Berbondong-bondong Jadi Munafik, Dasar Kampret!
Pasca Pilpres 2024 dan saat menghadapi Pilkada 2024 goyangan tersebut semakin terasa. Medan magnetik kekuasaan begitu menarik. Ikatan rakyat semakin diabaikan. Partai menjadi "inner circle" yang menentukan. Magnet dan inner circle dari kemunafikan.
Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
MUNAFIK adalah terma agama tetapi kini sudah menjadi bahasa umum untuk perilaku yang inkonsisten, banyak bohong dan ikut arus. Konteks agama yang juga berdimensi luas sebagai contoh adalah HR Bukhori dari Abu Hurairah tentang tiga ciri munafik, yaitu:
Idza hadatsa kadzaba (jika berbicara, berdusta) _Wa idza wa'ada akhlaf_a (jika berjanji, ingkar) Wa idza tu-mina khoona (jika diberi amanah, khianat)
Berbohong, ingkar janji dan khianat sering dilakukan oleh mereka yang abai pada akibat buruk dari perbuatannya baik di dunia maupun akhirat. Siapapun jika berorientasi pendek hanya keuntungan sesaat, maka ia berpotensi menjadi munafik. Ketika menjadi sangat banyak maka mereka akhirnya berbondong-bondong masuk dalam komunitas munafikun.
Ciri lain dari munafik adalah kiri-kanan oke, ia masuk ke mana saja dengan wajah yang berubah-ubah tergantung dari warna lingkungannya. Dua warna sudah termasuk munafik apalagi sampai "dasamuka" atau sepuluh wajah. Wajah-Wajah buruk.
Inna min syarrin nas dzal wajhain, ya'ti haa-ulaa i biwajhin wa haa-ula i biwajhin (seburuk-buruk manusia adalah yang punya dua wajah, ia datang ke satu lingkungan dengan satu wajah dan datang ke lingkungan lain dengan wajah yang lain) – HR Bukhori-Muslim.
Termasuk munafik tentu yang tidak punya pendirian. Ikut barisan pemenang dan tinggalkan yang kalah. Siapapun menang ia ikut, tentu dengan harapan mendapat sesuatu apakah uang, jabatan atau keuntungan lain. Pemenang dianggap memiliki segala-galanya. Bisa memberi atau membagi.
Joko Widodo menang ketika lawan Prabowo Subianto maka berbondong-bondonglah ikut Jokowi, padahal awalnya tidak. Prabowo menang lawan Anies Baswedan, maka berbondong-bondong ikut Prabowo. Ini adalah sifat atau sikap munafik. Prinsipnya siapa menang ikut "sopo menang melu" atau "saha meunang milu". Menjadi seperti kisah kampret.
Kampret ikut komunitas binatang buas ketika binatang buas menang melawan burung. Aku sama dengan kalian, lihat moncong dan kuku-kuku ku.
Ketika terjadi pertarungan ulang yang dimenangkan burung, kampret pun ikut burung. Aku punya sayap dan kaki ku dua, sama dengan kalian, katanya. Ketika burung dan binatang buas damai, kampret tidak punya komunitas. Ditolak sana sini.
Dasar kampret!
Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka menang kontroversial melawan Anies Baswedan – Muhaimin dan Ganjar Pranowo – Mahfud MD. Sinyalemen curang sangat kuat. Lucunya pendukung Anies dan Ganjar pasca kemenangan ini banyak yang berpaling dan ikut bersama Prabowo padahal sebelumnya mungkin ia atau mereka yang paling keras berteriak "Prabowo curang".
Dasar kampret!
Sikap istiqomah itu memang berat apalagi dalam politik yang lentur atau goyangannya keras. Dengan mudah mereka menyatakan "ini politik" atau "taktik dan strategi" atau "tidak boleh kaku" atau alasan lain yang sesungguhnya terfokus pada orientasi pragmatis, bahkan mumpungisme. Sepanjang idealisme dibuang maka benih kemunafikan telah ditanam atau ditaburkan.
Pasca Pilpres 2024 dan saat menghadapi Pilkada 2024 goyangan tersebut semakin terasa. Medan magnetik kekuasaan begitu menarik. Ikatan rakyat semakin diabaikan. Partai menjadi "inner circle" yang menentukan. Magnet dan inner circle dari kemunafikan.
Kemudian, berbondong-bondong kader dan pendukung bergerak dalam arus inkonsistensi.
Fenomenanya adalah berbondong-bondong jadi munafik.
Dasar kampret! (*)