Diferensiasi Anies Baswedan
Ketika kebiadaban menyelimuti negeri, Anies harus tetap menjaga keberadabannya. Anies harus mampu tetap berjarak dengan para penjahat meski didapuk sebagai pejabat. Anies harus terus menjaga spiritualnya sebagai organ penting sekaligus nyawa kepemimpinannya.
Oleh: Yusuf Blegur, Kolumnis, Mantan Presidium GMNI
KEKUASAAN sejatinya harus dijadikan alat untuk mengkreat idealisme. Hanya seseorang yang dalam darahnya mengalir sifat-sifat Ketuhanan dan kemanusiaan yang layak disebut pemimpin. Spiritual yang akan menuntun langkah kepemimpinannya, bukan sekedar material.
Begitu banyak orang menunggu langkah-langkah politik Anies Baswedan pasca Pilpres 2024. Semua cemas menunggu proyeksi politik apa yang akan disampaikan Anies. Baik rezim yang menolak Anies maupun para pejuang perubahan yang mendukungnya, kedua kubu sama-sama menanti keputusan strategis dari figur negarawan yang otentik itu.
Anies Baswedan telah memberi warna dan mengentalkan garis perbedaan tegas antara kekuatan pemerintahan berkuasa dengan oposisi. Anies telah menjadi simbol dan magnet dari gerakan kritis dan perlawanan. Sementara yang dihadapinya adalah rezim status quo dengan mainstream politik keberlanjutan.
Tetap berseberangan dengan rezim dan melanjutkan gerakan perubahan, atau bergabung dengan pemerintahan hasil pilpres 2024. Menjadi menarik saat dorongan sebagian besar rakyat meminta Anies tetap berada di luar sistem.
Lalu, muncul pertanyaan lanjutan, apakah Anies terbuai mengikuti kontestasi pilkada Jakarta yang menggiurkan? Sungguh variabel yang luas dan dinamis menapaki persfektif politik Anies di tengah maraknya praktek-praktek pelacuran demokrasi dan masturbasi konstitusi kekinian.
Membedah konstruksi dari struktur sosial dan behavior Anies, pada akhirnya akan dihadap-hadapkan dengan realitas pseudo demokrasi dan politik kapitalisme. Idealisme dari seorang Anies dipastikan mengalami kencangnya turbulensi dan kerasnya benturan politik praktis.
Akankah Anies menjadi dirinya sendiri dengan visi kemaslahatan umat, atau ia menjadi sekedar pelayan dari tuan-tuan pemilik modal dan tak berdaya sebagai komoditas atau regulasi pasar para pemegang kekuasaan?
Usai pilpres 2024 yang menggelar operet perampok besar, maling-maling kecil, dan pencuri yang lihai. Para penjahat tersebut bertransformasi menjadi sinterklas membawa dongeng makan siang gratis dan susu. Pesta hura-hura kejiwaan dan hiburan akrobatik mental memiliki panggung permanen, dengan hamparan permadani berlumur keringat dan darah penonton.
Pengunjung yang membeli tiket dengan harga mahal, harus kecewa karena pertunjukan dipenuhi adegan mistik, horor dan pembantaian. Suasana mencekam bahkan sebelum, saat berlangsung dan bahkan depresi bercampur traumatik sekalipun pesta telah usai. Tidak ada happy ending, yang ada hanya kengerian, karena psikopat dan penjahat menjadi pemenang sedangkan pemimpin sebenarnya harus tersingkir.
Memilih Skema Politik Terbaik
Anies kini sedang menghadapi fase penentuan jalan kesinambungan politiknya sendiri. Ia dalam pergulatan pemikiran untuk bersiap mengarungi bahtera kesejatian dunia politik yang sesungguhnya.
Anies bertatap muka langsung dengan dua arus utama karir politiknya. Pertama, Anies mengambil peluang untuk berada dalam sistem atau pemerintahan. Kedua, Anies tetap konsisten menjadi bagian dari kekuatan “check and balancing” kekuasaan dengan eksistensinya di luar sistem. Anies didesak oleh hasrat politik rakyat untuk menjadi “insider” atau “outsider” terhadap kekuasaan.
