Belajarlah Strategi Perang Urat Syaraf dan Teror pada Habib Rizieq Shihab

Tragis: alasan bahwa dalam ruangan yang sedang berdiskusi semua intelektual, ulama, atau orang- orang terhormat maka ketika terjadi serangan dengan kekerasan tabu untuk melawan menghentikan semua kekerasan dengan pemaksaan.

Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih

KETIKA terjadi perang teror antisipasi minimal adalah memahami, menguasai, memperdayai cara kerja pikiran lawan. Berlatihlah membaca, menangkap sinyal yang dikirim oleh lawan dengan mengamati mengenali informasi yang mereka kirim.

Kita mesti harus bisa mengenali dan bisa berpikir cara mereka berpikir bukan cara kita berpikir, untuk menemukan kelemahan psikologi lawan, untuk menggangu dan melawan pikiran dan teror lawan.

Ketika kita disergap saat sedang melakukan pertemuan (diskusi) dengan kekerasan pengrusakan dan penghentian paksa kegiatan tersebut. Kita harus berpikir cerdik, tidak mudah meyakini segala tampak di luar nalar.

Bukan malah ribut pada kejadian fisiknya, mengabaikan bahwa kejadian itu ada pancingan yang sering kita kenali sebagai tes ombak dan mereka pasti menyembunyikan tipu muslihatnya dan akan terus melakukan teror dan ancaman.

Sebuah sergapan tampak dengan jelas aparat keamanan terlibat dalam skenario melindungi dan melakukan pembiaran tenaga bayaran datang dengan bebas melakukan anarkis. Datang dan pergi dengan aman tanpa ada gangguan dan halangan dari aparat keamanan.

Pada saat yang sama kita berpikir linear dengan melaporkan dan menyerahkan kasusnya kepada aparat keamanan bukan dengan cara mereka yang licik penuh tipuan. Mereka justru melakukan dengan hukum rimba, kalau perlu membunuh (ingat kasus KM 50).

Kita mesti harus belajar cara mereka berpikir dan bersiasat ketika seorang penguasa yang sudah harus berakhir dan tidak memiliki lagi kekuatan, ia masih melawan dengan menggunakan tenaga bayaran.

Keadaan yang tidak normal jangan diatasi dengan cara normal. Semestinya ketika mereka datang terang-terangan melakukan kekerasan sebenarnya hanya ada satu cara saat itu juga balas mereka dengan cara yang lebih keras.

Imam Besar Habib Rizieq Shihab (HRS) memiliki strategi sangat jitu, ketika datang ancaman akan ada demo 20.000 orang berani mati langsung direspon:

Ia mempersilakan pasukan berani mati (PBM) melakukan demo, berorasi, atau pun berteriak untuk menyampaikan pendapat. “Tapi jangan coba-coba bikin rusuh di Jakarta, jangan coba-coba bakar-bakar halte saudara, jangan coba-coba bakar-bakar pom bensin saudara, jangan coba-coba bikin kerusuhan."

Jika itu terjadi, Habib Rizieq berpesan agar umat Islam waspada. "Saya minta dari malam hari ini, semua umat Islam saudara, asah golok yang tajam. Jangan keluar rumah, jangan," ujarnya. "Kalau mereka demo damai, tenang, silakan. Masuk Jakarta damai, keluar dari Jakarta tenang."

Ada pesan dengan tidak merendahkan peran aparat keaman (kepolisian) tetapi jangan dipercaya.

Karena HRS sangat paham cara berpikir mereka yang penuh tipuan, licik, dan sadis tidak ada cara lain harus dilawan dengan keras.

Kecenderungan alami kita adalah memandang orang lain sekedar sebagai pantulan hasrat dan cara berpikir kita sendiri. Tak disadari bahwa mereka adalah bukan kita. Kita sering terkejut saat mereka tidak sama dengan yang kita bayangkan.

Tragis: alasan bahwa dalam ruangan yang sedang berdiskusi semua intelektual, ulama, atau orang- orang terhormat maka ketika terjadi serangan dengan kekerasan tabu untuk melawan menghentikan semua kekerasan dengan pemaksaan.

Itu keliru, salah, dan bentuk lain dari ketakutan yang dibalut membela diri karena kelemahan dari ilusi ketakutan yang ada dalam dirinya.

Belajarlah strategi peran urat syaraf edan menghadapi teror pada Imam Besar Habib Rizieq Shihab (HRS ). (*)