.

Oleh: Firman Noor, Guru Besar, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

KENYATAAN lunturnya penghormatan terhadap nilai-nilai demokrasi oleh para pemimpin di negara-negara demokrasi demi mempertahankan kekuasaannya diyakini merupakan alasan utama bagi kemunduran atau bahkan kematian demokrasi. Demikian peringatan keras yang disampaikan oleh dua ilmuwan politik Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018).

Kedua Professor Harvard itu meyakini kematian demokrasi dewasa ini bukan karena kekerasan atau kudeta militer, tapi lebih disebabkan pelemahan institusi-institusi demokrasi termasuk media massa dan lembaga peradilan yang berjalan perlahan tapi pasti.

Dari banyak kasus kematian demokrasi itu, juga ditandai dengan kegagalan dalam pemeliharannya. Menurut catatan Rick Shenkman, mengutip pandangan Shawn Rosenberg seorang profesor dari University California Irvine demokrasi membutuhkan kerja keras (hard work) semua pihak. Di mana kerja keras itu terutama ditujukan untuk memelihara kewajaran demokrasi yang menyaratkan “thoughtfulness, discipline and logic” (2019).

Dengan demikian demokrasi selain membutuhkan kesadaran mempertahankan nilai-nilainya secara disiplin, juga membutuhkan kemampuan mempertahankan logika atau rasionalitas.

Hal ini agar pada akhirnya terpeliharalah sebuah demokrasi yang tidak melulu bicara soal hak untuk dipilih dan memilih, melainkan demokrasi yang secara logis dapat menjaga mutu sebuah praktik kekuasaan yang pada gilirannya dapat melindungi dan menyantuni hakekat kedaulatan rakyat, persamaan dan kebebasan.

Tanpa disiplin dan logika itu, demokrasi bisa salah pilih dan menjadi ajang adu kepandiran, yang membahayakan demokrasi itu sendiri.

Karena hakekat kerja keras dan rasionalitas itu, demokrasi memang bukan sebuah sistem yang mudah dilakukan. Demokrasi, menurut Rosenberg, pada akhirnya miliki komunitas cemerlang yang dapat menjaga demokrasi itu tetap masuk akal dan bukannya kehilangan logika.

Logika dan Etika Demokrasi

Jika kita telaah ke belakang, pembelaan John Locke terhadap demokrasi juga berangkat dari keyakinannya pada rasionalitas manusia, yang akan membawa pada sebuah keadaban yang menyelamatkan perikehidupan manusia itu sendiri. Locke mendebat keras Sir Robert Filmer, seorang filsuf terkenal di masanya, yang membela hak-hak berkuasa atas dasar keturunan, yang menurut Locke sama sekali tidak logis karena pada akhirnya akan mengungkung kebebasan manusia.

Karena syarat rasionalitas itu pula, tidak sedikit negara yang gagal mempraktikan demokrasi yang sesungguhnya. Kenyataannya dalam enam tahun belakangan ini banyak negara yang skor demokrasinya hingga kini rendah atau semakin rendah (IDEA 2023), karena secara mendasar rasionalitas atau akal sehat tidak dilibatkan secara sungguh-sungguh di dalamnya.

Selain mengedepankan logika dan rasionalitas, sebentuk demokrasi ideal juga berangkat dari etika yang kuat. Yakni demokrasi yang menghayati sebuah penghargaan terhadap kepantasan berupa kapabilitas berkuasa dan kematangan atau kedewasaan berpolitik.

Etika inilah yang menyelamatkan demokrasi di negara-negara demokrasi yang stabil selama ratusan tahun. Para penguasa di negara-negara tersebut tidak terjebak untuk menyodorkan siapapun yang tidak cakap untuk kerja-kerja pengelolaan pemerintahan dan demokrasi yang rumit dan kompleks itu.

