Dialog Santai Anthony Budiawan dengan Kwik Kian Gie

Lah, kalau tidak mengorbankan belanja subsidi atau bantuan sosial, dari mana uang untuk membiayai biaya operasional kabinet tersebut? Apakah berarti pajak akan naik, seperti rencana Prabowo yang ditulis di dalam visi misinya?

Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

PAGI hari, Selasa, 15 Oktober 2024, saya (Anthony Budiawan) dan Kwik Kian Gie berkomunikasi lagi. Kali ini pembicaraan kami seputar APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Maklum, malam sebelumnya Presiden terpilih Prabowo Subianto memanggil calon-calon menteri. Kwik cukup terkejut melihat begitu banyak calon menteri yang dipanggil.

Berikut dialog lengkap saya dengan Kwik Kian Gie. Petikannya:

Selamat pagi Pak Kwik.

Pagi Ton (panggilan Anthony Budiawan). Semalam saya lihat pemanggilan calon menteri Prabowo. Saya cukup terkejut. Begitu banyak calon menteri yang dipanggil. Apa benar mereka semuanya akan menjabat menteri.

Ya Pak Kwik. Menurut informasi, jumlah kementerian pemerintahan Prabowo ini diperkirakan sekitar 44-46 kementerian.

Waah, kalau begitu banyak, apakah APBN kita sanggup dibebani jumlah kementerian yang gemuk seperti itu? Bukankah APBN kita semakin melemah dan porsi anggaran rutin saat ini relatif cukup tinggi? Apakah masih ada ruang gerak fiskal untuk membiayai biaya operasional pemerintah yang begitu gemuk, tanpa mengganggu atau mengurangi anggaran dari kementerian lainnya?

Ya, memang ruang gerak APBN saat ini sangat sempit. Komposisi “belanja rutin” sangat besar, mencapai sekitar 86-88 persen dari total anggaran pengeluaran pemerintah pusat.

Apa saja yang termasuk “belanja rutin”.

Saya kategorikan “belanja rutin” adalah semua belanja APBN di luar Belanja Modal. Artinya, “belanja rutin” terdiri dari belanja pegawai, belanja barang (termasuk biaya pemeliharaan), pembayaran bunga utang, subsidi, bantuan sosial, dan belanja lain-lain.

Dan total belanja rutin ini sudah mencapai 86-88 persen dari total pengeluaran pemerintah pusat. Itupun sudah termasuk utang dari defisit anggaran yang pada tahun 2023 mencapai sekitar Rp 337 triliun, atau sekitar 15 persen dari total pengeluaran pemerintah pusat. Padahal Belanja Modal hanya Rp 303 triliun saja.

Maka itu, pembengkakan jumlah kementerian memang menjadi tantangan besar APBN, bagaimana membiayai semua itu.

Kondisi ini mirip waktu orde baru. Selama orde baru seluruh pendapatan negara habis untuk anggaran rutin. Pembangunan dibiayai sepenuhnya oleh utang dari IGGI/CGI yang disebut Pemasukan Pembangunan.

Dengan demikian banyaknya menteri dan wakil menteri, apakah seluruh pemasukan APBN tidak habis?

Memang saat ini pendapatan negara sudah habis untuk “belanja rutin”. Anggaran pembangunan jaman Pak Harto sekarang dinamakan Belanja Modal, dan sepenuhnya juga dibiayai dari utang. Yaitu, Belanja Modal hanya Rp 303 triliun tetapi defisit atau utang anggaran mencapai Rp 337 triliun.

Belanja pegawai dan pembayaran bunga utang memang sangat rigid. Hampir tidak mungkin dipangkas. Kalau tidak salah, kedua pos anggaran ini saja sudah mencapai 40-45 persen dari total pengeluaran pemerintah pusat.

Tetapi, belanja barang, subsidi, dan bantuan sosial kan masih bisa fluktuasi atau dipangkas. Karena ketiganya tidak murni belanja rutin.

Benar Pak Kwik. Tetapi fluktuasinya tidak bisa terlalu besar. Belanja barang, namanya saja belanja barang, tetapi sebenarnya adalah belanja operasional rutin juga, termasuk biaya pemeliharaan rutin. Jadi tidak bisa dipangkas terlalu banyak.

Belanja barang saja sudah mencapai sekitar 22 persen dari total pengeluaran pemerintah pusat, yang sudah termasuk utang anggaran tadi.

Sedangkan belanja subsidi dan belanja bantuan sosial sebenarnya juga termasuk “belanja rutin”. Selama kondisi sosial masyarakat tidak banyak berubah, seperti yang terjadi selama 10 tahun terakhir ini, maka kebutuhan belanja subsidi dan belanja bantuan sosial juga masih sama saja.

Bahkan kondisi sosial selama lima tahun belakangan ini malah memburuk, sehingga belanja subsidi dan bantuan sosial seharusnya naik. Tetapi di era pemerintahan Jokowi malah dipangkas.

Kalau belanja subsidi atau bantuan sosial dikurangi hanya untuk membiayai penambahan jumlah kementerian yang membengkak, risikonya cukup besar. Daya beli masyarakat kelompok bawah akan turun drastis, dan tingkat kemiskinan naik. Bukankah begitu?

Iya, pemerintahan Jokowi memang nekad, sepertinya tidak memikirkan kesejahteraan masyarakat. Subsidi dan bantuan sosial di era Jokowi dipangkas. Hasilnya sudah dapat diduga, tingkat kemiskinan stagnan, bahkan naik.

Bagaimana dengan Prabowo, apakah akan membiayai biaya operasional kabinet yang semakin besar juga dengan mengorbankan subsidi dan bantuan sosial? Saya tidak tahu, mau ambil dari pos anggaran yang mana.

Lah, kalau tidak mengorbankan belanja subsidi atau bantuan sosial, dari mana uang untuk membiayai biaya operasional kabinet tersebut? Apakah berarti pajak akan naik, seperti rencana Prabowo yang ditulis di dalam visi misinya?

Ini pekerjaan rumah besar bagi tim Prabowo. Dilematis. Karena menaikkan pajak, seperti PPN atau mencari sumber pajak baru bisa mengganggu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemiskinan lagi.

Selain itu, perlu diingat juga Ton, Prabowo juga masih perlu dana besar untuk menjalankan program prioritasnya, yaitu memberantas stunting dan memberi makan siang gratis. Apakah anggaran untuk semua ini juga akan diambil dari belanja subsidi, belanja bantuan sosial atau menaikkan pajak? Kita lihat saja nanti.

Begitu penggalan dialog ringan dan santai pagi itu dengan Kwik Kian Gie, senior saya di Rotterdam, dan sekaligus guru dan teman diskusi. (*)