Delapan Catatan Wawancara Prabowo di TVOne: Prabowo dan “Waiting for Godot”
Wawancara eksklusif Prabowo di atas belum menggambarkan Prabowo sebagai sosok Rajawali yang akan melindungi bangsanya. Prabowo terlihat kurang elaborasi atas pokok persoalan bangsa ini. Persoalan bangsa ini, benar Prabowo, terletak pada kebanyakan elit kita tidak patriotik.
Oleh: Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle
TELAH saya luangkan waktu untuk menonton wawancara eksklusif Prabowo Subianto, Presiden Terpilih, yang berdurasi lebih satu jam, di antara perjalanan saya dari Jogjakarta ke Jakarta siang ini. Wawancara itu, oleh Chacha Annisa, bervariasi dari mulai urusan kesejahteraan, pengentasan kemiskinan, pendidikan, pengelolaan kekayaan alam, kabinet gemuk, demokrasi paska pilpres, nasib Gibran Rakabuming Raka, dan lain sebagainya.
Mungkin delapan catatan di bawah ini penting sebagai sumbangan pemikiran saya atas wawancara tersebut. Apalagi ini adalah wawancara eksklusif pertama sejak Prabowo terpilih.
Pertama; Prabowo mengklaim bahwa keberhasilan dirinya menanti penuh kesabaran untuk bisa menang dalam kompetisi presiden merupakan bagian cita-cita dia sejak kecil. Cita-cita tersebut merupakan dorongan dari patriotisme, cinta tanah air. Yakni, untuk mewujudkan Indonesia yang rakyatnya makmur, merdeka dan punya harga diri.
Prabowo melakukan kritik banyaknya elit-elit nasional mengecilkan arti patriotisme saat ini. Meski rakyatnya patriotik.
Prabowo tidak mengelaborasi lebih lanjut spektrum elit nasional dalam kaitan patriotisme tersebut. Dia hanya mengungkapkan bahwa krisis patriotisme bersumber dari perubahan cara pandang kaum elit itu karena interaksi mereka, baik ketika belajar ke luar negeri, pada budaya liberal, materialis dan hedonis. Ataupun disusupi kepentingan asing, sehingga tanggung jawab mereka atas domain publik dilemahkan.
Tanpa analisa spektrum elit non patriotisme, siapa, jumlahnya dan bagaimana kekuasaannya, sulit untuk mengukur keberhasilan Prabowo ke depan. Bagaimana memajukan sebuah cita-cita besar jika hanya dijalankan sedikit kaum patriot?
Kedua; Prabowo merubah istilah makan siang gratis menjadi makan bergizi. Secara substansial belum ada penjelasan Prabowo tentang diferensiasi dan keunggulan program ini jika dibandingkan bantuan sosial di kepemimpinan sebelumnya.
Prabowo menjelaskan bahwa 25% anak-anak Indonesia kurang gizi sehingga menghambat untuk perkembangan kecerdasan. Namun, Prabowo tidak menjelaskan kenapa ribuan triliun uang rezim Joko Widodo pertahun untuk bantuan sosial tidak menuntaskan masalah kurang gizi tersebut? Apakah akan berbeda dengan memberi makan langsung dengan memberikan bantuan selama ini?
Menanggapi pertanyaan sumber dana makan gratis, Prabowo yakin ada, yang penting seluruh pendapatan negara jangan bocor. Beberapa kali Prabowo mengungkit isu kebocoran. Kebocoran alias korupsi di mana-mana menjadi sumber masalah.
Namun, Prabowo belum sedikitpun memberi kejelasan bagaimana dia mampu memberantas korupsi. Penjelasan Prabowo tentang pengadaan berbasis online atau E-proc, sama sekali tidak meyakinkan. Sebab, pada era Jokowi E-proc sudah berlangsung lama dan korupsi justru menurut Indeks Persepsi Korupsi merupakan terburuk sepanjang sejarah republik ada.
Ketiga; Makan siang atau bergizi gratis diyakini Prabowo akan memperbaiki nilai tukar petani. Sebab, perputaran ekonomi lokal akan terjadi dan menyumbang langsung pertumbuhan ekonomi lokal. Dengan demikian petani dapat pangsa pasar secara langsung, sehingga mereka bisa sejahtera.