Demokrasi di Amerika Serikat (AS) konon dapat bertahan, karena kepatuhan atas nilai-nilai demokrasi. AS termasuk negara demokrasi yang “kadar nepotisme”-nya rendah, meskipun melahirkan beberapa dinasti politik, seperti Kennedy, Roosevelt hingga Bush. Dinasti politik menurut Stephen Hess (2000) telah menjadi semacam tradisi di AS, namun kelahiran dan praktiknya tidak didasarkan pada spirit nepotisme.

Begitu juga di negara-negara lain yang kuat tradisi demokrasinya, tidak pernah tercatat dalam sejarah mereka seorang penguasa, sekaliber pemimpin dunia sekalipun, yang mengupayakan keturunannya untuk dapat segera melanjutkan kekuasaannya.

Kehilangan Makna

Dengan demikian tanpa keduanya, kecukupan logika dan etika, demokrasi berpotensi tereduksi menjadi sebuah aktifitas politik sekedar menyodorkan nama untuk kemudian dipilih secara beramai-ramai.

Hitler ataupun Mussolini keduanya merupakan contoh ekstrim produk demokrasi (Lilleslatten 2020) yang nirlogika dan niretika, yang pada akhirnya menjadikan demokrasi kehilangan makna bahkan tercerabut nyawanya. Keduanya memiliki kemampuan propaganda ulung selain tentu saja menjual fanatisme buta untuk membenarkan keberadaan mereka.

Sejarah memang sejak lama menunjukan bagaimana demokrasi diatasnamakan untuk mempraktikan praktik non-demokratik.

Salah satunya adalah praktik nepotisme, yang umum terjadi di negara-negara demokratis, khususnya yang kualitas demokrasinya lemah atau mengalami penurunan (down turn). Sayangnya juga tengah marak kembali di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini.

Teater Nepotisme

Saat ini kita menjadi saksi bagi pagelaran teater nepotisme yang telanjang dan apa adanya. Hakekat nepotisme adalah manuver politik yang mendahulukan kepentingan atau keberadaan keluarga, ketimbang logika dan etika demokrasi dalam menentukan pilihan-pilihan politik.

Nepotisme yang berasal dari kata nepote atau nephew dalam bahasa Inggris yang berarti kemenakan itu saat ini semakin terasakan menjalar kemana-mana.

Tidak saja di level politik nasional namun juga di level lokal. Tidak jarang kita menyaksikan bagaimana seorang ayah (orang tua) atau paman menjadi sumber atu proxy kekuasaan yang utama bagi ikhtiar seorang anak atau kemenakan menuju kekuasaan, termasuk dalam ajang pilkada. Indonesia hari ini menjadi negara yang semakin memberikan banyak contoh ketika menjelaskan kasus dari nepotisme.

Kenyataan ini jelas merupakan sebuah paradoks yang menyedihkan, karena hakekat berdirinya Era Reformasi adalah justru berawal dari logika dan etika demokrasi untuk memberangus nepotisme hingga ke akar-akarnya, selain korupsi dan kolusi.

Bahaya yang segera menunggu dari keberadaan teater nepotisme ini adalah akan menjadi “pagelaran pembuka” atau pintu masuk bagi pelanggaran demi pelanggaran logika dan etika demokrasi yang lebih luas lagi.

Saat ini tugas kita bersama adalah menggalang sebuah gerakan moral dan praktis untuk dapat menghambat laju maraknya teater nepotisme, yang bukan tidak mungkin akan semakin menguat jika kita semua berdiam diri.

Dan mengingat bahwa terdapat korelasi antara menurunnya kualitas demokrasi – yang ditandai dengan semakin sumirnya logika dan etika demokrasi – dengan maraknya nepotisme, maka penguatan demokrasi dalam segenap aspeknya merupakan sebuah keharusan.

Demokrasi bukan sesuatu yang terjadi sekali untuk selamanya dan kegagalan kita berjuang dan bekerja keras untuk menjaganya akan menyebabkan semakin maraknya pagelaran dari teater nepotisme di masa-masa yang akan datang. (*)