Belajar dari Anies Baswedan: Filosofistoic dalam Kepemimpinan dan Warisan Nilai Keluarga
Anies Baswedan adalah gambaran pemimpin yang tidak hanya kuat dalam tindakan, tapi juga kokoh dalam jiwa. Ia adalah pelajaran hidup bagi kita semua – bahwa di tengah tekanan hidup yang berat, tetap ada ruang untuk kebijaksanaan dan ketenangan.
Oleh: M. Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Wakil Ketua ICMI Jatim, Tinggal di Surabaya
FILOSOFISTOIC atau lebih dikenal sebagai Stoisisme adalah aliran filsafat Yunani kuno yang didirikan oleh Zeno dari Citium sekitar abad ke-3 SM. Stoisisme berfokus pada pengembangan kebijaksanaan, pengendalian diri, dan kebahagiaan melalui pemahaman akan hukum alam dan hidup selaras dengannya.
Filosofi ini menekankan pentingnya menerima apa yang tidak dapat diubah (amor fati) dan berfokus pada apa yang dapat kita kendalikan, yaitu pikiran, emosi, dan tindakan kita sendiri.
Dalam perjalanan hidup manusia, ada sosok-sosok yang mampu menjadi cerminan kebijaksanaan di tengah badai. Anies Baswedan adalah salah satunya. Sejak menjabat sebagai Gubernur Jakarta (2017–2022), ia menghadapi serangan yang nyaris tanpa henti.
Namun, ia menjawab semua itu dengan sikap tenang, cermat, dan penuh keyakinan. Filosofistoic – gaya hidup yang berakar pada kebijaksanaan dan ketenangan ala filsafat stoik – adalah kekuatan batinnya yang membedakan.
Sikap santun, tenang, dan penuh empati yang menjadi ciri khas Anies ini tentu tidak muncul begitu saja. Semua itu adalah hasil dari pengasuhan keluarga yang menanamkan nilai-nilai luhur sejak dini. Anies tumbuh dalam lingkungan yang mengajarkan bahwa kekuatan sejati ada pada kebijaksanaan, bahwa ketenangan adalah senjata paling ampuh dalam menghadapi gejolak hidup.
Pendidikan keluarga itulah yang membentuk integritas Anies dalam bersikap dan menjadikannya sosok yang bernilai, bukan hanya sebagai pemimpin, tapi juga sebagai manusia yang bermartabat.
Bayangkan tekanan yang ia hadapi: Formula E, sebuah ajang balap internasional yang sukses, dicari-cari celahnya hingga ia dituduh melakukan tindak pidana korupsi dan diperiksa oleh KPK. Namun, tak satu pun tuduhan itu terbukti.
Stadion Jakarta International Stadium (JIS), mahakarya kebanggaan anak bangsa, justru malah direndahkan dan diabaikan kontribusinya oleh lawan politiknya. Bahkan, upaya Anies untuk maju kembali di Pilkada Jakarta digagalkan oleh kekuatan politik besar yang berusaha menjegalnya.
Namun, apakah Anies meradang? Tidak. Apakah ia menyerang balik? Sama sekali tidak. Ia memilih diam dalam ketenangan, serta menunggu badai berlalu sambil tetap menjalankan tugasnya dengan sepenuh hati.
Ketenangan ini tidak hanya lahir dari filosofi kepemimpinan, tetapi juga dari keyakinannya bahwa setiap kebijakan yang ia buat berpihak pada mereka yang paling membutuhkan. Saat memimpin Jakarta, Anies berkali-kali menunjukkan keberpihakannya pada rakyat kecil.
Dari program hunian DP nol rupiah hingga reformasi sistem transportasi, ia tak gentar dengan kritik karena baginya, keadilan adalah prioritas. Serangan terhadap kebijakannya tidak menggoyahkan keyakinannya, sebab ia tahu bahwa apa yang ia lakukan sudah tepat untuk orang-orang kecil yang selama ini terpinggirkan.
Bahkan ketika ia akhirnya mendukung pasangan Pramono Anung – Rano Karno dari PDIP – partai yang sebelumnya kerap memperlakukannya dengan dingin – Anies tetap memegang prinsip santun. Anies tidak menggugat sejarah perlakuan buruk yang pernah ia terima. Sebaliknya, ia menunjukkan bagaimana seorang pemimpin seharusnya bertindak: penuh ketenangan, tidak reaktif, dan selalu memandang jauh ke depan.
Ketenangan Anies mengajarkan pada kita bahwa kekuatan sejati bukanlah pada suara yang lantang atau serangan yang keras, melainkan pada kemampuan menjaga akal sehat dan martabat di tengah serangan.
Anies tak pernah memusuhi mereka yang memusuhinya, tidak pula melukai mereka yang mencoba menjatuhkannya. Ia memeluk badai dengan kebijaksanaan dan keyakinan bahwa kebenaran, pada akhirnya, akan berbicara dengan caranya sendiri.
Anies Baswedan adalah gambaran pemimpin yang tidak hanya kuat dalam tindakan, tapi juga kokoh dalam jiwa. Ia adalah pelajaran hidup bagi kita semua – bahwa di tengah tekanan hidup yang berat, tetap ada ruang untuk kebijaksanaan dan ketenangan.
Dalam diamnya, ada kekuatan. Dalam tindakannya, ada ketulusan. Dan dalam perjalanan hidupnya, ada teladan yang patut kita renungkan.
Pemimpin sejati bukan mereka yang menang dengan cara meruntuhkan lawan, tetapi mereka yang tetap berdiri teguh tanpa pernah kehilangan kemanusiaan. Itulah Anies Baswedan – buah didikan keluarga yang menjadikannya simbol integritas, keadilan, dan kepemimpinan yang bernilai. (*)