Prabowo tidak mengelaborasi sinergi makan siang gratis dengan desain otonomi daerah yang berkembang dari skala kabupaten/kota menjadi desa. Apakah dana-dana desa yang miliaran serta BUMDes dapat bersinergi dengan program makan siang untuk membentuk kekuatan ekonomi lokal secara total, bukan sekedar bancakan elit-elit Jakarta? (Petani berdasi?)
Keempat; Prabowo kurang mengelaborasi isu ketahan pangan. Ini juga mungkin karena pewawancara mengalihkan terlalu cepat ke isu swasembada energi.
Prabowo menanggapi bahwa swasembada pangan masalah yang bisa diselesaikan. Sebab, sejarah teknologi pertanian kita sudah berumur ribuan tahun. Masalah benih juga bisa diatasi.
Prabowo harusnya mengelaborasi kegagalan Food Estate era Jokowi. Mengapa impor pangan dan bawang merajalela. Begitu juga penghasilan petani yang hanya sekitar satu jutaan rupiah perbulan rerata. Mengapa tanah-tanah pertanian subur di Jawa dijadikan bancakan bisnis properti?
Ini belum terelaborasi sama sekali.
Kelima; Prabowo meyakini bahwa ketahanan energi dapat terwujud. Dengan sumbernya alam kita, khususnya sawit untuk biodiesel dan non sawit, seperti singkong, untuk produksi etanol yang mensubtitusi bensin. Lalu akan terjadi penghematan $20 miliar dalam waktu dekat.
Namun, Prabowo tidak menjelaskan apakah negara yang akan dia pimpin dapat mengendalikan oligarki pemilik sawit dan perkebunan lainnya. Bukankah urusan minyak goreng saja, tahun lalu, ratusan ribu ibu-ibu ngantri beli minyak goreng, kebutuhan pokok mereka, dan negara ongkang-ongkang kaki atau tidak berdaya?
Rencana substitusi bio energi adalah isu lama, khususnya sejak era BJ Habibie dengan tanaman jarak. Tapi semua itu hanya isu pemuas diskusi para pemimpin negara agar kelihatan pintar maupun sedang sungguh-sungguh bekerja. Karena, persoalan pokoknya itu terletak siapa yang mengontrol peruntukan bisnis sawit itu. Dan bagaimana kedaulatan energi itu resmi menjadi visi bangsa.
Prabowo misalnya menyinggung eksternal faktor, tekanan Eropa atas produk sawit kita. Namun itu tidak menunjukkan analisa yang tepat. Sebab, dalam supply demand energi dunia menjelang perang, harga energi terus meningkat nantinya. Sehingga demand produk sawit akan terus meningkat.
Di masa lalu misalnya terjadi kelangkaan gas untuk industri pupuk dan kelangkaan batubara untuk listrik dalam negeri. Meski kita, sebuah negara, surplus, tapi karena segelintir non patriotis, kita malah mengimpor sumberdaya alam tersebut. Inilah sebuah gambaran persoalan yang harus ditempuh Prabowo. Yakni kartel lokal.
Prabowo harusnya menjelaskan penataan kepemilikan dan penggunaan pangan dan energi dalam konteks kedaulatan bangsa. Untuk apa bicara kedaulatan air misalnya, kalau hanya segelintir konglomerat air menindas petani yang butuh air? Seandainya itu tidak dijelaskan, maka rakyat curiga bahwa ke depan situasinya mutar sana mutar sini saja.
Keenam; Prabowo membanggakan era rezim mertuanya berkuasa dulu, ketika merespon isu pendidikan murah. Menurutnya di masa lalu pendidikan merupakan domain publik, dan rakyat harus mendapatkan secara murah. Saat ini pendidikan sudah masuk pasar bebas. Dia berjanji akan mendorong pendidikan murah dan bahkan gratis.
Prabowo kurang mengelaborasi lebih jauh kegagalan mandatori UUD untuk mewajibkan 20% anggaran negara untuk pendidikan. Rakyat miskin saat ini sudah kalah bersaing sejak pendidikan usia dini, bukan lagi di jenjang pendidikan atas/tinggi.