Adapun kedua pilihan itu sama-sana memiliki konsekuensinya masing-masing. Berikut anatominya yang bisa dibedah, yakni:
Anies dipastikan tidak akan bergabung dalam pemerintahan baru hasil pilpres 2024. Sementara itu yang mengemuka ada tuntutan banyak pihak yang menginginkan Anies mengikuti kontestasi Pilgub Jakarta. Jika ini yang dipilih, maka analisa dan rasionalisasinya adalah sbb:
Pertama; Anies dianggap membutuhkan panggung atau ruang politik untuk menjaga eksistensi, interaksi sosial dan pengaruh politiknya kuat ke basis masyarakat.
Pemikiran itu cukup logis mengingat Anies tidak memiliki dan bukan ketua umum partai politik. Sehingga jabatan publik atau irisan kekuasaan strategis dianggap mutlak dibutuhkan Anies untuk menjaga figur kepemimpinan, popularitas dan elektabilitasnya di hadapan publik.
Kedua; Penilaian bahwasanya kekuasaan sejatinya menjadi alat untuk mengkreat idealisme. Premis ini melahirkan motif kepemimpinannya sebagai gubernur Jakarta (jika kelak terpilih) menjadi bagian dari manifestasi merebut kekuasaan untuk menghadirkan masyarakat sejahtera, adil, dan makmur setidaknya bagi warga Jakarta. Lewat kebijakannya Anies bisa mewujudkan penerapan konstitusi tanpa kehilangan sentuhan kemanusiaan, keadilan dan Ketuhananan.
Kemudian, beralih pada tidak sedikit yang menolak atau tidak menginginkan Anies ikut pilgub Jakarta atau semua yang terkait dengan jabatan pemerintahan selain sebagai presiden. Pemikiran ini juga menjadi relevan dan kontekstual jika dilihat dari sudut pandang berikut, antara lain:
Pertama; Anies sudah dianggap pada capaian seorang negarawan, tidak lagi sebagai seorang politisi atau birokrat.
Bukan sekedar bisa men-downgrade Anies yang seorang calon presiden berlanjut menjadi seorang calon gubernur. Pilihan yang satu ini akan mereduksi Anies Baswedan sebagai figur pemimpin yang berkarakter unggul, etis dan berintegritas.
Entah sebagai kontemplasi atau target pada jabatan tertentu. Proyeksi seperti ini saat psikopolitik rakyat yang kecewa dan marah pada distorsi kekuasaan dan praktik-praktik kecurangan pemilu termasuk pilpres 2024. Akan membuat pandangan miring seolah-olah Anies haus jabatan atau kekuasaan.
Kedua; Dengan data dan fakta empiris dari skenario penjegalan, upaya kriminalisasi dan asal bukan Anies pada pilpres 2024. Langkah Anies mengikuti kontestasi pilgub Jakarta, merupakan langkah blunder atau setidaknya masuk dalam grand desain penghancuran total karir politik Anies.
Jika Anies kalah dalam pilgub Jakarta karena bisa dipastikan kecurangan dan kejahatan rezim akan terulang. Maka itu akan dipandang sebagai akhir dari perjalanan politik Anies yang terjadi bukan karena kekurangan ataupun kesalahannya.
Lebih dari itu karena rezim kekuasaan tak akan pernah diam dan rela membiarkan Anies melenggang menjadi orang yang paling menentukan di Jakarta maupun di Indonesia.
Mengapa tidak? Untuk sebaran wilayah yang luas se-Indonesia, semua sumber daya baik aparat dan institusi pemerintahan, anggaran negara dan semua politisasi kebijakan dipergunakan sebesar-besarnya untuk mengeliminasi Anies. Apalagi cuma sebatas Jakarta.
Asumsi ini jadi menggelitik dan mungkin ada benarnya, tatkala mengusik pemikiran bahwasanya siapa yang bisa menjamin Anies dapat memenangkan pilgub Jakarta? Pasalnya, Anies itu sudah dianggap berbahaya bagi para oligarki, politisi dan elit birokrasi serta semua konspirasi kejahatan atas nama negara yang berlindung dibalik kepalsuan demokrasi dan manipulasi konstitusi.