Kekuatan uang dan pasar alias komersialisasi pendidikan telah menjebak orang-orang miskin tersingkir karena tidak cukup ilmunya untuk diseleksi dalam setiap jenjang pendidikan. Sementara guru-guru resmi kalah bertarung dengan lembaga-lembaga swasta, seperti Bimbel, karena sang guru kurang gizi, kurang honor dan terjebak rentenir pinjol.
Di Institut Pertanian Bogor misalnya tidak terjadi kenaikan UKT, karena keberhasilan pimpinan mereka mencari uang untuk mensubsidi mahasiswa. Namun, di banyak perguruan tinggi negeri, biaya semesteran sudah Rp 25 juta. Jika mau pembenahan otonomi pengelolaan kampus di reset ulang, maka uang 20% APBN menjadi pokok persoalan rezim Prabowo, bagaimana menggunakannya.
Ketujuh; Dalam hal demokrasi Prabowo menjelaskan tetap ada demokrasi dan kebebasan sipil. Untuk demokrasi dia menginginkan tidak ada pengkhianatan terhadap bangsa. Sebab, bangsa seperti Indonesia diincar banyak negara asing. Di Kongo dan Sudan, dicontohkan Prabowo, terjadi kehancuran karena oposisi artinya perpecahan. Negaranya kaya, karena elitnya berhantam terus, yang terjadi kemiskinan berkelanjutan.
Oposisi loyal adalah tawaran Prabowo. Dapat mengkritik, karena kritik akan membantu pemerintah. Namun, tetap harus bisa bekerjasama.
Menanggapi Megawati dan Partainya, Prabowo mengatakan silakan semuanya terjadi secara natural. Jika pemerintah gemuk terjadi karena merangkul semua pihak, seperti di Jerman dan berbagai negara lainnya, itu tentu lebih baik.
Prabowo kurang mengelaborasi situasi kekinian yang “belum selesai”. Persoalan Megawati dan kelompok yang kalah dalam pilpres saat ini adalah perasaan dicurangi, bukan soal menang kalah (saja). Di sini Prabowo tidak sensitif. Seharusnya Prabowo bersumpah akan memperbaiki itu ke depan.
Prabowo harus mampu meyakinkan bahwa kecurangan yang terjadi saat ini bukanlah tanggung jawabnya, melainkan Jokowi. Jika ke depan Prabowo merubah sistem pemilu, misalnya dengan membuat KPU yang berisi semua perwakilan partai, dan berintegritas, maka luka korban pemilu bisa terobati. Dan itulah yang mungkin bisa menghasilkan koalisi dan kolaborasi besar kekuatan politik paska Jokowi, yang tulus.
Kedelapan; Prabowo lebih fokus pada pemerintahan pusat, dalam konteks membicarakan menteri dan struktur organisasi pemerintahan. Padahal, kita memerlukan suatu refleksi atas otonomi pemerintahan saat ini. Apakah triliunan rupiah uang yang digelontorkan untuk pilkada itu tidak menjadi persoalan besar? Bukankah pilkada ini dapat menghasilkan kepemimpinan daerah yang tidak mampu menjalankan cita-cita pemerintah dia ke depan?
Apakah Prabowo tidak memikirkan struktur organisasi negara dari pendekatan otonomi daerah? Seberapa pentingkah otonomi daerah dalam menjalankan cita-cita Prabowo ke depan?
Wawancara eksklusif Prabowo di atas belum menggambarkan Prabowo sebagai sosok Rajawali yang akan melindungi bangsanya. Prabowo terlihat kurang elaborasi atas pokok persoalan bangsa ini. Persoalan bangsa ini, benar Prabowo, terletak pada kebanyakan elit kita tidak patriotik.
Tapi siapa dan bagaimana elit-elit itu dalam kekuasaan Prabowo ke depan? Tanpa kejelasan yang benar-benar jelas dan tanpa ketulusan menggambarkan situasi keterbelahan bangsa, maka belum ada kepastian perbaikan bangsa ke depan.
Tentu rakyat terus menunggu penuh harapan. Menunggu dan terus menunggu seperti drama absurd “Waiting for Godot”. Menunggu tanpa harapan. (*)