Anies sebagai Aset Nasional
Mempertahankan Anies sebagai pemimpin berkarakter dan potensial, seperti saat menghadapi pilpres 2024 betapapun dipenuhi kejahatan pemilu yang terstuktur, sistemastis dan masif. Tentunya, menjaga Anies tetap berada dalam kondite pemimpin yang visioner dan kaya spiritual, yang sudah menjadi aspek paling fundamental dalam dirinya.
Sebagaimana yang sering Anies aktualisasikan dalam narasi gerakan perubahan berbasis spiritual dihadapan publik. Maka sudah menjadi keharusan bagi Anies untuk tetap berada dalam jalur etika, kehormatan dan martabatnya sebagai seorang pemimpin.
Anies menyadari betul, resan air ke air, resan minyak ke minyak. Tidak mungkin ia menyeburkan dirinya masuk ke dalam komunitas kekuasaan yang lahir dari proses kemiskinan etika maupun peradaban.
Pun demikian, Anies tak akan sekonyong-konyong melibatkan dirinya pada kontestasi kekuasaan yang sekedar menunjukan eksistensi, emosional dan aji mumpung karena tak ada pilihan lainnya. Anies tetap akan menjadi figur yang sederhana, santun dan tenang dimanapun ia berada.
Berada di dalam ataupun di luar sistem, tak sedikitpun mengurangi kadar kepemimpinannya. Anies telah melalui banyak proses dan membuktikannya, kepemimpinan itu sebagai sesuatu yang “given”.
Dunia akan selalu menghadirkan pemimpin, baik yang berperan protagonis maupun yang antagonis bagi kehidupan rakyatnya. Saat ini republik masih dalam kegelapan dan keputus-asaan menghadapi kekuasaan yang tirani dan dzolim. Anies tidak diam, ia telah mencoba mengubahnya.
Alam belum berkehendak, Tuhan belum menginginkannnya. Tapi Anies bisa mengambil hikmahnya, sadar sedang diuji dan kesabarannya yang paling layak untuk menuntun jalan politiknya ke depan. Tanpa kekuasaan, Anies akan menunggu sekaligus membuat momentum yang tepat membuka arus perubahan yang tak busa dibendung lagi.
Seperti Mahatma Gandi, Marthen Luther King, Nelson Mandela dll. yang mengalami, juga Buya Hamka yang mengatakan jalan pemimpin adalah jalan penderitaan. Anies tak bisa menghindari siklus sejarah yang empiris dan relevan sepanjang masa itu.
Berada di dalam ataupun di luar lingkar kekuasaan, Anies tetaplah pemimpin. Ia telah menjadi aset nasional bagi cita-cita perubahan dan upaya menghadirkan negara kesejahteraan. Anies pada saat yang tepat, akan menjadikan dirinya sebagai alat perjuangan bagi upaya mewujudkan kemakmuran dan keadilan di bumi Indonesia.
Anies harus menempatkan dirinya sebagai aset nasional yang menjadi warisan ke depan bagi kebaikan rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Dalam paparan krisis kepemimpinan, dilanda isolasi Ketuhanan dan kemanusiaan dalam penyelenggaraan negara.
Sebaiknya Anies tetap menjaga karakternya, memelihara otentitasnya dan mengumbar integritasnya bagi upaya mendatangkan kebermanfaatan untuk publik. Dengan atau tanpa kekuasaan yang akan digenggamnya, dengan atau tanpa ia berada dalam pemerintahan sekalipun.
Ketika kebiadaban menyelimuti negeri, Anies harus tetap menjaga keberadabannya. Anies harus mampu tetap berjarak dengan para penjahat meski didapuk sebagai pejabat. Anies harus terus menjaga spiritualnya sebagai organ penting sekaligus nyawa kepemimpinannya.
Itulah keunikan, kekhasan, dan perbedaan Anies dari kebanyakan lainnya. Itulah yang menjadi diferensiasi seorang Anies Baswedan. (*)